Puisi: 100 Hari Kematian Puisi (Karya Dimas Arika Mihardja)

Puisi "100 Hari Kematian Puisi" karya Dimas Arika Mihardja menghadirkan gambaran yang kuat tentang keadaan puisi dan kehidupan politik di Indonesia.
100 Hari Kematian Puisi
(Memperingati 100 hari kematian nurani)

100 hari kinerja kabinet yang raport-nya merah adalah elegi
100 kali kinerja pansus century hanyalah tragedi
Rendra dan Gus Dur yang digusur adalah puisi.

Aku tidak menemukan puisi sejak jutaan penyair meledakkan puisi
di udara terbuka, di cuaca bertuba:
siapa saja merekayasa kata
mereka memuja kata benda seraya memahat kata sifat pada jidat
mereka meninggalkan kata kerja, tersebab cuma percuma.

Di atas garis khatulistiwa, seluas pulau nusantara
terbentang pantai-pantai landai, tempat ombak terbantai
pada lengkung langit, cakrawala enggan bicara satuan makna
di tengah gemuruh riak dan ombak camar-camar gemetar pada tiang layar
aneka warna bendera pun berkibar di kedalaman debar.

Aku ingin jadi dewa ruci, mendengar bisik di telinga sendiri
aku ingin menyendiri, jadi diri sendiri
aku ingin menulis puisi.

(Pada peringatan 100 hari kematian nurani
lahir 1 puisi melalui operasi)

Jambi, 2010

Analisis Puisi:

Puisi "100 Hari Kematian Puisi" karya Dimas Arika Mihardja adalah sebuah karya yang menghadirkan gambaran yang kuat tentang keadaan puisi dan kehidupan politik di Indonesia.

Kritik terhadap Kinerja Pemerintah: Puisi ini secara implisit mengkritik kinerja pemerintah, terutama dalam hal kegagalan kabinet yang ditandai dengan rapor merah dan tragedi yang melibatkan pansus Century. Pemerintah dianggap gagal dan tidak mampu memenuhi harapan rakyat, sehingga menjadi sebuah elegi yang menyedihkan.

Kehilangan Puisi: Penyair mengungkapkan rasa kehilangan akan puisi dalam konteks yang lebih luas. Meskipun ada banyak penyair di Indonesia, namun puisi yang benar-benar bermakna dan menginspirasi semakin sulit ditemukan. Hal ini tercermin dari ketidakmampuan para penyair dalam menghadirkan puisi yang dapat menyentuh hati dan pikiran pembaca.

Kritik terhadap Dunia Sastra: Puisi ini juga mengkritik dunia sastra yang cenderung terjebak dalam penulisan yang berlebihan, tanpa memberikan kontribusi yang nyata dalam menghadirkan puisi yang bermakna. Penyair menyindir kecenderungan penyair untuk menciptakan karya yang hanya terfokus pada kata benda dan kata sifat, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada kata kerja yang memberikan aksi dan makna.

Keinginan untuk Menulis Puisi: Meskipun menghadapi keadaan yang sulit, penyair mengekspresikan keinginannya untuk tetap menulis puisi. Ini mencerminkan semangat dan keberanian untuk tetap berjuang dalam menghadapi kesulitan dan ketidakadilan.

Puisi sebagai Ekspresi Nurani: Pada akhir puisi, penyair menekankan pentingnya puisi sebagai ekspresi nurani. Puisi menjadi alat untuk mengungkapkan perasaan, pikiran, dan kegelisahan dalam menghadapi kondisi sosial dan politik yang sulit.

Operasi Puisi: Penyair menutup puisi dengan menyebut bahwa pada peringatan 100 hari kematian nurani, lahir 1 puisi melalui operasi. Ini bisa diinterpretasikan sebagai harapan penyair untuk melahirkan puisi baru yang mampu menghadirkan perubahan dan inspirasi di tengah-tengah kondisi yang sulit.

Dengan demikian, puisi "100 Hari Kematian Puisi" adalah sebuah puisi yang kritis dan menyentuh, menghadirkan gambaran yang kompleks tentang keadaan politik dan kehilangan puisi dalam masyarakat Indonesia.

"Puisi Dimas Arika Mihardja"
Puisi: 100 Hari Kematian Puisi
Karya: Dimas Arika Mihardja
© Sepenuhnya. All rights reserved.