28 Januari 2010, 100 Hari Puisi Jalanan
Puisi ini lahir di jalanan
di tengah orang-orang mengejar matahari
keringat netes. Tanah-tanah rekah. Aspal leleh
resah. Waktu. Teronggok sebagai sampah
(siapakah telah bersumpah kemudian enyah?
siapakah telah berjanji lalu mengingkari?)
Di depan istana
kita bersama mencari makna 100 hari
mempertanyakan kinerja dan pesona citra
di trotoar berasap, di selokan yang mampet
kita teriakkan kesejahteraan rakyat
mimbar telah terbakar di belukar jiwa
namun rumah-amanah kokoh berpagar!
Di depan gedung melengkung
kita bahasakan amanat derita rakyat
suara-suara membentur dinding dan instalasi gedung rakyat
siapa saja merapat, merayap, dan siap menyergap
namun wakil-wakil rakyat tak pernah mau membaca gelagat
Di depan gedung keuangan
kita hanya menemukan karikatur dolar dan rupiah
yang kemudian raib menuju entah
Di peradilan
kita tidak menemukan dewi keadilan
timbangan demi timbangan tak sanggup mengukur keseimbangan
maklar kasus, tikus-tikus, jejaring laba-laba membiak
sepanjang lorong-lorong kehidupan
Puisi ini di jalanan buntu
orang-orang terus mengejar matahari
keringat netes di tanah-tanah rekah
resah teronggok sebagai sampah.
2010
Puisi: 28 Januari 2010, 100 Hari Puisi Jalanan
Karya: Dimas Arika Mihardja