Bahasa di Pantai Masih yang Dulu
(untuk Bapak Max Arifin)
Pemandangan di pantai tidak mengubah
rangkaian bahasa dan keyakinan kita
walau samanera, panji-panji serta bendera
telah berganti warna. Berkibaran
setinggi pucuk daun kelapa
di pelabuhan, di rumah-rumah kelabu
gudang tua serta menara
semua bicara dalam bahasa lama:
urusan dagang, popor senapang, poster-poster
setengah telanjang. Juga
gema panjang lorong tambang. Aroma rempah-rempah
dan lambung kapal para maskapai. Sampai-
pendaratan demi pendaratan
menggerus pantai dan pulau karang yang kita jaga
dengan keyakinan nganga luka punggung terbuka
Maka berbicaralah engkau, niscaya setiap suku-kata
terbakar di udara. Terasa sengau dan baja
Tapi di sebuah menara api terdekat
yang mengobarkan kepergian
dan pendaratan kapal-kapal
kita bertahan: membangun kerajaan sendiri
dari sunyi dan puisi.
Yogya, 2003
Puisi: Bahasa di Pantai Masih yang Dulu
Karya: Raudal Tanjung Banua