Puisi: Bandul Dunia Baru (Karya Raudal Tanjung Banua)

Puisi: Bandul Dunia Baru Karya: Raudal Tanjung Banua
Bandul Dunia Baru
(dan Bali sebagai Asumsi dalam Dua Adaptasi)


(1)

Tanah-kepulauan atau benua baru
yang dulu hitam, kini kelabu
hidup di antara dua bandul
yang bergerak berayun:
satu berusaha nyaring dan yang lain
bersuara garang
lintasan kenangan dan impian.

Bandul waktu itu bertangan. Ia menggamit
masa silam dan memunculkan layar pucat
yang terguncang-guncang
di balik gelombang, kenangan mendayung
di antara dua karang
“Kita mungkin berperang,” suara itu
nyaring gemanya seirama
bayang-bayang memanjang di laut
- sepanjang lintasan kapal-kapal
dan awan dan koral

Maka laut dan pantai pun dihujani
tembakan, gelegar meriam. Amis darah
dan belerang. Tapi benteng dan parit
teguh memendam
impian akan tahta dunia baru,
barangkali, sorga.
Ribuan gugur di laut menjadi santapan hiu
namanya larut seperti garam yang berkilau
di bawah sinar matahari
Tapi nakhoda dan mualim itu pandai
menghibur diri, sorga itu, katanya
bukanlah pantai yang landai, tapi
sungai, rawa-rawa dan hutan yang purba.

Maka sebagian menyusur hulu sungai
menerobos masuk hutan, membuka huma
mendirikan pondok-ladang dan menugalkan benih kesuburan
sepilihan bijian yang asing mereka dapatkan
dari sekerat paruh burung, di mana terikat seuntai firman:
Tradisi. Tradisi pedalaman!

Barangkali Tuhan mengirim malaikat-Nya, barangkali dewa
turun pada setangkai malai untuk memulai
percintaan baru: kampung-kampung di pedalaman
yang bersusun batu-batu memantulkan warna ungu
waktu malam

Maka tradisi pedalaman lahir dari upacara
kampung halaman, di lumbung-lumbung
di bubung rumah
Buah pujinya keperkasaan dan kesuburan
Kelahiran dan keberangkatan:
Malam-malam duduk melingkar. Seperti ular
memandang rasi bintang
memotong ari-ari dengan sembilu dan kulit kayu,
menggantungnya di akar, di dahan
di pohon-pohon. Setangkup kulit ari,
dupa dan menyan
membubungkan pinta musim: cinta-kasih
buah permohonan
tak putuslah ikatan di bumi berpenghidupan

Di malam-malam lain yang lebih dingin
mereka menabuh tambur
mengenang ruh
gugur di laut. Membikin peti bujur sangkar
sambil mengingat pantai yang tak landai
lalu mereka bakar beramai-ramai
dengan menari di pinggir sungai
semua berlangsung di bawah nyala obor
koor cak-cak-cak
dan gemercik tuak
dalam bumbung. Ada juga seorang tua berkata,
“Ini pertanda baik bagi kita semua.
Padi tak digara, tanah rindu minta digaru. Ketela tumbuh
tanpa diganggu babi dan hama. Beginilah seharusnya
Kanak-kanak yang lahir biar belajar
kesabaran dari leluhur. Keperkasaan menjaga
warna tanah. Ini kasta yang kita warisi buat mereta
Mereka memang masih muda
Dan bila mereka pergi jangan ada yang menangis.”

(2)

Begitulah, anak-anak yang berangkat dewasa
Separoh usia kanaknya dihabiskan
menyerap upacara
dan mantram tanah. Malam-malam
sehabis membakar peti
atau mengundang dewi padi
mereka seperti tak diijinkan lelap
hingga menjelang pagi
Cerita dan buah tutur silih-berganti
jadi pitutur, jadi sulur, dalam tidur yang singkat
tiba-tiba mereka merasa cepat dewasa
menjaring ruh
Sebab bila mereka menyentuh gantang tuak pada bambu
tak ada yang bisa mencegah karena larangan,
“Jangan sentuh!”
menambah gelegak pada darah.

Bahkan ketika mereka putuskan
mengusap dupa
di wajah mereka yang penghabisan
lalu turun tangga
dan bersumpah di halaman akan mencari leluhurnya,
tak seorang pun dapat mencegah
“Sampai ujung dunia,” kata mereka.

Bahkan seorang orang tua,
seorang sepuh yang dulu tukang berkata-kata
hanya sanggup mencabut keris kebesarannya
dan berkata dengan kecemasan yang sukar dilukiskan,
“Seperi kataku, jangan ada yang menangis.
Sudah kuduga akan lahir dari sini juru-mudi,
menggelegak darahnya merindukan
lautan. Aku tak menangis, karena kita
berasal dari lautan yang sama
ke sana kita akan kembali, ke sana
mereka akan pergi
Tapi, Dewa yang Agung,
adakah di antara mereka
juru-peta? Kami lupa mengajarnya,
tradisi kami
tradisi pedalaman yang penuh percintaan
ketimbang penaklukkan
kami hidup dari lisan, mantra dan upacara,
dan membangun rasi sendiri
di bumi, gugusan masyarakat
wiracarita...”

Ia lalu menikam dadanya yang sebelah kiri
dan darah mengalir seperti mata air
yang baru disapih
memberi warna lain
pada tanah di bumi

Beberapa orang masih sempat menatapnya di pembaringan
dan memejamkan mata dengan  khusuk di sisi ranjang;
Ia juga merindukan laut, maka ke sana ia akan pergi,
kata seorang lain, juga menjelang tua
Di tangannya amis darah dan belerang
Matanya kuda jalang yang memendam impian akan darah
dan kasta biru, tatanan keindahan yang direngkuh,
barangkali dari sorga.

Setelah itu, para perindu itu berangkat juga akhirnya,
hanya separoh dari upacara pembakaran mayat dalam peti
mereka ikuti. Seorang tua telah mati,
tak kuasa mencegah yang pergi
Maka ratapan perempuan kuyup air mata seakan arak lain
yang menggelegakkan keperkasaan di dada mereka
“Begitulah perempuan, selagi muda menjadi tukang goda,
tua sedikit menjadi ibu yang gampang menangis,
tua dan sepuh menjadi tukang cerita!”

“Aduh, anak, cerca kami sepuasmu
demi alasan kembangkan layar
tundukkan lautan sekuasamu
perahumu karapan dalam impian!”

Tapi bumi tak pipih atau panjang seperti tali,
bumi lingkar, berputar, tak berujung, tak berbatas
malam dan siang
Kecuali sepotong tanjung atau pantai karang
yang mempertemukan mereka  dengan laut dan gelombang
selebihnya benar-benar perairan sunyi,
yang tak jinak yang tak mereka ketahui namanya
tanpa tepi. Menjadi begitu sukar ditaklukkan dan diseberangi
bahkan dalam imaji:
“Barangkali kita harus memberi nama
tempat ini tapi sangsi apakah
di sorga masih perlu nama.”

“Barangkali ini ujung dunia yang kita buru,” kata yang lain
yang merasa telah sampai, mencapai, “Tetapi mengapa selalu ada
ujung lain yang mengharu-biru?”

“Kita tak membutuhkan nama tampaknya,” seseorang,
kawan atau lawan, sekutu atau seteru, menggebu,
“Yang kita butuhkan cuma perahu,
sampan atau apa, entah mengapa
imajinasiku bekerja bahwa di seberang sana
masih ada dunia, ya, mungkin sorga yang sebenarnya
tapi tunggu sebentar, biar aku ingat sesuatu, ah, celaka!
Aku lupa cara membuat perahu dan dayungnya, lupa
rancangan benda-benda, bahkan bentuknya!”

“Terkutuklah engkau yang tidak mempunyai nama
tapi butuh benda-benda. Bukankah
benda-benda bersumber dari nama - ilham dan kata-kata
ibu bapak kita?”

“Biarlah keduanya ada dan tumbuh
peduli akhir dan dulu, barangkali kita sama butuhnya!”
sahut yang lain, agak bungsu, tapi pandai menghibur:
Katanya, “Kita pastikan saja, di seberang sana, sorga
Leluhur kita ada di sana. Tapi jangan bertandang
biarkan mereka istirah.”
(Barangkali mereka bukan pengembara
tapi petualang yang mencemaskan sorga - yang purba,
antara ada dan tiada)

Lihat, mereka surut. Tapi ombak tak surut dan pasang
tak susut. Laut yang tenang
diam-diam menyeret tulang-belulang, bangkai kapal,
manik-manik terhantar begitu menakjubkan di pantai
Ada yang mengumpet pasir kemudian. Mengelupas
kulit kerang. Mengikis lumut dan bebatuan
seperti tak percaya pada ketakjubannya sendiri:
“Alangkah indah. Ini seperti sebuah mimpi
Bila terjaga, undanglah tamu-tamu
beritahu siapa saja bahwa ada juga sorga
eksotik, angin dan kersik, aroma tropik
di tanah kita. Tuhan memberi kita dunia baru,
sorga penciptaan. Lupakan ibu
Mumpung terjaga
semuanya harus bernama, harus diberi sebutan.”

Begitulah asal-muasal kelahiran
peta dunia baru. Tetapi bukan itu pangkal kegelisahan
penyair seribu tahun kesunyian ini. Suara itu masih nyaring
gemanya dan dekat pada kematian

Maka bandul waktu harus bergerak berayun dengan garang
agar semua terbangun
dari selubung impian yang tercipta atau diciptakan

Aku bandul. Maka aku bergerak
melintasi waktu, musim-musim membatu, hantu-jisim
siang-malam dan mimpimu
mengelupaskan garis maya
tata dunia baru; yang memberi nama dan sebutan
pada tanah kepulauan, benua,
segenap daratan

Aku bandul kekinian, harus garang
meneriakkan kesadaran baru
bukan impian akan dunia baru!


Denpasar-Yogyakarta, 1999

Puisi Bandul Dunia Baru
Puisi: Bandul Dunia Baru
Karya: Raudal Tanjung Banua
© Sepenuhnya. All rights reserved.