Puisi: Gelanggang (Karya Raudal Tanjung Banua)

Puisi: Gelanggang Karya: Raudal Tanjung Banua
Gelanggang (1)


Dari tanah kelahiranku
kudengar para penyair ramai-ramai
mengambil alih lagu dan dendang
Lalu seperti sepatu baru dengan lampu berkilauan
dan nyaring bunyinya
mereka pasangkan ke kaki anak-anak
yang sedang belajar berkata-kata
tapi tidak membuatnya pandai berjalan
di luar rumah
Mereka tulis jembatan berbuai
balam tiga gaya, belalai gajah
dan kuda bendi berlari kencang
Tapi lupa jembatan lama sudah putus
memaksa anak-anak sekolah terjun ke sungai
balam dan gajah ditembak pemburu
dengan meriam dan balanza
kuda-kuda hilang gelanggang
tersingkir dari jalanan dan pasar raya
Aku ingin mereka menulis jembatan yang runtuh
aku ingin mereka menyeberangkan
anak-anak sekolah dari tepian lama
ke papan tulis yang tak hampa
aku ingin mereka melepaskan burung balam
punai dan barabah ke luas langit cakrawala
aku ingin gajah dan kuda-kuda digiring ke hutan larangan
dan padang-padang tak kepalang datar
sebab aku bukan kanak lagi
Tahu, sepatu lama atau baru
akan menempuh debu dan batu-batu
jalanan, jauh dari halaman
teduh nyaman.


Gelanggang (2)


Usah terlalu ramah pada irama
yang akan membawamu berputar-putar
di bawah duri rumpun mawar
berkawanlah yang wajar
sebab jika tidak
semua duri semua kelopak
akan diamsalnya kekasih bulan!


Gelanggang (3)


Lagu dangdut itu, batu-batu akik itu
dan perempuan-perempuan cantik merindu itu
memanglah puisi jika dipuisikan
dengan mesra; kata demi kata
Tapi tak akan sanggup membahasakan
tentang seorang penyanyi habis bergoyang
bergegas ke belakang panggung menyusui bayinya
yang haus dan membelai kepang rambut
anak perempuannya yang terkantuk-kantuk
menunggu pentas usai. Di mata anak itu terbayang
batu-batu akik sialan di jari seorang lelaki
bermata kelam dan perempuan-perempuan cantik
seperti ibunya sering ia temukan
menitikkan air mata di depan cermin:
titik yang serupa batu akik juga
kadang embun buat bercermin


Gelanggang (4)


Seperti politikus cendawan di musim hujan
aku ikut-ikutan mengirim sinyal sindiran
padahal lantai ditembak hidung yang kena
bau busuk ke mana-mana. Hidungku,
beri ia sebau-baunya kata
biar tahu busuknya dunia!


Yogyakarta, April 2014-Agustus 2015

Puisi: Gelanggang
Puisi: Gelanggang
Karya: Raudal Tanjung Banua
© Sepenuhnya. All rights reserved.