Puisi: Keroncong Motinggo (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Keroncong Motinggo" menggabungkan elemen sensualitas, keintiman, dan refleksi emosional untuk menciptakan sebuah narasi yang kompleks ...
Keroncong Motinggo (1)


Perempuan yang mengatupkan mata
Biarkan lampu kamar menyala
Selama kita bercinta
Tubuh kita yang telanjang
harus kita hadapi dengan
mata nyalang

Dalam bercumbu
kita kembali seperti dulu
sebelum mengenal malu

Ada tahi-lalat di pundakmu
Mari kukecup
Tapi nyalakan mata.


Keroncong Motinggo (2)


Apakah besok
Cinta hanya tahu hari kini
Ikutilah denyut
Yang membawa kita berhanyut
dari kamar ke kamar
Setiap ruang samar adalah perlindungan
buat menghalalkan perkosaan
Di mana berhenti
O, biar dunia tenggelam
dalam darahnya sendiri.


Keroncong Motinggo (3)


Jari yang meraba
ingin bicara
tentang hari-hari yang panjang
dan damba yang membara

Begitu jauh kita mengembara
apakah kesetiaan apakah janji
kalau kenangan tak punya arti
Tenggelamlah dalam kenanaran tubuh
dan lupakan diri

Ah, rabalah dada sebelah ini
Di situ hati remuk
oleh rindu dan ngeri.


Keroncong Motinggo (4)


Tubuh yang panjang
terus membayang
pada dinding angan-angan

Ladang yang subur
terbentang bebas
tanpa ragu

Hutan yang sepi
ikhlas menanti
jejak lelaki

Tubuh yang panjang
di puncak sayang
tak habis kunikmati.


Keroncong Motinggo (5)


Pada geliat subuh
darah tercampak di tubuh langit
dirangkul hari kekosongan berpaut
wajahnya lekas tua dalam perjamahan

Tidakkah kau takut
Ketika kukecup mulut
lidahku telah mengecap
kesat selera maut.



Sumber: Keroncong Motinggo (1975)

Analisis Puisi:
Puisi "Keroncong Motinggo" karya Subagio Sastrowardoyo menghadirkan serangkaian puisi pendek yang sarat dengan elemen sensual, keintiman, dan refleksi akan hubungan manusia. Berikut adalah analisis mendalam atas masing-masing bagian puisi tersebut:

Keroncong Motinggo (1): Puisi ini memulai serangkaian dengan menggambarkan suasana keintiman antara dua orang. Pemilihan kata yang sensual dan nada yang tenang menciptakan suasana romantis. "Tubuh kita yang telanjang" menggambarkan ketulusan dan kejujuran dalam hubungan, dan "mata nyalang" menunjukkan adanya keterbukaan dan ketulusan dalam melihat dan dilihat.

Keroncong Motinggo (2): Bagian kedua menciptakan atmosfer yang lebih gelap dan penuh ketidakpastian. "Cinta hanya tahu hari kini" mencerminkan ketidakjelasan masa depan hubungan. Denyut yang membawa "berhanyut dari kamar ke kamar" memberikan gambaran perjalanan dan pencarian dalam hubungan tersebut. Penggunaan bahasa yang lebih intens seperti "menghalalkan perkosaan" menciptakan ketegangan dan konflik yang mungkin ada dalam hubungan.

Keroncong Motinggo (3): Puisi ketiga mengeksplorasi tema kesetiaan, kenangan, dan kehilangan. Jari yang meraba menciptakan citra keintiman fisik, sementara "di situ hati remuk oleh rindu dan ngeri" menggambarkan kompleksitas emosi yang mungkin ada dalam hubungan tersebut. Kesetiaan dan janji tampaknya menjadi pertanyaan yang menggantung, dan "rabalah dada sebelah ini" menciptakan gambaran tentang kepedihan dan kerentanan.

Keroncong Motinggo (4): Puisi keempat mengeksplorasi tema kebebasan dan eksplorasi. Tubuh yang panjang menjadi simbol kebebasan dan keindahan alam. "Tubuh yang panjang di puncak sayang" menunjukkan ketinggian pengalaman dan kepuasan dalam keintiman.

Keroncong Motinggo (5): Puisi terakhir menciptakan suasana misterius dan puitis dengan gambaran darah di tubuh langit dan perjamahan wajah. Kesat selera maut menggambarkan rasa terlarang dan keberanian dalam menghadapi kematian atau hal-hal yang gelap dalam kehidupan.

Puisi "Keroncong Motinggo" menggabungkan elemen sensualitas, keintiman, dan refleksi emosional untuk menciptakan sebuah narasi yang kompleks tentang hubungan manusia. Setiap bagian puisi memberikan lapisan baru dalam pemahaman akan dinamika hubungan, membiarkan pembaca merenung tentang keindahan dan kerumitan kehidupan manusia.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Keroncong Motinggo
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.