Matahari Pertama
Tidak setiap kesalahan adalah dosa
bukan pula kekalahan
Bila pintu terbuka dan matahari bersinar
kami memandang tanpa curiga. Kadang
dengan riang kami bicara
tentang perang. Sambil membayangkan
kapal-kapal oleng karena muatan
bendera setengah tiang. Lorong tambang
yang mendebarkan
dan ajaib, kami temukan mereka,
orang-orang dengan tulang rusuk yang rusak
bangkit dan bergerak. di ujung lorong
dengan sedikit cahaya
jadi pertanda – datangnya matahari pertama
matahari yang senantiasa terbaca
tiap kali pintu terbuka. Tanpa curiga
kami memandang dan mengulang cerita lama
tapi tidak tentang kalah dan menang
biarlah itu menjadi matahari silam
para nenek moyang
matahari kami kini: matahari pertama
di suatu pagi yang tak mengenal
nama-nama hari. cahaya dibagi rata
seperti puisi,
menyepuh bumi dalam kilauan
sehingga semuanya bercahaya
bahkan bulan (yang tak memiliki
cahaya sendiri), purnama
dan bintang-bintang begitu cemerlang
di jagad galaksi matahari kami!
sehingga semuanya bernama
atas maunya sendiri. semuanya terbaca
dan ditulis kembali
dengan tatahan semangat cahaya pertama
cahaya yang menata batu-batu
dan air dan lorong tambang
menjadi baru dilahirkan
bahkan terasa
bahwa tuhan sendiri lupa menulis semuanya
di kertas dosa!
Kami sendirilah yang menulisnya
di kertas putih
puisi cinta.
Jakarta-Bandung, 2000
Karya: Raudal Tanjung Banua