Puisi: Ketika Indonesia Bertanya (Karya Eka Budianta)

Puisi "Ketika Indonesia Bertanya" karya Eka Budianta mengangkat tema nasionalisme dan komitmen untuk membangun Indonesia sebagai sebuah negara yang ..
Ketika Indonesia Bertanya


Hari ini kudengar Tanah Air bertanya:
Apa tandanya kamu cinta padaku?
Pada laut, pada pulau, gunung dan kota kujawab:
Ibu Pertiwi tidak sia-sia lahirkan anaknya.

Indonesia, tumpah darah bangsa yang setia,
Tak akan kubiarkan kamu diam dalam kegelapan.
Mataharimu adalah semangat hidupku.

Telah kuputuskan melewati jaman demi jaman,
Dengan cinta di tangan dan langkah bersama.
Republik ini dibangun bukan untuk satu dua generasi
Bukan untuk 50, 100, atau 200 tahun.

Di pantai masa lalu dan cakrawala masa depan
Telah kususun mimpi dan kerja-kerasku
Sinar matamu, adalah hari depanku, Indonesia.

17 Agustus 1998

Sumber: Masih bersama Langit (2000)

Analisis Puisi:
Puisi "Ketika Indonesia Bertanya" karya Eka Budianta adalah suatu refleksi tentang cinta dan komitmen terhadap Tanah Air. Puisi ini mengangkat tema nasionalisme dan komitmen untuk membangun Indonesia sebagai sebuah negara yang kuat dan berkelanjutan.

Dialog dengan Tanah Air: Puisi ini dimulai dengan penggambaran sebuah dialog antara penutur puisi dan Tanah Air. Tanah Air bertanya, "Apa tandanya kamu cinta padaku?" Pertanyaan ini menciptakan suasana intim dan memberikan kesan bahwa Tanah Air adalah entitas hidup yang mampu berbicara dan merasakan. Puisi menjawab pertanyaan tersebut dengan ungkapan cinta melalui keberhasilan Ibu Pertiwi dalam melahirkan anak-anaknya.

Ibu Pertiwi dan Keberhasilannya: Puisi menggambarkan Ibu Pertiwi sebagai figur yang berhasil dan bernilai tinggi karena berhasil melahirkan anak-anaknya. Ungkapan "Ibu Pertiwi tidak sia-sia lahirkan anaknya" menciptakan citra keberhasilan dan kebanggaan terhadap Tanah Air.

Tumpah Darah Bangsa dan Kegelapan: Ekspresi "Tumpah darah bangsa yang setia" menunjukkan kesetiaan terhadap Indonesia. Puisi juga menyatakan ketidaksetujuan terhadap kegelapan, menegaskan bahwa Tanah Air tidak boleh "diam dalam kegelapan." Ini dapat diartikan sebagai panggilan untuk bersatu dan melawan segala bentuk ketidakadilan atau ketidakbenaran.

Matahari sebagai Semangat Hidup: Metafora matahari sebagai "semangat hidupku" menggambarkan harapan dan kecerahan. Matahari sering dianggap sebagai simbol kehidupan, dan penggunaan simbol ini menciptakan citra harapan dan inspirasi yang terkandung dalam kecintaan terhadap Tanah Air.

Komitmen Melintasi Jaman: Puisi mengekspresikan tekad untuk terus berjuang dan membangun Indonesia melintasi berbagai zaman. Penyair menyatakan bahwa komitmen ini tidak hanya untuk satu atau dua generasi, tetapi untuk jangka waktu yang lebih lama, menegaskan bahwa "Republik ini dibangun bukan untuk satu dua generasi Bukan untuk 50, 100, atau 200 tahun."

Pantai Masa Lalu dan Cakrawala Masa Depan: Puisi menghubungkan masa lalu dan masa depan dengan referensi kepada "pantai masa lalu dan cakrawala masa depan." Ini menekankan pentingnya melihat ke belakang untuk menghargai sejarah dan merencanakan masa depan yang lebih baik.

Mimpi dan Kerja Keras: Dalam menghadapi masa depan, penutur puisi menyatakan bahwa ia telah "kususun mimpi dan kerja-kerasku." Ini menekankan pentingnya memiliki visi dan tekad yang kuat untuk mewujudkan mimpi tersebut melalui usaha yang keras.

Sinar Matamu dan Hari Depan Indonesia: Puisi diakhiri dengan metafora yang kuat, yaitu "Sinar matamu, adalah hari depanku, Indonesia." Ini menggambarkan harapan yang cerah dan optimisme untuk masa depan Indonesia, dengan menyandarkan kepercayaan pada kebijaksanaan dan keberlanjutan.

Secara keseluruhan, puisi ini merangkai kata-kata untuk menyampaikan rasa cinta, kebanggaan, dan komitmen terhadap Tanah Air. Eka Budianta dengan indahnya menciptakan puisi yang memotret semangat nasionalisme dan tekad untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.


Puisi: Ketika Indonesia Bertanya
Puisi: Ketika Indonesia Bertanya
Karya: Eka Budianta

Biodata Eka Budianta:
  • Christophorus Apolinaris Eka Budianta Martoredjo.
  • Eka Budianta lahir pada tanggal 1 Februari 1956 di Ngimbang, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.