Puisi: Penantian (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Penantian" menciptakan gambaran indah dan melankolis tentang penantian, menggambarkan suasana yang dipenuhi ketidakpastian, harap, dan ...
Penantian


Di dalam gelap kamar aku tak bisa
melihat jam dinding menunjuk pukul berapa.
Yang kutangkap hanya bunyi tik-tik yang tidak
memberi kepastian masih berapa lama akan pagi.
Aku menanti bersama buku-buku di meja dan
baju kumuh yang bergantung di lemari.

Hujan yang menimpa di atap mengisi kekosongan
dan menjadi sangat berarti. Penantian mendambakan
kejadian dan nyawa berteriak: “Terjadilah sesuatu!”
Kilat yang tiba-tiba menyambar memberi kebahagiaan
yang sejuk tak menentu.

Menanti adalah tugas mulia yang dilakukan
Kalijaga di tepi sungai sampai urat akar membelit
jasadnya. Kenikmatan terdapat dalam hilangnya kenangan
sejarah dan harapan hari nanti. Keabadian mengental
pada detik ini, yang tidak mungkin dipegang kecuali
kalau penantian berhenti.

Makhluk yang dikasihi Tuhan adalah batu. Ia tak
pernah merasa resah, karena membiarkan peristiwa
berlalu. Baginya tidak ada penantian. Awal dan akhir
zaman dialami dengan sikap tak peduli. Begitu juga
tak ada benci atau cinta yang menggoda ketenangan diri.
Ia diam dalam sakit waktu bumi hancur sampai sekecil
atomnya.

Ah, ada yang ingin jadi batu kalau kehidupan dimulai
lagi.


Sumber: Simfoni Dua (1990)

Catatan:
Puisi ini pernah dimuat di Horison edisi November, 1989.

Analisis Puisi:
Puisi "Penantian" karya Subagio Sastrowardoyo membawa pembaca ke dalam ruang penantian yang gelap dan penuh harap.

Tema Penantian: Tema utama puisi ini adalah penantian, yang menggambarkan keadaan seseorang yang menanti di dalam gelap. Penantian ini dapat diartikan sebagai proses menunggu sesuatu yang diharapkan, seperti kejadian yang akan datang atau perubahan dalam kehidupan.

Atmosfer Gelap dan Hujan: Puisi menciptakan atmosfer gelap yang mencerminkan ketidakpastian dan ketidakjelasan waktu. Hujan yang turun memberikan arti mendalam pada penantian, sebagai elemen yang mengisi kekosongan dan memberikan harapan akan perubahan.

Bunyi Tik-tik Jam: Bunyi tik-tik jam menciptakan ketidakpastian dan kegelapan, karena penulis tidak dapat melihat jam. Ini menciptakan suasana penantian yang membutuhkan kepastian waktu, tetapi di saat yang sama, penulis juga menekankan pada keindahan bunyi tik-tik tersebut.

Kilat sebagai Harapan: Kilat yang menyambar di tengah-tengah hujan dianggap sebagai kebahagiaan yang sejuk dan tak menentu. Kilat menjadi simbol harapan atau peristiwa yang ditunggu-tunggu, menghidupkan suasana penantian dengan momen yang tak terduga.

Penantian sebagai Tugas Mulia: Penantian dalam puisi dianggap sebagai tugas mulia, sebagaimana dilakukan oleh Kalijaga di tepi sungai. Hal ini menunjukkan bahwa penantian tidak hanya sebagai keadaan pasif, tetapi juga dapat menjadi suatu bentuk pengabdian dan kesabaran yang tinggi.

Keabadian dalam Detik Ini: Puisi menggambarkan keabadian yang dapat dirasakan dalam detik penantian. Detik ini menjadi momen yang berharga, di mana kenangan sejarah dan harapan masa depan hilang dan kesadaran tentang keberadaan saat ini meningkat.

Batu sebagai Makhluk yang Dikasihi Tuhan: Penulis menyampaikan pemikiran bahwa batu, yang tidak merasa resah dan tidak mengalami penantian, adalah makhluk yang dikasihi Tuhan. Batu dianggap sebagai simbol ketenangan dan keabadian, yang tidak terpengaruh oleh waktu dan peristiwa di sekitarnya.

Keinginan Menjadi Batu: Puisi diakhiri dengan keinginan seseorang untuk menjadi batu. Ini mungkin menggambarkan keinginan untuk merasakan ketenangan, ketidakpedulian, dan keabadian yang dimiliki oleh batu.

Puisi "Penantian" menciptakan gambaran indah dan melankolis tentang penantian, menggambarkan suasana yang dipenuhi ketidakpastian, harap, dan keindahan di dalam gelapnya waktu. Melalui simbolisme dan imaji yang kuat, penulis berhasil menggambarkan pengalaman penantian sebagai suatu perjalanan yang berarti dalam kehidupan.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Penantian
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.