Puisi: Perempuan yang Berumah di Tepi Pantai (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Perempuan yang Berumah di Tepi Pantai" menggambarkan kehampaan dan rindu, serta menyelipkan elemen-elemen kehidupan sehari-hari.
Perempuan yang Berumah di Tepi Pantai

Bunga yang kusenangi kupasang di jendela
daun pintu terbuka
kursi lengang dekat meja
lagi kupanggil namanya di lorong rata
menjauh langkah tergesa
bergema hampa

Lampu di kamar tetap menyala
tumpah di pangkuan surat lama
lonceng mati di angka tiga
masih yakin dia ada
tinggal aku diam terjaga
pagi rebah di pinggir desa

Sinar hari membelah ruang
rumah kosong nampak tua
hiasan dinding tanpa guna
di pantai kembali surut air kelam
ke lubuk laut entah di mana
betapa dalam sunyi menikam

Tikar pandan terhampar di lantai
sandal sepasang tak terpakai
kopi di cangkir belum tersentuh
berapa lama harus bersimpuh
menanti sapa di mulut pintu
ucapan salam kepadaku

Semua sudah bersih di dalam
pakaian putih terlipat di tilam
badan siap menyambut dia yang diharap
ingin diri meniarap lata
berteriak seru mari
tapi setiap terbilang kata
bayangan hening lari

Tubuhku rumah yang butuh dihuni
suasana hampa damba akan isi
air tenang menangis di rongga sunyi
apatah kehadiran tanpa dihadiri
kemanusiaan minta saksi
lonceng bergoyang sebelum mati

Telah kusisir rambutku kusut
kaca bening tergantung di sudut
asal saja pecah hening ini
dibawa berbincang sepanjang pagi
atau diam pandang-memandang mengajuk hati
tamu, datanglah datang

Seandainya datang, aduh
kubasuh kakinya sambil berdendang
kusupkan nasi dengan tangan sendiri
kesendirian begitu ngeri
setiap dia memalingkan wajahnya ke mari
aku akan memekik girang ya aku di sini

Tak terlarai aku dan dia
darat dan laut saling memadai
hamba dan tuan berkait abadi
sudah terdengar ombak berdebur di karang
sayup-sayup memanggil suara tersayang
lekas ke pantai aku menjelang.

Sumber: Hari dan Hara (1982)

Analisis Puisi:
Puisi "Perempuan yang Berumah di Tepi Pantai" karya Subagio Sastrowardoyo adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan kehampaan dan rindu, serta menyelipkan elemen-elemen kehidupan sehari-hari.

Gambaran Ruangan dan Tempat: Puisi ini dibuka dengan gambaran ruangan kosong dan suasana tepi pantai. Pemilihan elemen-elemen seperti bunga di jendela, kursi, dan lampu di kamar memberikan suasana yang kaya akan detail dan melibatkan pembaca dalam suasana sekitar.

Penekanan Pada Kehampaan: Penyair menekankan kehampaan melalui deskripsi rumah yang kosong, lonceng mati di angka tiga, dan hiasan dinding tanpa guna. Hal ini menciptakan suasana yang hening dan mencolokkan kekosongan yang dirasakan oleh tokoh dalam puisi.

Rindu dan Tunggu: Puisi ini merinci tunggu dan rindu tokoh terhadap seseorang yang diharapkan datang. Kecemasan dan kerinduan ini tercermin dalam larik-larik yang menggambarkan kekosongan rumah yang menanti kedatangan seseorang.

Simbolisme Lampu dan Lonceng: Lampu yang tetap menyala dan lonceng yang mati pada angka tiga membawa simbolisme yang mendalam. Lampu yang tetap menyala mungkin merujuk pada harapan yang terus bersinar, sementara lonceng yang mati di angka tiga bisa menjadi tanda kehilangan atau keputusasaan.

Kemanusiaan yang Meminta Saksi: Penyair menyoroti kebutuhan kemanusiaan untuk memiliki saksi. Lonceng bergoyang sebelum mati menciptakan gambaran yang kuat tentang kehidupan yang ingin dinikmati dan diakui oleh orang lain.

Drama Dalam Diam: Puisi ini menciptakan suasana drama yang kuat meskipun dalam diam. Pembaca dapat merasakan kegusaran dan kerinduan tokoh melalui kata-kata yang dipilih dengan cermat.

Ekspresi Emosi dan Harapan: Penyair menyampaikan ekspresi emosi dan harapan tokoh dengan penuh intensitas. Pemilihan kata-kata yang berkuasa menciptakan atmosfer yang membuat pembaca dapat merasakan emosi tokoh secara mendalam.

Pertemuan yang Diidamkan: Puisi mencapai puncaknya dengan gambaran tokoh yang mengharapkan pertemuan dengan seseorang. Permintaan agar tamu datang dan penggambaran situasi perjumpaan yang diidamkan memberikan dimensi romantisme dan emosional.

Puisi "Perempuan yang Berumah di Tepi Pantai" adalah karya yang penuh dengan simbolisme, emosi, dan gambaran yang mendalam. Dengan menggambarkan kehampaan, rindu, dan harapan, Subagio Sastrowardoyo menciptakan puisi yang memukau dan membius pembaca ke dalam dunia emosional tokoh yang dirindukannya.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Perempuan yang Berumah di Tepi Pantai
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.