Puisi: Kita Tak Belajar Membaca Tanda-Tanda (Karya D. Kemalawati)

Puisi "Kita Tak Belajar Membaca Tanda-Tanda" karya D. Kemalawati menggambarkan perjalanan manusia melalui goncangan hidup, kepekaan terhadap alam, ...
Kita Tak Belajar
Membaca Tanda-Tanda

ketika kita terhuyung-huyung dalam goncangan panjang
ketika kita bersidekap rapat dengan bumi
ketika kita tak pernah tahu tanah rengkah
air laut surut berdepa-depa
ketika ia menjulurkan lidahnya ke angkasa
ikan-ikan menggelepar, pasir-pasir mengering
rumput laut tak sembunyi di balik karang
lalu sebagian dari kita berhamburan ke tengah pasir
silau oleh gemerlap sisik ikan
bagai kunang-kunang yang mabuk cahaya
seakan bara siap mengharumkannya
perut sejengkal sudah sehasta
berbongkah-bongkah daging merah
gerah menari di lidahnya
Masya Allah, ketika dari kejauhan dia datang menerkam
Tak ada sayap menerbangkan tubuh kita
Dalam hitungan detik Malaikat Izrail kembali
Menyampaikan laporannya
Menyempurnakannya hitungannya
Kita tak belajar membaca tanda-tanda
Sebagian kita melihat dengan batinnya
Masjid-masjid yang sendiri di bibir pantai
Adalah perahu Nuh yang disesaki kaumnya
Lalu ia bertanya mengapa berlari dari masjid.

Banda Aceh, 10 Januari 2005

Analisis Puisi:
Puisi "Kita Tak Belajar Membaca Tanda-Tanda" karya D. Kemalawati menggambarkan perjalanan manusia melalui goncangan hidup, kepekaan terhadap alam, dan ketidaktahuan terhadap tanda-tanda yang seharusnya menjadi petunjuk.

Goncangan Hidup: "Terhuyung-huyung dalam goncangan panjang" menciptakan gambaran tentang goncangan atau guncangan dalam kehidupan. Ini bisa merujuk pada tantangan dan ujian yang dihadapi manusia.

Keterkaitan dengan Alam: Puisi menyajikan gambaran tentang keterkaitan manusia dengan alam. Saat "bersidekap rapat dengan bumi," terlihat bahwa manusia adalah bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan alamiah.

Air Laut Surut: Gambaran tentang air laut surut menciptakan gambaran dramatis dan perubahan dalam lingkungan alam. Ini bisa diartikan sebagai metafora perubahan dalam kehidupan manusia.

Keajaiban Alam: Puisi menciptakan gambaran keajaiban alam seperti "rumput laut tak sembunyi di balik karang." Keindahan alam tersebut menggambarkan bahwa tanda-tanda kehidupan yang berharga dapat tersembunyi di balik hal-hal sederhana.

Malaikat Izrail: Ketika Malaikat Izrail disebutkan, ini menciptakan suasana keagungan dan ketakutan. Kembalinya Malaikat Izrail dengan laporan dan hitungan menunjukkan bahwa setiap detik kehidupan memiliki arti dan hitungannya.

Ketidakpedulian Terhadap Tanda-Tanda: Puisi mengkritik manusia karena "tak belajar membaca tanda-tanda." Ini mencerminkan ketidakpedulian manusia terhadap petunjuk yang diberikan oleh alam dan takdir.

Kepekaan Batin dan Pandangan Spiritual: "Sebagian kita melihat dengan batinnya" menyoroti kepekaan spiritual dan pandangan yang mendalam terhadap kehidupan. Penggambaran masjid-masjid di bibir pantai sebagai "perahu Nuh" menunjukkan bahwa kebenaran seringkali terlihat oleh mereka yang memiliki pandangan spiritual.

Malaikat Izrail Kembali: Kembalinya Malaikat Izrail dalam waktu singkat menyoroti kecepatan siklus kehidupan dan ketidakpastian akan waktunya.

Penutup: Pertanyaan mengapa berlari dari masjid menciptakan misteri dan meninggalkan pembaca untuk merenung. Hal ini bisa diartikan sebagai pertanyaan filosofis tentang arah hidup dan tindakan manusia dalam menghadapi tanda-tanda yang diberikan.

Secara keseluruhan, puisi ini membawa pembaca melalui perjalanan reflektif terhadap kehidupan, alam, dan spiritualitas, sambil menekankan kebutuhan untuk lebih peka terhadap tanda-tanda yang mungkin menjadi petunjuk dalam hidup.

D. Kemalawati
Puisi: Kita Tak Belajar Membaca Tanda-Tanda
Karya: D. Kemalawati

Biodata D. Kemalawati:
  • Deknong Kemalawati lahir pada tanggal 2 April 1965 di Meulaboh, Aceh.
© Sepenuhnya. All rights reserved.