Puisi: Aceh (Karya Sulaiman Juned)

Puisi: Aceh Karya: Sulaiman Juned
Aceh (1)
(bagi yang hilang-kehilangan)


Sekejap larut di lembah - bukit memanjang
jauh. Luka bersimaharaja di hati
membayang perjalanan masa silam
rindu belum lagi mau sembuh: Gunongan
bukti cinta seorang hamba. Kherkhoef
lorong panjang catatan sejarah menari di pucuk
kenangan. Gerimis masih mengurung perjalanan.

Sekejap larut di lembah - bukit memanjang
jauh. Di rantau aku tatap tubuhmu dililit duka
api-angin-batu bersenggama pada dingin
gigi. Bunyi lesung bersorak-sorai dalam
hutan - asap menyesak - tingkah kaki terusik
gelisah. Sudah waktunya kita pulang
menata pekarangan rumah dengan cinta
kita harus menggantikan warna hitam
menjadi putih antar ke pintu surga
(mari jemput waktu lewat senyum di kening bulan).

Aceh-Padang Panjang, 2003-2005

Catatan:
Gunongan: Taman yang dibangun Sultan Iskandar Muda, persembahan untuk puteri Pahang.
Kherkhoef: Perkuburan milik pemerintahan Kerajaan Belanda di Banda Aceh.


Aceh (2)
(bagi penyair Maskirbi-Nurgani Asyik dan pelukis Versevenny)


Luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi. Pagi
yang bening jadi kelam. Luka-duka
menari di samudera pikiran. Aku tatap kota
melesat dalam waktu berkalang maut
orang-orang menanggalkan hati
satu demi satu. Ini tubuh siapa punya
memanggil-manggil Tuhan di setiap
aliran nadi. Kami ini jiwa-hati mencatat
lara-tak bisa lari tak bisa sembunyi
orang-orang berkelahi bersama ombak
di kelap-kelip waktu. Orang-orang lalu-lalang di antara
aroma mayat-meski teramat pahit. Nafas
pesakitan tersirat di wajah penderitaan. Aku
tabur bunga di pusara bernama Aceh
(kapan usai hikayat bertopeng ini, duhai!).

Luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi. Pagi
yang bening jadi kelam. Gundah-gelisah-sakit
pilu menyatu dalam bingkai cinta-lara
telah aku kecup getir di kamar rahasia
menghabiskan malam dalam senyum-beku
waktu mengirim setangkai kembang meraih
bulan-gerimis masih berkelahi di halaman
siapa di antara kita terluka-padamu
pahatkan resah. Kabut-angin-api-air
mempersiang diri dalam sepi
secangkir kesedihan terceruk belati
menggali terusan air mata di kedalaman
mata air kami. Seperti Tuhan pada
waktu subuh menabur gelombang
sembunyikan getir-cinta terbunuh
udara kelabu-aroma kematian terhidang
di perjamuan menyekap pikiran
erat berpangut - berapa harga
kelicikan
harus
kubeli
(aku beli keluh-kesah itu selipkan di kain kafanmu).

Luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi. Sudah
waktunya kita pulang - entah bagaimana
menerjemahkan kesucian terhidang
lewat nikmatnya sakit. Sesekali aku pulang
menyaksikan Bungong Jeumpa patah
tunasnya. Hanya pada bayang bercerita;
Maskirbi-baru saja kita Poh Cakra di Keude Khupi tentang Aceh
agar menyelesaikan konflik dengan cinta-seni biar
tak ada yang mati sia-sia. Memahami
luka dengan kasih sayang bukan dendam. Nurgani Asyik
terakhir kali kita keliling Darussalam-Ulee Kareng serta minum
kopi di pantai Ulee Lhee sambil menikmati shanset turun
memeluk malam - tempat kita berkelahi pikiran. Versevenny
dimana kau simpan kanvasmu-melukiskan ini kalbu
terbelah. Selamat malam cinta - aku hanya mampu mengirim
doa jadikan tembang menemani perjalanan malammu. Di pusara
tujuh bidadari menanti - menabur wangi mawar antar ke pintu surga
(hari ini kita berkabung - ditegur Tuhan untuk kenali diri).


Aceh-Padang Panjang, 2005


Aceh (3)


Hidup berbatas cahaya matahari. Malam
bukan lagi milik bersama - tak ada lagi
perempuan-perempuan menangkap belalang
di sawah dan tegalan dengan lampu minyak
kelap-kelip buat lauk besok pagi - tak ada lagi
lelaki menikmati isapan rokok bersama dingin
malam sambil jongkok buang hajat di pinggir
kali. Tak ada lagi nyala petromaks di rumah
kematian mengumandangkan ayat pengantar kepergian
abadi. Orang-orang harus memilih keselamatan dengan diam.


Solo, 2005


Aceh (4)


Titip sekian rindu. Siapa melewati
Seulawah masihkah bilik para datu
mengalirkan air kasih-Nya. Leluhur
membasuh dada bujang agar mampu menjalani
kerasnya hidup. Anak sampan belum siap
memutar haluan walau zikir sebaya sesekali
terdengar sayup. Biarkan dulu aku di sini menjaring
mimpi-mimpi yang pasti - bawa pulang buat anak
istri. Pergi ditepungtawari datu dengan doa - pulang
memandang luka memborok dalam kalbu.


Padang-Solo, 2005


Aceh (5)


Masa depan di sini
adalah masa depan air mata-darah-kematian
tumpah - rebah tanah tumpah darah. Darah
tumpah di tanah airku meninggalkan lebam
membekas di jiwa sepanjang masa. Aku
catat setiap sengketa sambil sempurnakan sabit
jadi purnama.


Solo, 2005


Aceh (6)


Kampung-kampung
masih terkepung sepi. Gerimis
memasuki rumah tanpa salam.

Solo, 2006
Puisi: Aceh
Puisi: Aceh
Karya: Sulaiman Juned
© Sepenuhnya. All rights reserved.