Puisi: Kerikil Nafas Jakarta (Karya Asep Setiawan)

Puisi "Kerikil Nafas Jakarta" karya Asep Setiawan menggambarkan pemandangan yang penuh kritik dan kekecewaan terhadap ibukota, Jakarta.
Kerikil Nafas Jakarta


Kerikil nafas ibukota menyentak lamunan
Tentang darah yang mengering dari luka suara-suara
Tentang beling yang berserak dari pecahan angan
Tajam menghujam sebaris doa hari-hari
Dingin mengguyur langkah diri yang tersisa
Padahal lorong kian sempit menyongsong kepastian
Kerikilpun kian dalam melukai
Tekad hangus terbakar polusi hati
Nekad kian panas merhakan matahari
Dan jauh di sana ada tangis sepi di tanah merdeka
Yang sementara melagukan nyanyian rindu dan sesal
Peluklah aku, katanya
Atau pandanganlah sebelum nafasmu menjadi tersengal
Kerikil nafas ibukota
Adalah khayalan panjang sejumlah kepala tanpa isi
Adalah kumpulan busuk dari bangkai birokrasi


Analisis Puisi:
Puisi "Kerikil Nafas Jakarta" karya Asep Setiawan menggambarkan pemandangan yang penuh kritik dan kekecewaan terhadap ibukota, Jakarta.

Metafora Kerikil Nafas: "Kerikil nafas" digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan sesuatu yang menyakitkan dan tidak nyaman, menciptakan gambaran tentang kehidupan yang keras dan penuh tantangan di ibukota.

Distorsi Realitas: Penggunaan bahasa yang kaya imajinatif menciptakan distorsi realitas. Puisi ini mengungkapkan pandangan negatif terhadap kondisi Jakarta, menyampaikan pemikiran bahwa kehidupan di kota ini seperti kerikil yang menyentak dan melukai.

Darah yang Mengering dari Luka Suara-Suara: Gambaran darah yang mengering dari luka suara-suara menyoroti keadaan masyarakat yang terluka dan terpinggirkan. Penggunaan suara sebagai metafora menyiratkan kebisuan dan ketidakberdayaan mereka.

Beling Pecahan Angan: Beling yang berserak dari pecahan angan menciptakan gambaran kehancuran dan harapan yang pecah. Puisi ini mencerminkan ketidakpastian dan kekecewaan terhadap harapan-harapan yang hancur.

Lorong Sempit dan Kepastian yang Menyongsong: Lorong yang sempit menyimbolkan terbatasnya peluang dan kemajuan di Jakarta. Sementara itu, "kesempitan" itu sendiri adalah pandangan yang menyongsong masa depan yang suram dan tidak pasti.

Nekad yang Panas Merhakan Matahari: Nekad yang panas mencerminkan semangat perlawanan dan keteguhan di tengah tekanan. Namun, merhakan matahari menyoroti kehangatan dan kepedihan di balik tekad tersebut.

Tangis Sepi di Tanah Merdeka: Tangis sepi di tanah merdeka merujuk pada ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial yang melanda Indonesia. Puisi ini mengeksplorasi rasa kehilangan dan kerinduan atas keadilan.

Busuk dari Bangkai Birokrasi: Busuk dari bangkai birokrasi menyoroti korupsi dan kebobrokan dalam sistem pemerintahan. Puisi ini menjadi kritik terhadap birokrasi yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.

Puisi "Kerikil Nafas Jakarta" bukan hanya sebagai ungkapan kekecewaan, tetapi juga sebagai seruan untuk melihat dan mengubah kondisi yang ada. Asep Setiawan menggambarkan Jakarta sebagai tempat yang penuh penderitaan dan ketidakpastian, menantang pembaca untuk merenung dan bertindak terhadap kondisi tersebut.

Puisi
Puisi: Kerikil Nafas Jakarta
Karya: Asep Setiawan
© Sepenuhnya. All rights reserved.