Analisis Puisi:
Puisi "Sebuah Sungai di Daerah Pegunungan" karya Gunoto Saparie memaparkan eksplorasi perasaan seseorang yang mencari keindahan dan misteri di sepanjang sungai di daerah pegunungan. Melalui penggambaran alam dan perenungan pribadi, penyair mengeksplorasi tema-tema seperti keindahan alam, pencarian, dan perasaan cemas.
Pencarian Bidadari di Batu-Batu Sungai: Penyair memulai dengan pencarian jejak bidadari di batu-batu sungai. Metafora ini merujuk pada keindahan yang dicari-cari dalam lingkungan alam. Penggambaran Nawangwulan, karakter legendaris dalam dongeng Jawa, menambah dimensi magis dan mistis pada pencarian tersebut.
Perempuan yang Melintas Arus Deras: Meskipun perempuan itu melintas arus yang deras, di hati penyair terdapat perasaan cemas. Ini menciptakan ketegangan antara kecantikan yang diinginkan dan realitas yang mungkin penuh dengan tantangan dan bahaya.
Misteri dan Suara di Bukit Kalbu: Penggunaan suara di bukit kalbu mengeksplorasi unsur misteri dan kehadiran tak terlihat. Pertanyaan tentang siapa yang berbicara dan siapa yang hadir menambah elemen kebingungan dan keajaiban, mengundang pembaca untuk merenung.
Mandi dan Nyanyian di Sungai: Aktivitas mandi dan nyanyian di sungai menciptakan citra kebersamaan dengan alam. Bau lumpur yang dicium seperti kenangan yang kabur menyiratkan keindahan yang terabaikan dan terlupakan.
Keselarasan dengan Alam: Penyair menciptakan gambaran tentang aktivitas yang harmonis dengan alam, seperti mandi dan menyanyi di sungai. Ini mencerminkan upaya untuk menyelaraskan diri dengan lingkungan sekitar dan meresapi keindahan yang ada.
Kenangan yang Kabur: Penggunaan kenangan yang kabur menyiratkan bahwa keindahan yang dicari mungkin terletak di antara masa lalu dan sekarang, suatu tempat di dalam kenangan yang mulai pudar.
Puisi "Sebuah Sungai di Daerah Pegunungan" membawa pembaca dalam perjalanan pencarian dan refleksi pribadi penyair di sepanjang sungai pegunungan. Dengan menggunakan elemen mistis, keindahan alam, dan pertanyaan-pertanyaan filosofis, Gunoto Saparie menciptakan suatu karya yang memperkaya imajinasi pembaca dan merangsang pemikiran tentang hubungan manusia dengan alam dan keindahan yang tersembunyi di dalamnya.
Karya: Gunoto Saparie
Gunoto Saparie. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), dan Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), dan Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta. Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah.