Walantaka
di jalan itu ada banyak kerikil
kerikil serta cahaya bulan
seseorang menyandarkan cintanya
pada kekosongan
dan malam, di musim seperti ini
di sawah-sawah yang keruh, di air yang kusut
ketika gumpalan awan membeningkannya kembali
dengan menyimpan bayang-bayang putihnya di situ
angin dan daun-daun
seperti hendak berlindung ke utara
Walantaka amatlah jauh
kau hancur dalam kegelapan
bagai bau jenazah, abadi di hembusan udara
tercium olehku aroma daun kemboja, malam itu
dingin seakan mengusir orang-orang bersemedi
sebuah cahaya pun mengendap di sebuah tikungan
tapi kau datang
dengan niat yang jantan
lambung yang hampa
pikiran-pikiran baru
sebuah hitungan ganjil
barangkali kehidupan mesti dimulai dengan rongga terbuka
keranjang-keranjang kosong serta mata bagai elang merana
di tanah ini
telah kutemukan cermin sunyi
bentuk bahasa yang cantik
kebiruan yang terbentang
atau sesuatu yang tak mungkin menjadi tanda seru
ketika di tubuh merah api kembali bergemuruh
ketika mengantarmu ke arah matahari menyerah
ada pasar dan majlis-majlis yang riuh di pagi hari
kaligrafi bumi yang miring, hari-hari yang lipur
jalan-jalan bergelombang bagai bentuk dadamu
setelah ritual dimulai
setelah kitab itu menjadi milik kita
setidaknya, kita dapat menafsirkan kehidupan ini
dengan tetesan darah atau deraian airmata
cinta yang sanggup melelehkan batu-batu di angkasa.
1998
Karya: Ahmad Faisal Imron