Puisi: Silsilah (Karya A. Muttaqin)

Puisi: Silsilah Karya: A. Muttaqin
Silsilah


Kulahirkan kau lewat kupingku, supaya farjiku tetap merah dan rahasiaku terjaga. Cukup kau tahu, kupingku mawar koyak, mawar bengkak dan jantungku batu lapar berdetak.

Tidak. Tak usah kau tanya rusuk dan rahimku yang runyam, supaya tak ada lagi sebutan anak haram. Mereka mengira kau adalah anak sekaligus gendakku. Tidak. Tidak. Mereka tak tahu, kau sebetulnya ibuku, ibu seteruku, sebab kau menyimpan zakar rahasia yang mengancam pedangku.

Terkutuklah kau sebagai ibu lantaran tak mampu mengutukku. Terkutuklah aku, si jantan jahanam yang lebih keras dari batu.

Tidak. Kita tak boleh saling mengutuk. Mari kita sudahi macam-macam maki dan benci. Membikin perahu pasti lebih terpuji. Supaya kita bisa pura-pura keliru sebagai anak dan ibu yang hendak bersetubuh. Tidak. Tidak. Bukankah persetubuhan anak dan ibu hanya banyolan jelek para pembuat gaplek?

Telah kupanjangkan rambutku, supaya kau berani membawaku ke meja dadu. Supaya kau tahu: aku iblis manis, iblis sinis, iblis bengis. Sehingga para pengecut wandu itu malu-malu menyebutku setan pengacau.

Kupasang giwang dari zaman Kahuripan, maka ngacenglah mereka sekalian yang miskin pedoman. Lihatlah, wajahku cantik sekaligus tampan. Tidak. Tidak. Cantik dan tampan hanya milik mata yang dilanda katarak. Aku wajah licik dan tengik. Bahkan untuk melahirkanmu, aku tak perlu bercinta dengan lelaki atau perempuan. Tidak. Aku bercinta dengan diriku sendiri.

Kumasuki lubang kupingku, yakni lubang kiri, kemudian lubang yang kanan. Kumasuki dengan cara demikian, supaya aku leluasa menyortir suara dan bisikan, seperti memilih benih bagi kebajikan.

Kukawinkan benih lebus dan benih bagus, supaya kau lekas lepas dari sawan, bulu perawan, dan masa remaja yang berlebihan. Tak ada kun ajaib datang. Tapi kupingku jadi mekar dan kau pun keluar mengudar bunyi-bunyi liar yang membikin kawanan beo gemetar.

Tapi sebentar. Sebentar. Jangan kau panggil aku ibu. Sekali lagi, kau tak hanya anakku. Kau anak sekaligus gendakku. Tidak. Tidak cukup begitu. Bahkan kau sebetulnya ibuku, embakku, kawan kentalku, musuhku atau lebih dari itu.

Tak usah kau cari-cari ayah. Supaya jantungmu tak lagi terluka, supaya kita bisa terus bersandiwara, berpura-pura. Maka kutelanjangi diri di meja dadu, telanjang penuh. Supaya mereka tertipu dan menyebut kau lahir dari benih sekian ayah.

Tapi, tenanglah. Jangan kau menyangkal mereka. Kelak, sebagian pawang cemerlang yang bukan pecundang akan tahu, kau—seperti halnya riwayat para jawara dan pendekar—sekadar anak dari kisah kosong dan cerita bolong.

Sekali lagi, tenanglah. Tak usah marah. Apalagi bercita-cita jadi pemanah yang suka bergagah-gagah, tapi masyaallah, berakhir membusuk di tengkuk wanita.

Tidak. Tidak. Tak ada tujuh bidadari yang sudi turun ke bumi. Tapi jangan frustasi. Tak usah kau untal gunung, mengentuti para dewa, atau bertindak tolol dengan memotong zakarmu.

Ingatlah, kau anak yang lahir dari kupingku. Kita memang tak pernah bersetubuh. Tapi cukup kau tahu, aku sudah tak perawan, jauh, sejak pentil susuku masih hijau.

Kini, boleh kau tendang perahu, menggempur candi, memanggul salib dan menghunus mata dengan keris. Atau, kalau kau mau, masuklah ke mulutku untuk kukunyah dan kusemburkan ke setiap mulut bau yang suka mengaku-ngaku sebagai ayahmu itu.


2014

Puisi: Silsilah
Puisi: Silsilah
Karya: A. Muttaqin
© Sepenuhnya. All rights reserved.