Puisi: Di Tepi Jambi (Karya Wayan Jengki Sunarta)

Puisi "Di Tepi Jambi" karya Wayan Jengki Sunarta membawa pembaca pada perjalanan emosional yang dipenuhi dengan kenangan, kerinduan, dan ...
Di Tepi Jambi


di tepi jambi aku luruh
ke dalam genang kenanganmu
perahu telah melabuh dan langkah mulai
merasuki hutan keramatmu
hingga tiba aku di ketiadaan tubuh
pada akhirnya waktu akan menjelma abu

sriti di udara mengitari musim
sarang terlalu jauh dilamun
mengapa kau masih di teratak meratapi hari
yang pergi gontai

di tepi jambi
cuaca akan memberi isyarat kepulangan
ricik air mewarnai pelayaran
tapi mengapa kau tiada melepasku dengan senyum ranum
apakah waktu telah tua dengan sendirinya
hingga kau merasa keriput oleh senja
yang angslup di kelopak matamu

di tepi jambi
aku menagih janji
pada jiwamu sejati

di tepi jambi
aku bermimpi
hari-hari pergi
dan kau tiba lagi


2008

Analisis Puisi:
Puisi "Di Tepi Jambi" karya Wayan Jengki Sunarta membawa pembaca pada perjalanan emosional yang dipenuhi dengan kenangan, kerinduan, dan pertanyaan akan arti sebuah pertemuan dan perpisahan. Melalui metafora alam dan perjalanan hidup, penyair merangkai kata-kata untuk menggambarkan perasaan yang kompleks.

Perjalanan Melalui Kenangan: Penyair menggunakan gambaran "di tepi jambi" sebagai awal perjalanan melalui kenangan. Tempat ini menjadi simbol kisah cinta atau hubungan yang telah terjadi, di mana perahu telah melabuh dan langkah telah meresap ke dalam "hutan keramatmu." Ini menciptakan nuansa magis dan sakral yang melekat pada kenangan.

Ketiadaan Tubuh dan Waktu yang Menjadi Abu: Ketika penyair menyatakan "hingga tiba aku di ketiadaan tubuh," tergambar perasaan kehampaan dan kehilangan dalam kisah ini. Waktu yang akhirnya "menjelma abu" menyiratkan akan keterbatasan dan kerentanannya, serta bagaimana segala sesuatu akan kembali pada asalnya.

Sriti di Udara dan Kesedihan yang Melanda: "Pada akhirnya waktu akan menjelma abu" disertai dengan gambaran "sriti di udara mengitari musim." Ini memberikan kesan sriti (kenangan) yang menyelimuti kehidupan dan musim yang berubah, mengekspresikan kesedihan yang melekat dalam perjalanan waktu.

Terlalu Jauh Dilamun dan Hari yang Gontai: Penyair menciptakan gambaran tentang sarang yang "terlalu jauh dilamun" dan menyatakan bahwa hari-hari yang pergi "gontai." Ini mencerminkan kerapuhan dan kerinduan yang tidak terlupakan. Mengapa seseorang masih terpaku pada kenangan yang telah pudar?

Cuaca dan Isyarat Kepulangan: Di tepi Jambi, cuaca menjadi penanda kepulangan dengan "ricik air mewarnai pelayaran." Namun, meskipun isyarat kepulangan ada, penyair merasa terjebak dalam kehampaan karena orang yang diinginkannya untuk melepaskannya "tiada melepasku dengan senyum ranum."

Senja yang Menyentuh Matamu: Gambaran senja yang "angslup di kelopak matamu" memberikan kesan keindahan dan juga perpisahan. Senja yang melibatkan matamu menunjukkan kedalaman perasaan dan pemahaman akan kepergian.

Nagih Janji pada Jiwa Sejati dan Mimpi: Di tepi Jambi, penyair menagih janji pada "jiwamu sejati." Ini menciptakan kesan bahwa ada ikatan spiritual yang mendalam dan janji yang ditinggalkan. Puisi juga menciptakan suasana bermimpi dan menggambarkan perasaan seakan-akan hari-hari telah pergi.

Puisi "Di Tepi Jambi" menggambarkan perjalanan emosional dan spiritual yang dipenuhi dengan kenangan, kerinduan, dan pertanyaan. Metafora alam dan perjalanan hidup digunakan untuk menyampaikan kerumitan perasaan dan merenungkan makna cinta, waktu, dan kehidupan. Dengan kata-kata yang mendalam, puisi ini mengeksplorasi rasa kehilangan, harapan, dan keabadian.

Wayan Jengki Sunarta
Puisi: Di Tepi Jambi
Karya: Wayan Jengki Sunarta

Biodata Wayan Jengki Sunarta:
  • Wayan Jengki Sunarta lahir pada tanggal 22 Juni 1975 di Denpasar, Bali, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.