Puisi: Episode Pagi (Karya F. Rahardi)

Puisi: Episode Pagi Karya: F. Rahardi
Episode Pagi


Biarlah ranting-ranting lapuk itu
kuinjak dan kugusur
biarlah burung terbang dan hinggap
di dahan-dahan tinggi
lalu menyanyi dan menciap
kadang meratap
gembirakah mereka atau
berduka?

Biarlah capung melayang-layang
rendah lalu disambar camar
biarlah langit itu tersibak lalu
menerobos daun-daun
yang sangat rimbun
lalu cahaya birunya jatuh
di atas tonggak yang lembap dan basah
biarlah cahaya warna-warni itu
memancar dari cendawan
dan kristal-kristal embun
terserak di rumputan.

Angin
mungkin angin juga harus
kita beri kesempatan
untuk menggerak-gerakkan kayu mati
sudahkah matamu benar-benar kau buka
para tupai?

Pagi
setelah gelap itu lenyap
lalu hanya tersisa di bawah pepohonan
yang tumbang dan bertindihan
setelah gelap itu hanya tertinggal
di balik daun-daun talas gatal
marilah kita biarkan matahari itu
pelan-pelan bergerak
mula-mula merah di antara duri-duri rotan
lalu kuning
mungkin juga agak krem atau
sedikit oranye.

Marilah kita siramkan
air kencing sebanyak mungkin
di tunggul-tunggul kayu
dan semut-semut itu akan segera berpencar
lalu menggigit apa saja
yang bisa digigit.

Biarlah aroma urea menguap
berbaur wangi bunga pinang
lalu dibawa angin naik
di antara kerimbunan tajuk ketapang.

silakan
silakan menumpahkan
tai sebungkah demi sebungkah setelah
semalaman dia hangat diperam
dalam pantat tebalmu
jatuhkanlah gumpalan-gumpalan tai itu
pas menimpa gundukan pasir
agar mengepulkan sisa-sisa kehangatan
tadi malam.

Pagi
mungkin inilah saat yang paling tepat untuk
menyurukkan moncong menggerak-gerakkan
kuping serta menekuk-nekuk lutut
setelah semalam suntuk menjelajah
jarak berkilo-kilometer
belantara lembap dan basah.

Lalu kapan burung-burung jalak
akan datang dan hinggap
di punggung kelabu yang kokoh
untuk mematuk-matuk caplak
dan menyambar lalat darah
yang liar dan gesit.

Kapan ular-ular harus keluar lagi
lalu menjalar menyambar kodok
biarlah semua itu terlaksana dengan baik
tanpa kauatur-atur dengan berbagai
standar protokoler baku
semua harus bebas.

Semua harus dibiarkan melaju
di jalur-jalur
yang semalam telah dibajak oleh babi hutan
dan cacing tanah menggeliat lalu
menghunjam jauh ke dalam kegelapan humus
yang dirasakannya aman.

Tapi sebelum enggang itu
mengepakkan sayapnya sambil
meninggalkan getar gema berkepanjangan
biarkanlah
bunga-bunga jambu kopo melepaskan jambulnya
yang perak
lalu satu-satu serpih putih itu
sebentar mengapung di udara
lalu perlahan merendah
dan terserak di hamparan pasir
itu lebih baik.

Saat-saat yang biru seperti ini
saat-saat yang jernih
masih ingatkah kau
ketika berhari-hari badai menerbangkan
bulu-bulu merak sampai entah ke mana
lalu petir
lalu gelegar yang sangat keras
semua pohon bergerak
ranting dan daun-daun meniarap
menyatu dengan rumputan yang mati-matian
mencengkeram pasir
dan humus.

Semua itu sangat tidak nyaman
karena tetesan gerimis yang sekecil apapun
kalau menampar pipi tebalmu
akan terasa tajam sakali
lebih-lebih kalau langsung
mengenai mata.

Tapi biarlah
akhirnya cuaca jelek itu
juga berakhir dengan sendirinya
lalu semua diam.

Saat itulah tiba-tiba
seleret cahaya jingga teroles di pinggiran langit
jauh di timur sana di selatan gunung Honje
di sekitar gunung Tilu
itulah cahaya pagi.

gemericik air Citerjun
sangat jelas kedengaran jernihnya
gemuruh gelombang selatan
bisa tercium suara kerasnya
membentur karang di Sang Hyang Sirah
lalu belalang sembah menyembul
di antara pucuk-pucuk burahol
yang jambon.

Boleh
siapapun boleh menghirup udara
sebanyak mungkin
agak lembap tetapi dingin dan segar
tidak apa-apa
biar saja banteng-banteng jantan itu
hitam dan mendengus
meskipun belang putih titan
di pantat dan teracaknya sangat tegas
dia juga tetap memerlukan udara jernih itu
entah berapa liter per hari
biar saja tak pernah tertakar
dan tercatat
lalu masuk file
banteng
badak
tikus
merak
atau kawanan monyet
rusa-rusa jantan yang tanduknya
tanggal dan tumbuh lagi
semua boleh menyedot cuaca cerah ini
semaunya
tanpa dibatasi
tanpa diawasi.

Biar saja biawak itu mengendap sambil
menjulur-julurkan lidahnya yang bercabang
dia tetap boleh memompa oksigen sebanyak mungkin
hingga paru-paru merah jambunya
menggelembung
lalu kempes lagi.

Tetapi ular-ular itu
mengapa tetap diam
berhari-hari
bahkan berminggu-minggu
di antara celah-celah batu
apakah dia tidak berparu-paru atau
tidak perlu  mengisi paru-paru itu dengan
kesegaran udara pagi
atau dia sudah mati?

Mungkin ular-ular itu
adalah makhluk yang tahu diri
dia hanya diam saja hingga cukup setetes hawa hidup
sekadar memanasi darahnya
dia tak perlu mendengus-dengus
seperti banteng
tidak perlu
melabrak-labrak belukar dan kayu lapuk
itulah kebijaksanaan
itulah pagi yang hening dan biru.

Doa pagi
belum lengkap terucap
doa siang masih tinggi mengawang
ketika itulah sekelompok ninja bergerak cepat
langkah mereka tegas
tangan-tangan mereka cekatan
nyali mereka tinggi
dengan alat-alat dengan teknologi canggih
sarana komunikasi lengkap
dengan heli
dan kapal selam.

“Mau apa ninja-ninja itu?” tanya daun kepada dahan.
“Mestinya mereka sedang shoting sinetron.”
jawab embun kepada kabut.
“Sinetron?”
“Bukan!”
“Mereka mau menangkap badak.”
“Mereka mau membunuhnya.”
“Lalu mengekspornya ke Hongkong!”
“Apanya yang diekspor?”
“Seluruhnya. Dulu yang laku memang hanya culanya.
Sekarang semuanya.”
“Dagingnya?”
“Juga!”
“Kulitnya?”
“Juga!”
“Kukunya?”
“Ya!”
“Tulang-tulangnya?”
“Juga. Pokoknya seekor badak cula satu
dari Ujung Kulon utuh hidup atau mati
akan dibayar di Hongkong sebesar $ US 10 juta!”

doa-doa pagi itu terhenti
suara itu tersendat
ada yang berhenti dan tersekat di tenggorokan
beberapa ledakan keras
bau mesiu
kepulan asap tipis
yang segera disapu angin
darah
raungan gergaji mesin
kantung-kantung plastik
deru helikopter
dan ninja-ninja itu menghilang
entah ke Jepang entah ke Amerika
mungkin cuma ke Banten.

Doa-doa pun dilanjutkan
doa pagi
doa siang
doa sore
semua diputar sesuai aturan
sesuai embun
kadang kabut
sekali-sekali angin
biasanya juga matahari
tetapi ledakan-ledakan itu
membuat debar jantung makin meningkat
cukup pesat.


Sumber: Negeri Badak (2007)

F. Rahardi
Puisi: Episode Pagi
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.