Puisi: Interogasi (Karya F. Rahardi)

Puisi: Interogasi Karya: F. Rahardi
Interogasi (1)


Seekor badak berhasil dibekuk
aparat paranormal
dan digiring
ke Markas Besar Paranormal Nasional
untuk dimintai keterangan.

Badak itu
telah ditotok jalan darahnya
lalu titik-titik syarafnya
simpul-simpul bioritmiknya 
telah ditempeli
kertas-kertas kuning
bermantera.

Badak itu
lalu jadi kaku
tapi tetap sadar
tetap bisa melihat
tetap bisa mendengar
tetap bisa mencium udara
ruang interogasi yang sumpek
dan pengap.
“Siapa dalang dari seluruh kerusuhan
yang terjadi akhir-akhir ini?”

Badak itu berkedip tiga kali
menelan ludah
menghela napas
lalu melontarkan jawaban.

“Kuno!”
“Apanya yang kuno?
Kamu mau menghina petugas ya?”
“Ya otakmu itu yang kuno!
Tidak pernah dengar yang namanya sutradara?
Penulis cerita?
Penyusun skenario?
Pencatat script?
Lighting?
Cameraman?
Editor?
Produser?”
“Maksudmu bagaimana?
Ditanya dalang kok jawabnya ngelantur.”
“Begini. Dalang itu kan jaman dulu.
Yang menggerakkan wayang memang dalang.
Dia juga merancang cerita dan mengatur laku.
Tapi kini telah ada film, sinetron, lawak dan ketoprak humor. Semua itu hasil kerja kolektif.”

Isyarat
beberapa petugas paranormal datang
badak itu disihir
lalu meronta-ronta kesakitan
seperti tersengat setrum ribuan volt
kemudian lemes.
“Masih mau macem-macem?”
“Masih tidak mau ngaku?”
“Siapa dalangnya?”
“Siapa yang menunggangi kalian?”
“Siapa provokatornya?”
“Yang membiayai?”
“Yang mengorganisir?”
“Tujuan akhirnya apa?
Membentuk negara sendiri?
Menggulingkan pemerintahan yang sah?”
“Makar!”
“Setrum lagi!”
“Sihir! Sihir!”
“Dibuat kesurupan supaya mau ngaku!”
“Dikasih wisky biar mabuk dan ngoceh macam-macam.”
“Arak!”
“Tuak!”
“Brem!”
“Cap Tikus!”
“Oplos! Oplosan saja yang mujarab!”
“Hush! Sampanye! Vodka! Tiquila!”
“Bandrek!”
“Lo, bandrek kan tidak bikin mabuk?”
“Tapi dalam cuaca dingin begini
minum bandrek bisa menghangatkan badan!”
“Juga menghangatkan hati
menghangatkan pikiran
lalu kita bisa ngobrol santai dari hati ke hati!
Bukankah begitu badak?”
“Memang! Itu lebih bijaksana!”
“Ya ayo, ini ada bandrek ada ronde!
Semua panas! Kamu doyan kan badak?
Soalnya biasanya kamu hanya minum
air sungai Cigenter, Cibandawoh atau Cidaun.”
“Doyan! Saya pernah dijamu bandrek
oleh anak-anak Mapala!”
“Lo, di mana?”
“Dulu, ketika mereka sebulan penelitian di Cikeusik.”
“O!”
“Para mahasiswa itu muda-muda,
pintar-pintar dan baik-baik,
ada April ada Putri ada Pipit.”
“O, jadi hubungan antara para mahasiswa
dan kaum badak itu sudah terjalin lama ya?
Jadi otak dari semua huru-hara ini para mahasiswa itu ya?
Akhirnya!
Akhirnya kamu mau mengaku juga ya!”
“Lo, bukan! Bukan mereka!
Dalang dari semua ini ya yang ngarang!
Mestinya yang kalian tangkap itu bukan kami tapi dia!”
“Si pengarang?”
“Ya, dialah yang paling bertanggungjawab terhadap
seluruh kemelut yang terjadi di buku ini.
Dia pantas ditangkap, diadili
dan dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya!
Kami, para badak ini, hanyalah sekadar pelaksana.
Jadi bapak-bapak ini salah tangkap
dan salah culik!”

Para petugas itu
berseragam lengkap
mengepit map
menjinjing tas
dan meluangkan waktu
untuk menghadap diriku.

“Asallamualaikum!”
“Wallaikum Salam!
Silahken masuk silahken duduk!”
“Terimakasih Pak.
Bagaimana kabarnya setelah lengser?
Sehat-sehat saja?”
“Alhamdulillah, sehat.
Meskipun nganggur tetap sehat belum terkena stroke!
Sehat jasmani, sehat rohani.”
“Sokur Alhamdulillah!
Begini Pak, kedatangan kami-kami ini adalah
dalam rangka konfirmasi tentang berbagai isyu
yang sekarang-sekarang ini
ramai dibicarakan  masyarakat.”
“Saya tahu! Saya mengerti!
Jadi sebelum Anda-anda ini dateng kemari,
sebenarnya saya pribadi sudah merencanaken
untuk dateng ke Anda-anda
guna melaporken daripada keadaan yang sebenarnya.
Akan tetapi Anda semua telah meluangken waktu
untuk mengecek daripada isyu-isyu
yang berkembang di luar sana,
maka perlu saya tekanken bahwa
saya pribadi sebenarnya sama sekali tidak bermaksud
untuk membuat kacau daripada keadaan di negeri ini.
Maka apabila ada di antara saudara-saudara
atau siapa saja berhasil menemuken
sepatah atau duapatah kata di dalem buku saya ini,
dan ternyata bahwa kata-kata tersebut
telah menyebabken daripada kekacauan,
maka saya persilahken kepada siapa saja
untuk segera menghapusnya
dengan Tipex.
Sebab sedari dulu mula
memang tidak ada sedikitpun terbersit daripada
lubuk hati saya yang paling dalem,
bahwa ada niat untuk mengacau.
Jadi silahken!”
“Baiklah Pak.
Kalau begitu kami permisi
dan sewaktu-waktu kami mengharapkan
penjelasan lebih lanjut dari Bapak,
kami akan datang lagi.
Tetapi benar kan Bapak
yang mengarang buku ini?”
“Itu memang benar
tetapi sebenarnya tidak sengaja.
Semua kan atas kehendak yang di atas sana!”
“Maksud bapak kehendak anak-anak
yang sedang main CD player di lantai atas itu?”
“Bukan!
Maksud saya Tuhan!”
“O!”
“Tuhan itu Maha Kuasa lo!”
“O!”
“Juga Maha Murah dan Maha Baik!”
“O!”
“Coba bayangken,
dalem suasana daripada krismon demikian,
juga dalem kondisi nganggur setelah lengser,
e…….rejeki itu dateng seperti
aliran sungai Citarum.
Deras dan lancar!”
“O!”
“Makanya kalau saudara-saudara
kebetulan ada sedikit kesulitan daripada
masalah ekonomi, silahken!
Saya selalu terbuka untuk membantu daripada
siapa saja yang memang sedang sanget memerluken
uluran tangan!
Silahken!”

Para petugas itu
lalu membuka-buka map
membongkar isi tas
mengeluarkan berkas-berkas
menggelar kertas
menggenggam bolpen
menyiapkan laptop
lalu mencatat.

“Kami telah menghubungi
pengarang  buku ini dan mengorek
keterangan-keterangan penting
yang bisa menjadi  kunci
guna memecahkan berbagai permasalahan  penting
di buku ini.
Pengarang itu tetap tidak mau mengakui kesalahannya
dan justru melemparkan tanggungjawab ke  pihak lain.
Dia mengatakan bahwa
Tuhan adalah pencipta segala-galanya.
Termasuk buku yang ditulisnya,
termasuk kekacauan
yang terjadi di  buku ini.
Bukankah itu sebuah sikap tidak mau bertanggungjawab?
Padahal pada waktu dia menulis,
tidak pernah  ketahuan dengan jelas
apakah  dibantu oleh Tuhan atau oleh Setan.
Karenanya perlu dirancang
sebuah program penelitian yang menyeluruh
guna mengungkap misteri yang masih menyelimuti
diri pengarang kita ini.
Untuk itu akan segera disusun sebuah proposal guna
diajukan dalam APBN tahun depan
atau bisa pula dimintakan grant
dari USAID sebesar $ US 500.000,-
Dari hasil penelitian tersebut
akan bisa terungkap dengan jelas latar belakang
dan motivasi pengarang kita ini.
Apakah dia benar-benar berada di pihak Tuhan YME
atau justru berasal dari Setan
dengan motivasi utama menciptakan kekacauan.
Bisa pula dia itu plin-plan.
Kadang-kadang di pihak Tuhan
kadang-kadang ikut Setan.
Untuk sementara baru ini
yang bisa kami laporkan sambil menunggu
hasil survei secara lengkap.”

Markas Besar Paranormal Nasional
badak yang berhasil dibekuk
dan ditahan
para interogator
algojo
ahli-ahli sihir
ruang yang sangat mistis
aroma tiga bunga
mawar, kantil dan kenanga
wangi irisan daun pandan
bau asap kemenyan
asap dupa
asap hio
dengung mantera
irama doa
sebait pantun.

“Menari saman dikala gundah
onak dan duri di Batang Hari
mencari Tuhan tidaklah mudah
tidak dicari datang sendiri.”

Badak itu gemetar
kejang-kejang
lalu dirasuki roh nenek moyang
“Dari kemarin-kemarin saya sudah bilang.
Jangan ribut soal dalang
itu hanya ada dalam pertunjukan wayang
dalam film dan sinetron
sutradara bukan segala-galanya
masih ada penulis cerita
penulis skenario dan masih banyak lagi
ingat kan yang kubilang
kemarin-kemarin itu?”

“Benar mbah! Pengarang cerita ini
juga sulit untuk
dimintai pertanggungjawaban.
Dia terus berusaha mengelak
sambil melemparkan tanggungjawabnya
langsung kepada Tuhan YME!”

“Nah, kan sulit?
Sebab Tuhan memang sumber dari segala-galanya.
Dan kalau sudah dilemparkan ke sana
permasalahannya jadi buntu!”

“Kalau begitu kami hanya
akan minta penjelasan teknis.
Di manakah Anda
antara pukul 17.00 sd 23.00 WIB
hari Selasa tanggal 15 Desember yang lalu?”
“Di pojokan silang Monas!”
“Pojokan mana?
Pojok tenggara, baratdaya, barat laut atau timur laut?”
“Barat Laut!”
“Itu kan depan Istana?”
“Persis!
Memang saat itu saya berada tepat di depan istana!”
“Apa yang Anda lakukan pada saat itu?”
“Tidak ada. Saya hanya berdiri saja.
Kadang-kadang duduk!”
“Motivasi Anda?
Mengapa Anda berada di sana?
“Tidak ada.
Tempat itu saya pilih karena nyaman.
Di sana ada pohon trembesi besar dan rindang.
Dari sana, Istana Merdeka yang disorot lampu itu
tampak bagus sekali.
Di Taman Nasional Ujung Kulon
tidak ada pemandangan seperti itu!”
“Tetapi tempat yang indah
di Jakarta ini kan banyak.
Mengapa justru di depan istana?
Apakah bukan dengan maksud-maksud tertentu?”
“Maksud tertentu jelas ada.
Yakni Istana itu suatu ketika harus diserbu!
Tetapi bukan untuk menculik presiden.
Presiden Anda kan sudah kami kuasai!”
“Ya, di mana sekarang dia berada?”
“Di Indonesia!
Dia masih berada di sini!”
“Tepatnya?”
“Di pulau Jawa.
Tepatnya di istana Bogor!”
“Bohong. Istana itu kosong!”
“Goblok! Paranormal goblok!
Presiden Anda itu sedang saya sembunyikan di istana Bogor.
Kalau mudah dilihat orang dan ditemukan,
namanya bukan sedang disembunyikan!”
“Kapan presiden kami kalian kembalikan?”
“Bisa jadi tidak akan pernah kami kembalikan.
Kami juga memerlukan manusia seperti itu
untuk menjadi Presiden para badak
di Ujung Kulon!”

Interogasi berlanjut
pertanyaan itu terus diulang
sampai tiga empat kali
dan badak itu menjawabnya
dengan : Tadi sudah ditanyakan
dan sudah saya jawab!
lalu petugas paranormal itu
marah
dan menggebrak udara
dan petir menggelegar
lalu turun hujan lebat
selama dua hari dua malam
Jakarta banjir
rumah-rumah terendam
jalan raya jadi seperti
sungai Cigenter
mobil-mobil mogok
panser-panser terjebak genangan
para pendemo naik rakit
batang pisang melintas dari
Sudirman hanyut menuju Thamrin
lalu parkir di lapangan Monas
para badak menolong anak-anak
dan ibu hamil keluar dari rumah
lalu mengungsi ke
Koramil dan pos Kamling.

“Apakah benar ini pengaruh La Nina?”
“Mungkin juga ada bau-bau La Petite?”
“Kedengarannya seperti irama La Paloma?”
“Kalau diamat-amati sih tampak mirip La Brador!”
“La, rak ngawur! La Nina kok tekan La Brador!”
“Apakah benar Tugu Monas itu
akan tenggelam?”
“Ya bisa jadi! Terserah Tuhan dong.
Dia mau menenggelamkan Monas,
Eifel! Liberty! Pisa! Piramid
atau gunung Gede Pangrango!
Itu urusan dia.
Kami, para badak dan kalian para manusia,
marilah mencoba untuk tidak saling mencampuri
urusan Tuhan!
Mari kita urus yang memang merupakan urusan
kita masing-masing!”
“Jadi pagi ini kita harus mengurus apa?”
“Beol!”
“Ya, nomor satu beol dulu!”
“Sambil kencing kan?”
“Jelas! Setelah itu baru mandi lalu ganti baju
lalu menyeruput kopi tubruk
lalu membaca koran!”
“Itu kan manusia. Badak lain!”
“Apa badak tidak pernah beol?”
“Kok soal beol! Ganti baju, ngopi, baca koran!
Itu yang urusan manusia.
Kalau beol dan kencing dan mandi, badak juga perlu.
Hanya mandinya mandi lumpur!”
“Jadi bagaimana soal beol?
Setuju?”
“Setujuuu……..!”

Palu lalu diketokkan
ke kepala badak
sebanyak tiga kali
badak itu sempoyongan
dan pingsan.


Interogasi (2)


Nama?
Umur?
Pekerjaan?
Tempat Tinggal?”

Badak itu diam
namun sangat tersinggung
pertanyaan-pertanyaan itu
hanya layak diajukan
untuk manusia
bukan untuk badak.

Pertanyaan-pertanyaan
untuk badak lebih sulit
untuk dijawab : Mengapa?
Mengapa dia harus ditangkap 
dipenjara
diinterogasi
disetrum
digetok kepalanya
sampai pingsan?

Mengapa?
mengapa para mahasiswa itu
harus mati
harus luka-luka
harus kesakitan?

Mengapa?
ayam dan kambing dan sapi
harus disembelih dan
dagingnya dicincang lalu
direbus, digoreng dan dipanggang
mengapa langit harus biru
tetapi kadang-kadang putih
kadang-kadang kelabu
mengapa mendung harus hitam
lalu menjadi hujan menjadi gerimis
aku ingin tahu mengapa
bukan apa
bukan siapa
bukan berapa
bukan kapan
bukan bagaimana.

Mengapa?
dan aku tidak ingin jawaban
itu datang sebagai
petunjuk
semacam petuah
atau hadiah ulang tahun
aku ingin jawaban itu seperti
tupai
yang akan terus berkelit dan
berlari kadang bersembunyi
dan aku akan terus mengejarnya
meskipun setiapkali jawaban itu
bisa kuraih dan kutangkap
dia akan melahirkan pertanyaan baru
yang jauh lebih sulit
dan membuatku
menjadi tidak berdaya.

Mengapa?
mengapa daun berwarna hijau
mengapa pohon kelapa berbatang lurus
dan terus meninggi
menantang langit
mengapa di ujung moncongku
tumbuh tonjolan kulit yang
disebut cula
mengapa?

Mengapa badak tidak seperti
kerbau tidak seperti banteng
tidak seperti rusa
tidak seperti gajah?

Manusia
mestinya kalian menyiapkan
rincian jawaban
untuk mengurai
pertanyaan-pertanyaan itu
dan bukan malah mengajukan
pertanyaan-pertanyaan matematis
pertanyaan-pertanyaan digital
yang jawabannya sudah baku.
Nama?
Umur?
Jenis kelamin?
Pendidikan terakhir?
Pekerjaan?
Alamat?
Apakah badak punya alamat?
ya, di kandang nomor sekian
di Blok Mamalia
di Kebun Binatang Ragunan
atau di Taman Safari
di Cisarua.
Tetapi di Taman Nasional Ujung Kulon
badak boleh berak di Cibandawoh,
makan pucuk nibung di Cegok
lalu berkubang di muara
Cigenter

Alamat?
apakah sepetak sabana di Cidaun
di Taman Nasional itu
bisa jadi alamat
apakah pulau Jawa juga alamat?
mungkin planet biru ini
Galaksi Bima Sakti kita
juga bisa menjadi sebuah alamat
semacam sepetak kubangan
di muara Cikeusik
atau RT sekian RW sekian
di sebuah gang sempit
di Kramat Sentiong.

Nama?
mungkin yang diperlukan hanyalah
nomor-nomor
kode-kode huruf
sekadar perangkat untuk membedakan sesuatu
dengan sesuatu yang lain

Jumlah?
mengapa diperlukan pembedaan
antara nol dan tak terhingga?
dan kapan?
waktu hanyalah titik-titik
dari sebuah siklus
dari mana?
dan mau ke mana?
sangkan paraning dumadi
tak ada gunanya diulang-ulang
sebab yang paling penting adalah
mengapa semua itu perlu ada
dan mengapa harus selalu demikian?

Mengapa belibis harus bertelur
mengapa serigala selalu melolong
di saat bulan purnama
mengapa rusa-rusa itu
hanya mau menggosok-gosokkan
tanduknya di pangkal pohon
jambu kopo
mengapa bukan di pohon melinjo
atau pohon belimbing wuluh?
dan kalong-kalong itu
mengapa tampak berat dan
lamban ketika harus
mengepakkan sayapnya
mengapa mereka
berbondong-bondong ke utara?
apakah di sana sedang banyak
buah sawo?

“Mengapa yang Anda pilih sebagai
tokoh buku ini kami para badak
dan bukan banteng atau marmut
atau kucing
Apakah Anda pernah ketemu kami
memohon ijin
atau membuat MOU?”

“Atau Anda tanpa etika
tanpa sopan santun
telah begitu saja mencatut nama besar kami
hingga Anda ini sebenarnya nebeng keren
sebab kami-kami ini kelasnya
sudah internasional
sementara Anda?”

“Berarti sebenarnya
telah terjadi manipulasi besar-besaran
coba kalau Anda itu pengarang hebat
pilih saja tokoh sentralnya
bebek tegal
simpel
sederhana
dan kelasnya ya lokal
sangat lokal
hingga kalau buku Anda itu ngetop
di tingkat nasional saja
maka yang ngetop ya Anda sendiri
lebih-lebih kalau bisa ke tingkat
regional
bebek tegal itulah yang justru
membonceng Anda
tapi kami?
NO!”
“Badak Afrika tidak ada apa-apanya
yang sekelas dengan kami hanyalah
panda raksasa Cina!
atau Yetti dari Himalaya!
Jadi jangan kami dibuat mainan
diremehkan
dilecehkan
itu namanya tidak mengenal
Hak Azasi Hewan (HAH)
Biarkanlah kami hidup
sesuai dengan
hakikat hidup kami.”

(Begini ya dak ya!
Sebenarnya saya sebagai penulis buku ini
justru ingin protes keras pada kalian
mengapa justru kalian
secara tiba-tiba
tanpa basa-basi
telah menyusup
masuk ke dalam benak saya
hingga tiba-tiba saja
bisa saya jadikan tokoh.
Padahal,
sebenarnya saya sudah mendapat tawaran
untuk menulis biografi
seorang jenderal purnawirawan
dan akan dibayar mahal
selain itu saya juga ingin menulis
tentang lonte-lonte
tetapi semua berantakan
gara-gara kalian!
Tetapi badak,
sebaiknya silang pendapat ini
kita sudahi dulu
dan nanti kita lanjutkan di forum lain
silahkan!)

“Jadi interogasi dilanjutkan?”
“Ya! Silahkan!”
“Tetapi siapa yang harus diinterogasi
dan siapa interogatornya?”
“Kok siapa?
Tadi katanya mengapa?
Siapa, apa, kapan, berapa, di mana,
bagaimana, katanya itu semua tidak penting.
Katanya yang penting mengapa?”
“Ya, maksudnya mengapa harus ada interogasi.
Mengapa bukan dialog dari hati ke hati
karena dialog jauh lebih baik
daripada monolog!”
“Tapi pengarang sukanya kan monolog!
Mana mungkin pengarang bisa
berdialog dengan pembacanya di dalam bukunya?”
“Mungkin saja!”
“Coba!”
“Saya malah akan menginterogasi mereka.
Mari kita tangkap salah seorang di antara mereka!”

Salah seorang pembaca itu
mahasiswa Fakultas Sastra UI
berhasil dijebak
oleh para badak
lalu dibawa masuk ke dalam buku ini
untuk diinterogasi!
Dia meronta-ronta
dia berontak habis-habisan
dan mencoba untuk kabur.

“Saya protes keras.
Mengapa saya tiba-tiba ditangkap
dan dibawa masuk ke  dalam buku gombal ini.
Urusan  saya masih banyak
dan semua penting-penting.
Saya masih harus koordinasi dengan teman-teman
untuk bergerak dan menuntaskan
pengadilan masalah  korupsi.
Mengapa saya dibawa kemari?”
“Mengapa Anda bertanya begitu?”
“Karena pertanyaan ini sangat mendasar.
Sangat esensial.
Saya dan juga semua mahasiswa di negeri ini
tidak mau ditunggangi oleh siapapun.
Kami bukan kuda,
bukan sepeda motor,
bukan kerbau congek.
Lebih-lebih
kami bukan badak!”
“Tidak ada yang tertarik untuk menunggang Anda.
Enakan menunggang kuda poni!”
“Lalu mengapa kami ditangkap?”
“Kami, saya (pengarang buku ini)
dan badak (tokoh buku ini)
ingin menginterogasi Anda sebagai pembaca.”
“Lo kok enak saja!
Saya sudah susah-susah membaca!
Sudah keluar  duit segala untuk membeli buku
kok malah ditangkap dan diinterogasi.
Pengarang apa itu?”
“Ini namanya demokrasi.
Saya dan badak ingin dapat masukan
bagaimana baiknya cerita ini dilanjutkan.”
“Jangan tanya saya.
Kalau mau tanya-tanya sama kritikus.
Salah satu dosen saya bisa dipanggil.
Dia sangat tajam daya analisisnya
tapi sekaligus juga sangat padat acaranya
dan tarifnya Rp 1.500.000,- per sekali tampil
ditambah transpor pesawat PP dan
akomodasi minimal bintang tiga.”
“Panggil dia.
Beri honor Rp 5.000.000,- sekali tampil.
Inapkan di hotel bintang lima diamond
dan naikkan concord
lalu jemput dengan limo!”
“Kapan?”
“Jangan tanya kapan, apa, siapa dan sebagainya.
Di sini hanya berlaku
pertanyaan mengapa!”
“Ya, mengapa?”
“Mengapa kritikus itu harus kita datangkan
dan mengapa harus
dibayar mahal?”
“Mengapa buku ini harus dikritik!”
“Culik dia dan perkosa
agar hamil dan melahirkan
kritik yang brilyan.”

“Tidak usah diculik aku sudah datang sendiri nih.
Akulah kritikus kenamaan itu.
Mengapa Anda memanggil?”
“Karena pendapat Anda penting sekali
untuk menjembatani pengarang dan pembaca.
Sekaligus untuk promosi.”
“Saya kenal Anda sudah sejak 20 tahun silam.
Dan selama 20 tahun itu
Anda hanya menghasilkan sampah.
Menghasilkan tai.
Aku muak karena seluruh karya-karya Anda itu bau!”
“Anda Keliru. Minimal kurang rinci.
Saya tidak hanya menghasilkan sampah dan tai
tapi juga kentut, keringat, kencing, daki dan ingus.
Jadi banyak sudah yang saya hasilkan.”
“Tapi semua itu berbau!”
“Jelas. Kentut presiden, kentut jenderal,
kentut artis Holywood, kentut Andapun juga bau.
“Tapi semua itu hanya berdampak
pada pencemaran lingkungan.
Lain dengan karya anda.
Saya selalu mual dan mau muntah
sehabis membaca karya-karya Anda itu!”
“Karena selesai membaca langsung bunting?”
“Saya laki-laki. Maaf!”
“Sekarang laki-laki sudah beremansipasi.
Lihat para direktur itu. Satpam itu!
Perut mereka buncit semua kan?”
“Saya sarankan dengan serius
mulai saat ini Anda berhenti menulis,
bertobat dan menjadi orang baik-baik.
Tiap minggu ke Gereja, berdoa
dan memohon ampunan Tuhan!”
“Mengapa? Mengapa saya harus berhenti menulis?
Apakah tulisan saya
telah mengganggu Anda?”
“Bukan hanya saya.
Seluruh pembaca buku Anda
telah merasa terganggu berat
karena polusi kentut dan daki dan tai
yang Anda tulis itu
telah mencemari otak mereka!”
“Kritikus! Jesus selama 33 tahun juga
telah kentut dan beol tiap hari
dan tahinya menumpuk-numpuk.
Juga Presiden Clinton
juga Ratu Elizabeth.
Selama mereka masih doyan makan
pasti menghasilkan sampah, kentut dan tai!”
“Tapi tai Anda itu nyemplung
dan hanyut di tulisan! Itu bahayanya!
Dan Anda keras kepala.
Saya sudah puluhan tahun jadi kritikus.
Saya sudah baca mulai dari Homerus,
Sartre sampai Wiji Thukul!
Jadi jangan membantah.
Stop. Berhentilah menulis.
Minimal di bab ini!”
“Itulah beda antara kritikus sastra
dengan kritikus seni lukis.”
“Maksud Anda?”
“Kalau kritikus seni lukis,
pasti tidak akan menyuruh-nyuruh pelukis
untuk berhenti melukis!”
“Alasannya?”
“Lo, belum tahu kan?
Seorang kritikus pernah bertanya
pada pelukis Affandi.
Kapan dia akan berhenti melukis?
Apa tanda-tanda lukisannya selesai (sudah jadi).
Dan jawab sang maestro itu :
Tanda lukisannya sudah jadi
dan dia harus berhenti adalah kalau dia sudah capek!
Jadi falsafah itulah
yang juga saya anut ketika menulis!”
“Lalu mengapa Anda mengundang saya?
Juga mahasiswa saya ini?”
“Bukan hanya Anda yang saya undang.
Saya juga mengundang jenderal
bahkan presiden!”
“Mereka telah Anda culik
dengan paksa!”
“Sama saja!
Ada yang harus dipaksa dengan ancaman,
dengan rayuan ada pula
yang harus dipaksa dengan uang!”
“Anda terlalu menyamaratakan keadaan
dan menggampangkan permasalahan.
Saya dan juga mahasiswa saya ini
mulai bosan dan  mau pulang.
Saya banyak urusan!”
“Pulang? Enak saja mau pulang.
Proyek ini telah mengeluarkan ongkos
hampir Rp 15.000.000,-
hanya untuk mendatangkan Anda!
Lalu Anda mau pulang begitu saja dengan alasan bosan!
Dengan alasan bahwa saya hanya
menghasilkan sampah dan tai!
Pak kritikus saya sebagai penulis,
telah sengaja memilih posisi yang kering-kerontang
dari sisi menghasilkan uang.
Sebab peluang untuk menulis naskah sinetron,
biografi jenderal atau paket bacaan
Depdikbud bagi saya terbuka sangat longgar.
Tetapi itu semua saya tolak dengan sebuah
kecongkaan dan kedunguan,
demi dunia yang kering-kerontang ini.
Lalu Anda hanya bilang singkat :
sampah dan tai!”
“O, jadi Anda tersinggung?
Sastrawan jangan gampang tersinggung!”
“Saya tersinggung bukan karena
dibilang menghasilkan sampah dan tai!
Saya tersinggung karena Anda sebagai dosen,
guru besar malahan, yang merangkap sebagai kritikus,
ternyata terlalu doyan duit.
Diskusi semacam ini mestinya kan cukup dilakukan
di beranda rumah sambil mengunyah
singkong goreng dan menyeruput teh panas.
Tetapi Anda menuntut hotel bintang,
honor gede, liputan media massa
termasuk CNN dan BBC.
Apa itu wajar?
Sementara setelah itu semua saya penuhi,
komentar Anda sepele : Sampah dan Tai!
Badak, yang sebenarnya juga protes keras pada saya,
Anda cuekin. Tidak Anda komentari.
Lalu tiba-tiba Anda mau pulang!
Bagaimana Badak?”
“Biarkan saja dia pulang Mas.
Serahkan honornya!
Mungkin kita datangkan saja jenderal Wibisono!”
“Baik, silahkan tanda tangan dulu di  sini.
Lima juta kan?”
Ini Mahasiswa Anda cukup Rp 500.000,- saja!
Sekretaris Anda Rp 50.000,-
Sopir Anda cukup dapat nasi kotak.
Selamat siang!”

Mengapa?
Mengapa seseorang harus diinterogasi
diculik
diperkosa
dibujuk dengan uang jutaan
dirayu dengan tepuk tangan
dipuja-puja dengan sorotan kamera
dan serangkaian wawancara
lalu ditokohkan
didewakan
dipuja-puja
diamini
dianggap wali
bahkan nabi
tapi kemudian dilupakan
lalu dilengserkan
diancam
diteror
didemo habis-habisan
dihujat
bahkan akhirnya diseret
ke pengadilan
dijatuhi hukuman mati
lalu dirajam beramai-ramai
di muka khalayak
mengapa?


Interogasi (3)


Jenderal itu
pundaknya agak melorot ke bawah
ditindih empat bintang di kiri
empat bintang di kanan
dan sederet tanda jasa di dada.

Bintang-bintang itu gemerlap
sebab berlapis emas
duapuluh empat karat.

Biasanya jenderal itu
berpenampilan gagah
lebih-lebih di depan anak buah
atau ketika disorot kamera tivi 
tapi kini
dia seperti sedang berhadapan
dengan presiden
atau jenderal besar bintang lima
pamornya langsung pudar
pandang matanya yang biasa tajam
jadi lunak dan ramah
dia lalu menjadi manusia biasa
Mas Wibisono dari Klaten
yang isterinya suka bawel
dan mertuanya galak
dia lalu minta rokok.

“Merokok bisa mengganggu kesehatan!
Jenderal kok merokok!”
Badak itu membentak dengan suara keras.
Dalam hati jenderal itu heran.
Badak kok bisa ngomong?
Tapi nyalinya untuk bertanya
sudah sirna.
Dia lalu menunduk.

“Sudah berapa aktivis politik
yang kamu culik?”
“Empat puluh!”
“Buset. Banyak banget.
Kata koran-koran hanya duabelas?”
“Sumber mereka sumber sekunder!”
“O! Lalu kamu apakan mereka itu?”
“Ya didor lalu dibuang ke laut.”
“Kok sadis amat kamu itu ya?”
“Saya bagian dari sebuah sistem
dan struktur yang lebih besar lagi
yang sadis ya sistem dan strukturnya itu.
Bukan saya!”
“Lalu huru-hara itu?
Katanya yang menggerakkan dan memprovokasi
anak buah Anda?”
“Memang. Itu berlangsung sampai sekarang.
Mengapa saya hanya diam?
Kembali, saya adalah bagian dari
sebuah struktur dan sistem.”
“Lalu mahasiswa yang ditembak?
Lalu penjarahan? Perkosaan?
Pembunuhan para Ulama itu?
Pembakaran gereja, pembakaran mesjid?”
“Sudahlah, mending kita gaple saja
atau main gundu!”
“Gundu?”
“Golf goblok!”
“O, golf!”
“Itu bisa menghilangkan stres
daripada ngomong soal-soal yang Anda sebut-sebut tadi!”
“Tampaknya kamu ini takut sekali
menghadapi masalah tadi ya?
Jenderal kok penakut!”
“Bukan takut tapi bosen!
Mending kita main gaple saja.
Saya bawa kartunya kok!”
“Badak kok diajak main gaple,
kamu ini jenderal apa?
Presidenmu itu sampai sekarang  belum ketemu kan?
Presidennya diculik kok jenderalnya
tenang-tenang saja!”
“Apa kalau jenderalnya stres
harus ditunjuk-tunjukkan ke kamu,
ke wartawan, ke anak buah?
Diam-diam saya sedang mengatur strategi!”
“Saudara Jenderal, menurut Anda,
Anda itu sukses atau gagal selama ini?”
“Saya merasa dirong-rong
dari kiri dan kanan
dari atas, dari bawah,
dari depan, dari belakang
bahkan anak isteri, keponakan, menantu,
besan, saudara kandung, saudara tiri,
saudara ipar, mertua, semua merong-rong saya.
lihatlah mata saya yang cekung
rambut saya yang penuh uban dan botak di tengah
lihatlah seluruh wajah saya.
hitunglah berapakali dalam sehari
saya bisa tersenyum atau tertawa.
Sulit!”
“Jadi Anda mengaku gagal?”
“Tepatnya begitu!”
“Apakah ada niat
untuk mengundurkan diri?”
“Begini ya.
Dulu itu saya diangkat sebagai panglima secara paksa.
Tiba-tiba saja saya dipanggil presiden lalu diberitahu
akan diangkat menjadi panglima.
Waktu itu saya langsung menolak.
Pertama, saya banyak melangkahi senior saya.
Kedua, saya merasa karir puncak saya itu di Kepala Staf.
Tapi Presiden marah besar.
Dia mengatakan ini perintah, titik.
Sejak itulah sebenarnya
saya merasa hidup saya ini telah gagal.”
“Saudara Jenderal,
Anda jangan melempar tanggungjawab ke pihak lain.
Lalu semua disalahkan.
Anda sendiri kan pribadi yang lembek!”
“Itulah repotnya.
Sebenarnya saya menjadi tentara
itu pun bukan kehendak saya.
Ibu saya itu dari saya masih di TK
sudah ribut agar saya masuk AMN.
Saya sendiri sebenarnya ingin jadi pelukis.”
“Ah masak?”
“Benar. Coba kalau ada kertas dan pensil
saya bikin sket badak.
Pasti bagus!”
“Sebenarnya saudara itu lebih pantas menjadi ajudan.
Bukan panglima!”
“Lo, itu benar!
Sayalah ajudan bapak presiden yang paling disayangi.
Sayang, saat ini saya tidak tahu beliau berada di mana.
Badak, bolehkah saya selaku panglima
atau rakyat biasa mohon ijin untuk sejenak saja
bertemu beliau?”
“?”
“Oh, terimakasih. Terimakasih.
Saya merasa sangat berbahagia!”
“Saudara itu seumur-umur
memang belum pernah menderita.
Belum pernah tahu yang namanya sengsara.
Coba ini kalau ingin tahu rasanya diseruduk badak!”
“E jangan. Tolong jangan.
Ampun.
Saya menyerah.
Tapi.
E jangan diseruduk . . . . . .!”

Badak itu menyeruduk
sang jenderal terjengkang
badak itu menendang
sang jenderal terguling-guling
badak itu ingin menginjak
sang jenderal menjerit.

“Sudahlah Dak! Nanti mati dia!”
“Pengarang jangan ikut campur!
Ini urusan saya dengan dia.
Antara badak dan jenderal!”
“Iya tapi jangan diinjak.
Di dada lagi!
Bisa remuk dan langsung mati.
Sudahlah. Dia sudah sangat ketakutan!”
“Untung saya lagi baik hati.
Meskipun yang melarang pengarangnya
kalau sudah jengkel saya tidak pernah peduli.
Jenderal brengsek!”

Badak itu menendang sekali lagi
lalu pergi.
Jenderal itu berusaha bangun
dengan susah payah
dia lalu duduk
dan tampak kuyu
selama ini dia dihormati
ditakuti
bahkan setengahnya didewakan
tetapi kini?
badak itu memanggilnya
dengan “Saudara Jenderal!”
itu sebuah penghinaan besar
tetapi dia tidak berdaya

Mengapa?
Mengapa tiba-tiba saja dia
bisa tercabut dari komunitas
yang ekstra kuat itu?
di mana ajudan?
di mana pasukan penjaga?
di mana pacar gelapnya?
badak itu datang lagi
apakah ini mimpi buruk?
atau benar-benar terjadi?
atau bagaimana?

“Ini bukan mimpi!
Lihat! Kalau kuinjak kakimu, akan remuk dan terasa sakit.
Mau kuinjak?”
“Jangan! Jangan!
Pak pengarang, tolong.
Badak sampeyan ini!
Tolong!”
“Memangnya dia bisa menghentikan saya?
Tadi saya berhenti bukan karena pengarang itu melarang.
Saya kebelet kencing tahu!”
“O!”
“Saya badak sopan.
Coba kalau kau langsung ditangani oleh pengarang itu.
Dia akan segera kencing di mukamu!”
“Maaf! Maaf pak badak.”
“Saya jangan dipanggil pak.
Saya ini masih remaja!”
“O! Maaf dik badak!”
“Nah begitu! Mau kuinjak.
Atau diseruduk?”
“Tidak! Ampun!”
“Jenderal kok minta ampun.
Kalau ketangkep musuh bagaimana itu?
Saudara ini jelasnya mau ikut siapa sih.
Ekstrim kiri, Ekstrim kanan,
kelompok status quo atau reformis?”
“Saya pakai falsafah kaum Badui Dalam.
Ketika tahun 1971 mereka diminta ikut pemilu,
jawaban mereka tegas.
Mereka tidak mau ikut pemilu dan nantinya
akan ikut yang menang.
Sikap saya sama!”
“Dasar oportunis!
Bagaimana kalau yang menang kaum fundamentalis?”
“Ya ikut maunya mereka!”
“Kalau kaum reformis?”
“Juga ikut maunya mereka!”
“Kalau kuinjak perutmu?”
“Jangan! Ampun pak!”
“Pak lagi! Buka mata lebar-lebar.
Ini manusia atau badak?”
“Anu. Mas badak!”
“Mas lagi! Tadi dik!
Tahu bagaimana kami menculik saudara?”
“Tidak!”
“Paranormal Anda telah menculik salah seekor warga kami.
Gantian saudara kami culik!”
“Lo yang menculik kan paranormal.
Mereka kelompok lain.
Bukan kelompok kami.”
“Saudara itu kan panglima.
Jadi bertanggungjawab terhadap
seluruh keamanan di negeri ini.
Tidak peduli kelompok manapun
kalau melanggar hukum ya ditindak.
Tahu yang disebut hukum?”
“Tahu pak!”
“Pak?”
“Anu, Oom badak!”
“Oom?”
“Mas! Eh dik badak!”
“Tahu nggak hukum?”
“Tahu dik badak!”
“Saudara itu terlalu banyak menikmati hidup enak.
Ikut korupsi.
Memeras cina-cina.
Istrinya, anaknya, adiknya, siapa lagi itu,
semua dijadikan anggota parlemen.
Apa itu pantas?”
“Maaf dik badak.
Status saya saat ini sebagai apa?
Lalu apakah boleh saya bertemu langsung
dengan pengarang buku ini.
Mungkin saya bisa kasih proyek ke dia
hingga tidak perlu repot-repot bikin buku semacam ini.
Boleh dik badak?”
“Ketemu yang ngarang? Kok enak sekali?
Saudara bisa ketemu badak saja sudah lumayan.
Apa mau saya pertemukan dengan ular belang?
Atau macan tutul? Atau ulat bulu?
Atau lebah hutan?”
“Jangan! Sudahlah.
Dengan dik badak saja cukup!”
“Ya, jadi status Anda adalah terculik.
Jadi sama dengan presiden saudara.
Terculik!
Tadi katanya ingin ketemu dengan presiden?
Nanti akan diatur.
Tetapi tidak sekarang. O, ya, rumah saudara berapa?”
“Rumah dinas atau pribadi?”
“Ya rumah pribadi goblok!”
“Dua!”
“La yang di Bandung?”
“Yang di Bandung satu!”
“Di Malang?”
“Di Malang satu!”
“Di Medan?”
“Di Medan satu!”
“Jadi semua berapa?”
“Lima, ditambah di Cisarua satu
di Carita satu jadi ada tujuh!”
“Di LA katanya juga ada?”
“Di Boston!”
“Di Pert juga ada kan?”
“Hanya apartemen kecil.”
“Katanya di Madrid juga ada?”
“Tidak ada. Di Bahrain malahan ada
tapi atas nama keponakan.”
“Anak-anaknya sekolah di mana?”
“Semua di Boston!”
“Berapa sih semua?”
“Tiga! Laki dua perempuan satu!”
“Yang di Senggigi?”
“Itu anak bawaan dia.
Dengan saya belum ada!”
“Dia siapa?”
“Ala, Dik badak ini!
Pura-pura tidak tahu. Ya pacar saya!”
“Katanya di Wamena juga ada?”
“Tidak! Itu hanya isyu!”
“Wah, Jenderal kok kayak gitu?”
“Begini dik, katanya warga badak itu minta merdeka
dan minta wilayah seluruh pulau Jawa.
Sebenarnya saya pribadi bisa mengaturnya.
Tapi saya ingin ketemu presiden
dan kalau bisa juga dengan
pengarang buku ini!”

“Pak Wibisono?”
“Lo, la ini dia pengarangnya!
Mas Rahardi ya?”
“Benar Pak. Maaf, para badak itu
memang agak nakal.”
“Saya mengerti. Saya bisa memahami.
Sudah berapa lama Mas Rahardi menggarap buku ini?”
“Sudah hampir dua tahun!”
“Dua tahun? Lama ya?
Sebenarnya begini Mas.
Saya itu sudah agak lama didorong oleh teman-teman,
juga oleh ibunya anak-anak……..!”
“Soal biografi itu Pak?”
“Benar! Kok Mas Rahardi sudah tahu?”
“Saya kan pernah dikontak Mayor Basuki.
Katanya utusan Bapak?”
“O, iya. Dulu!
Sudah lama sekali itu ya.
Tapi katanya Mas Rahardi sedang repot.
Sebenarnya kan bisa dibentuk Tim.
Artinya ada yang nulis,
ada yang wawancara,
mengumpulkan data,
lalu Mas Rahardi hanya koordinator saja,
tidak usah kerja.
Biar yang lain-lain saja yang repot.”
“Begini Pak. Sebenarnya saya bukan sedang repot.
Tetapi saya merasa tidak mampu.
Saya tidak sanggup.”
“Lo, saya memang pernah dengar dari teman kritikus,
katanya Mas memang tidak mau!”
“Tidak sanggup itu memang bisa juga diartikan tidak mau!”
“O, ya kalau begitu tidak apa-apa.
Mungkin saya baru bisa memberi honor kecil.
Jadi wajar kalau Mas Rahardi menolak.
Tapi saya tetap mengharapkan bantuannya
entah dalam bentuk apa, suatu ketika nanti.”
“Sekarang bapak ingin bertemu presiden?”
“Yang penting sebenarnya ketemu Anda.
Tapi kan sudah ketemu ya?
Kalau Mas Rahardi bisa membantu,
saya akan sangat berterimakasih.”
“Saya hanya bisa menghubungkan dengan petugasnya,
tetapi keputusan akhir tetap ada di tangan mereka!”
“Tapi benar Mas Rahardi tidak bersedia nggarap proyek ini?”
“Sampai saat ini saya belum bersedia!”
“Kalau begitu saya minta pamit dulu.”
“Silakan Pak.
Sampai ketemu lagi nanti.”
“Ya! Permisi!”

“E, nanti dulu!
Ini pengarangnya juga goblok.
Jenderalnya sok tahu lagi.
Saudara ini terculik.
Yang ngarang ini bagaimana sih?
Terculik kok mau dilepas begitu saja.
Transaksi proyek lagi.
Di depan saya lagi.
Di depan kritikus katanya tidak mau
nggarap biografi jenderal.
E, diam-diam di belakang diembat!
Kalau sudah namanya duit, memang bisa bikin silau mata!”
“Lo, dia tetap menolak orderan saya!
Dik badak ini bagaimana?”
“Saudara terculik kembali ke tempat
dan jangan ikut nimbrung.
Tadi kan sudah saya larang
untuk ketemu dengan pengarangnya.
Kok tiba-tiba nyelonong?”
“Saya tidak tahu!
Tiba-tiba saja Masnya sendiri yang datang!”
“Ngapain ikut-ikutan ngurus terculik?
Ini urusan saya tahu! Atau minta saya hajar juga?
Minta saya seruduk? Saya injak-injak?”
“Lo, saya ini kan yang ngarang buku ini?”
“Tidak peduli! Biar jenderal, biar presiden,
biar pengarangnya sendiri kalau menyalahi prosedur
harus saya hajar!
Tahu?”
“Ya! Maaf! Tadi saya memang keliru.”
“Nah, tolong lain kali jangan diulang.
Kalau sampai terjadi lagi,
saya akan langsung angkat kaki ke Ujung Kulon.”
“Sekarang jenderal ini mau diapakan?”
“Kita kirim saja ke istana Bogor!”
“Oke, saya akan siapkan body transfer.”

Jenderal itu
dengan seragam yang mulai lusuh
dengan perut lapar
dengan nyali yang sudah
menciut drastis
masuk ke peralatan body transfer
lalu tahu-tahu sudah berada
di istana Bogor
yang penuh dengan badak
ratusan
mungkin ribuan.


Sumber: Negeri Badak (2007)


F. Rahardi
Puisi: Interogasi
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.