Puisi: Raden Roro Merdekawati (Karya F. Rahardi)

Puisi: Raden Roro Merdekawati Karya: F. Rahardi
Raden Roro Merdekawati


Raden Roro Merdekawati
dilahirkan pada tanggal 17
bulan delapan tahun 1945
pas pada saat Bung Karno
dan Bung Hatta membacakan
teks proklamasi

“Jadi kalau tanggal 17 Agustus
orang kumpul-kumpul
mengibarkan bendera
dan menyanyikan Indonesia Raya
mereka itu tidak hanya memperingati
detik-detik proklamasi
tapi juga detik-detik kelahiranku”.

Raden Roro Merdekawati
dilahirkan dari rahim keluarga
bangsawan Jawa
yang ketat menjunjung tinggi
adat priyayi
dan menolak Mo Limo

Berbicara dengan orang
bergaul dengan kucing
bahkan berhadapan dengan kecoak
dan tikus pun
Raden Roro Merdekawati
selalu sopan

“Priyayi ini harus tahu menahan diri
tahu kapan harus mulai
dan kapan saat yang tepat untuk berhenti
saat makan, mulut priyayi
tidak boleh berbunyi
bersin dan batuk pantang untuk dilepas
lebih-lebih kentut sembarangan
hubungan sex juga hanya diperkenankan
dengan orang yang benar-benar
kita cintai”.

Raden Roro Merdekawati
umurnya sudah di atas 45
namun belum tampak niatnya
untuk menikah

“Membangun rumahtangga itu
tidak sederhana
daripada kita masuk ke sana
tapi jiwa dan raga sengsara
lebih baik merdeka
tak ada ikatan
tak ada penjajahan”.

Raden Roro Merdekawati
sudah lewat titik kulminasi
namun bodynya tetap sexy
laki-laki silih berganti
menidurinya dan membayarnya

“Tapi aku bukan lonte lo
aku lain dengan perempuan sembarangan
yang menjual diri
para jenderal itu
konglomerat, anak pejabat
bintang-bintang film
londo-londo itu
semua datang padaku dengan cinta
dan aku juga membalasnya
dengan cinta”.

Raden Roro Merdekawati
kadang merasa hidup ini
teramat sepi

“Merdeka itu juga berat resikonya
kadang-kadang orang dijajah
tampak lebih enak
disuruh-suruh
dibentak-bentak
digebuki
kadang-kadang diperlakukan
sewenang-wenang dan tidak menusiawi
kok sepertinya lebih ramai
lebih diperhatikan banyak orang”.

Raden Roro Merdekawati
menangis
dosa, surga, duit
perut kembung, kolesterol
anak

“Meskipun suami tidak begitu kuperlukan
namun sebenarnya aku tetap ingin anak
yang akan memanggilku ibu
lalu merengek-rengek minta duit

sekarang ini orang yang merengek-rengek
di pangkuanku
malah kasih duit”.

Raden Roro Merdekawati
selain merasa sepi
kadang-kadang juga takut mati

“Mati itu serem
dulu waktu eyang sedo
tampaknya memang indah
seperti tidur nyenyak
anak-anaknya
cucu-cucunya
cicit-cicitnya semua kumpul
dan berdoa
mohon pada Yang Maha Esa
agar arwah eyang
tidak gentayangan jadi hantu
penunggu pohon sawo
namun waktu oom yang sedo
karena kecelakaan
dalam usia yang masih sangat muda
keadaannya lain
anak istrinya histeris
kematian menjadi sangat disesali
sangat ditakuti
gelap dan misterius”.

Raden Roro Merdekawati
makin takut mati
kanker payudara
AIDS
angin duduk
selang infus
tabung oksigen

“Tapi meskipun kematian itu serem
aku tetap merdeka menyongsongnya
aku tetap boleh memilih tidak menangis-nangis
tetap boleh memilih tidak merengek-rengek
aku tetap boleh biasa-biasa saja
aku tetap bisa menghadapi langit
sendirian
sambil nonton matahari
dan menikmati burung-burung”.

Raden Roro Merdekawati
akhirnya mati dengan  sangat tenang
jenderal-jenderal menyesal
konglomerat memberi hormat
dan anak pejabat
mengibarkan bendera setengah tiang
namun arwah
Raden Roro Merdekawati
terbang ke langit sambil
tersenyum-senyum

“Sekarang aku merdeka
betul-betul merdeka
ternyata kematian
juga dapat diartikan
sebagai kemerdekaan”.


Sumber: Pidato Akhir Tahun Seorang Germo (1997)

F. Rahardi
Puisi: Raden Roro Merdekawati
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.