Puisi: Sang Narapidana (Karya F. Rahardi)

Puisi: Sang Narapidana Karya: F. Rahardi
Sang Narapidana


Rokok
rajangan daun tembakau kedu
dicampur cengkeh menado
dilinting gadis-gadis kediri
disulut dengan korek gas
lalu disedot dalam-dalam
udara dingin menjadi berasap
malam lalu
tidak terasa sepi lagi.

Anak
isteri
orangtua
pacar
teman-teman pergerakan
mereka memang di luar sana
mereka adalah harapan
juga kenangan
lagu-lagu nostalgia
dari radio kecil
yang lemah
baterainya.

Politik memang keras
berjuang menegakkan kebenaran
dan demokrasi
lalu menjadi sama
dengan copet
maling ayam
dan pemerkosa anak tetangga.

“Itu menyakitkan bukan?”
Sebuah suara
datar
berat dan dalam
bernada bariton
diucapkan pelan-pelan
tetapi jelas dan tegas.

“Siapa? Siapa yang bersuara ini? Setan?
atau hanya igauan?”
“Bukan! Aku badak. Badak bercula  satu.
Badak jawa dari Ujung Kulon!”
“Badak kok bisa ngomong! Mbel!”
“Batu atau pohon kalau mau
juga bisa diajak ngomong dan akan menjawab!”
“Mbel!”
“Maksudnya mbelgedes kan?
Tidak percaya sama saya kan?
Ini lo lihat!”

Sosok badak itu
tiba-tiba tampak
besar
kekar
kuat
dan dingin
sang narapidana kaget
takut
masih tidak percaya pada matanya.

“Tadi kuping diragukan.
Sekarang mata dipaido! Kalau mata dewek dipaido
matane sapa sing arep kok percoyo?”
“Lo iso ngomong Jowo?”
“La aku iki badak jowo, Javan Rinocheros.
Rhinocheros sondaecus!”
“Mbel. Ini siluman! Jin! Ini godaan!”
“Itu karena situ terlalu banyak nonton film di tivi!
Aku ini badak baik-baik.
Situ percaya sokur.
Tidak percaya tak tinggal pergi.”
“Nanti dulu dak!
Mengapa Anda kemari dan untuk apa?”
“Aku lagi berjuang.
Semua 50 ekor. Ingin mendirikan Republik Badak
dengan wilayah seluruh Jawa!
Ngerti?”
“Mbel! Itu ngimpi! Ilusi!”
“Sampeyan itu juga pemimpi.
Kebenaran dan demokrasi itu mustahil tegak 100%.
Jadi perjuangan sampeyan itu sia-sia.”
“Tapi harus! Sampai tiran-tiran itu keok!”
“Sama. Ilusi kami juga  harus kami uber
sampai kami punah kalau perlu.
Masak kami hanya dikasih wilayah seupilnya pulau Jawa?”
“Kan cuma 50 ekor?”
“Justru. Kami ini tahu diri.
Wilayah segitu ya cuma untuk 50 ekor pantesnya.
Coba se-Jawa, kami akan jadi 1.000!”
“Mbel!”
“Kok maido terus ta?
Kita ini sama-sama pejuang lo!”
“Maumu apa sih dak?
Ngganggu orang lagi ngelamun jorok!”
“Saya hanya mau kenalan.
Juga sama  yang lain-lain. Mereka kan baik-baik.
Tidak seperti kamu!”
“Lalu?”
“Ya sudah. Malam ini mereka akan kubebaskan.
Tembok ini akan kujebol.
Lalu mereka akan kuajak kabur ke tempat yang aman.”
“Jangan mainan lo Dak!
Mereka itu tokoh internasional.
Kalau mereka kabur, citranya akan jelek.
Aku tidak setuju.
Kami berjuang demi hukum dan kebenaran.
Bebasnya ya harus sesuai hukum dan kebenaran.
Bukan lantaran ngabur.
Emangnya maling ayam atau koruptor?”
“Terserah.
Aku yang akan menculik dan membawa kabur mereka.
Lu mau ikut oke
mau tetep di sini sebodo teing!”

Penjara Cipinang
tembok tebal
tinggi
kokoh
kawat duri
kawat bersetrum
menara jaga
lampu sorot
sel-sel berjeruji
sipir galak
ransum tidak enak
dan pas-pasan
malam itu jebol
tembok-tembok roboh
penjaga tergopoh-gopoh
tapi keburu diseruduk
dan diinjak badak
lubang keluar menganga
di mana-mana.

“Maling ayam, copet, pemerkosa,
koruptor, rampok, pembunuh tidak boleh ikut.
Yang ikut saya hanya NAPOL
narapidana politik!
Ayo!”

Sirene tanda bahaya
meraung-raung
polisi dan tentara mendadak linglung
sebelas petugas terluka parah
seratus napol hilanglah sudah
hanya napol
narapidana politik.
dan di gerbang penjara
para polisi
tentara
kanwil kehakiman
dan wartawan
hanya ketemu spanduk besar
berisi sebait pantun.

“Kain berbatik motif Cianjur
hendak diutang bayar diangsur
main politik janganlah ngawur
badak datang membawa kabur.”

(badak)

Panglima TNI
marah besar
sebab barusan
dia dimarahi Wapres

“Presiden belum ketemu
sekarang napol kabur
ini pasti ada pihak-pihak tertentu
yang mendalangi
mengatur strategi
mengorganisir
dan mendanai
kami akan terus mencari
dan menangkap
provokatornya.”

“Tangkapen Nyo!
Akulah badak yang mendalangi ini semua!”
“Edan! Tidak mungkin kalau cuma badak!”
“Lalu maunya siapa?
Ini gembong GPK? Atau PKI sekalian!”
“Lo?”
“Kaget to?
Atau ini ulama kenamaan!”
“Lo?”
“Kaget lagi? Atau ini pastor vokal?”
“Wah?”
“Makin kaget?
Ini juga mahasiswa radikal, ini intelektual kiri!
Masih kaget? Panglima kok bisanya cuma lo, wah, kok!
Tangkep kalau berani sekarang!”
“Ajudan, panggil Kasad!”
“Lo, pakai manggil ajudan. Tadi katanya mau nangkep?
Wong nduwe tangan kok pakai prentah-prentah.
Coba badak segede ini ditangkep.
Memangnya bola base ball?
Tak sruduk kamu!”
“Tolong! Ajudan! Badake ngamuk!”

Siang itu
Mabes TNI
porak poranda
diseruduk badak
sembilan paranormal ditahan
dan dijaga ketat
mereka dituduh merencanakan makar
secara spiritual
dengan tenaga gaib
tetapi
badak-badak itu
tetap tidak dapat ditangkap
tidak dapat ditembak
dia datang
lalu menghilang begitu saja
para wartawan
juga kameramen
sangat penasaran
tetapi
dapatkah mereka melawan
Gusti Allah?

Seorang wartawan
membuang kameranya
block notenya
tape recordernya
lalu duduk bersila
mengheningkan cipta
dia wartawan baik
jarang menerima amplop
hampir tak pernah menulis gosip
dia menengok batinnya
masih kotor.

Maka tengah malam dia mandi bersih-bersih
mengambil air wudlu
lalu sholat tahajut
meminta terang dari Allah
yang memberi hidup
Allah Maha Baik
kalau permintaan itu tulus
dan berangkat dari hati yang bersih
pasti terkabul
maka diapun diberitahu
di mana badak-badak itu ngumpet
dan di mana pula
presiden berada
lalu tempat para napol itu
berlindung
wartawan itu berjingkrakan.

“Berhasil!
Tadi aku sudah salaman sama presiden.
Dia di presiden suite Grand Hyatt.
Ini lo tadi dia bikin pantun :

“Pepaya penang tiada berujung
dipetik malam di negeri jiran
saya senang Anda berkunjung
titip salam melalui koran!”

Para napol itu juga kutemukan
mereka ditampung di beberapa perguruan tinggi
tapi badak-badak itu tetap
misterius
katanya mereka ada di mana-mana
di taman
di kuburan
di jalan raya
di pasar
tiba-tiba muncul
dan tiba-tiba pula menghilang
wartawan itu jumpalitan
dia bakal mencetak head line eksklusif
Pemred pun
segera siaga
mengatur strategi.
“Sewa ruang dan atap Wisma Nusantara
untuk mengintip presiden suite Grand Hyatt
telpon  ke front ofice”
“Sudah ditelepon pak
tapi mereka pasti tidak ngaku.”
“Jawabnya?”
“Memang ada presiden menginap di sana!
Tapi Presiden Petroleum Club!”
“Nah, bohong kan?”
“Benar pak! Saya sudah dari sana wawancara.
Dia sudah seminggu  ini menginap di sana!”
“Wah! Siapa benar siapa bohong nih!”
“Tentang napol?”
“Sudah dicek ke semua aktivis
ke semua perguruan tinggi DKI.
Juga ke masing-masing Senat, Dekan, Purek
tidak ada yang tahu satu pun.
Bahkan mereka ngasih info dua napol
sudah kabur ke luar negeri melalui Christmas Island.”
“Lo, kan mereka dicekal?”
“Pakai kapal dari Marina Ancol Pak!”
“Wah!”

Wartawan lain
sebenarnya sangat tidak bersih
suka menjilat pejabat
memeras konglomerat
dan menodong selebritis
tapi dia kebetulan sahabat para napol
dia diundang ke sebuah vila di Cisarua
di sana mereka rapat
mengatur strategi
menyatukan visi
dan menyerasikan gerak langkah
di lapangan
untuk apa?
menegakkan kebenaran
yang saat ini loyo?
memasyarakatkan demokrasi?
atau demonstrasi?

“Ya pokoknya kita-kita ini
ingin rakyat hidup lebih baik.
Sederhana  kan?
Arahnya ke sana!”
“Untuk itulah mari kita berbalas pantun!”
“Pusing. Pantun baik itu mbikinnya susah.
Enakan ngobrol-ngobrol begini saja!”

“Katak berdendang di bukit Zaitun
batuan bercadas dibuat alas
otaknya udang sulit berpantun
hanya yang cerdas mampu berbalas!”

“Dara dipinang centengnya engkoh
bergaun cita bersarung sutera
penjara Cipinang bentengnya kokoh
bertahun kita terkurung penjara.”

“Membeli cita berkain sulam
cinta menjulang menggapai awan
negeri kita semakin runyam
kita berjuang sampailah kapan?”

“Ya, sampai kapan?”
“Seumur hidup.”
“Kita dipenjara untuk jadi menteri
jadi presiden atau jadi pahlawan?”
“Pahlawan? Berarti harus mati dong?”
“Hati-hati bicara. Ada wartawan lo!”
“Di sini semua teman.”
“Teman bisa menusuk sembunyi tangan.”
“Menggunting dalam lipatan!”

“Taman melati di sela buah
hanjuang lurus berbatang merah
teman sejati di kala susah
berjuang terus pantang menyerah.”

“Itulah teman sejati.”
“Teman Napol.”

Rokok
asap yang memenuhi ruangan
minuman ringan
kopi
makanan kecil
suara tawa
kadang serius mereka bicara
kadang gurauan yang kedengaran
malam larut dalam obrolan
igauan
mimpi
tentang masa depan
yang harus diupayakan
agar menjadi lebih baik
dari sekarang.
“Badak-badak itu?”
“Entah!”
“Mereka akan datang sewaktu-waktu.”
“Entah kapan, entah di mana, entah
bagaimana.”


Sumber: Negeri Badak (2007)


F. Rahardi
Puisi: Sang Narapidana
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.