Puisi: Sidang Istimewa Para Badak (Karya F. Rahardi)

Puisi: Sidang Istimewa Para Badak Karya: F. Rahardi
Sidang Istimewa Para Badak


Seratus ekor badak bercula satu
daratan Ujung Kulon
(Bukannya di Ujung Kulon tinggal sekitar
50 ekor badak saja?)
Seratus ekor badak
(Aku maunya 100; ini fiksi, bukan reportase, goblok!)
Seratus ekor badak cula satu
daratan Ujung Kulon
(Kalau fiksi kenapa tidak seribu atau
sejuta sekalian?)
Seratus ekor badak
Seratus!
(Cerewet amat kamu itu! Seribu itu terlalu banyak,
apalagi sejuta. Nanti susah ngitungnya!)

Seratus ekor badak berkumpul
di sepetak sabana
di daratan Ujung Kulon
mereka bersidang
Sidang Istimewa guna membahas
masa depan bangsa badak
termasuk tuntutan
dikembalikannya seluruh pulau Jawa
secara bertahap ke pangkuan
bangsa badak.

Sidang Istimewa itu
tidak dibuka oleh siapa-siapa
dan tidak dipimpin oleh siapa-siapa
seekor badak jantan tua
yang umurnya sudah lebih 100 tahun
datang agak terlambat
bersama seekor cucunya yang masih kecil.

“Maaf saya terlambat. Langkah saya
sudah tidak setangkas dulu.”
“Tidak apa-apa Mbah. Belum dimulai.”
“Kalau begitu ayo dimulai saja. Atau masih ada yang
harus ditunggu?”
“Tidak ada. Banteng memang diundang untuk
mengirim wakilnya sebagai peninjau
tetapi mereka tidak mungkin datang.
Mereka tidak suka dengan sidang-sidang seperti ini.”
“Usul! Di akhir sidang nanti, kita deklarasikan
kemerdekaan badak dengan seluruh pulau Jawa
sebagai wilayah kita yang berdaulat.
Kita usir saja  manusia ke pulau Sumatera atau Kalimantan.”
“Jangan terburu-buru. Deklarasi memang pasti kita lakukan
tetapi tidak sekarang.”
“Lalu kapan?”
“Ya, kapan deklarasi kemerdekaan badak kita ucapkan
kita umumkan?”
“Kita sudah bosan disekap di semenanjung sempit seperti ini.
Kita perlu tempat luas. Paling tidak Jawa Barat.
Mestinya seluruh pulau Jawa.”
Badak tua itu tiba-tiba terisak
dia menangis sesenggukan.

“Aku sedih. Cerita kakekku dulu, mereka biasa
bercengkerama mulai dari rawa- rawa  di sekitar Jakarta
sampai ke kaki Gede dan Pangrango.
Di sana masih ada tempat yang bernama kandang badak.”
“Sudahlah Mbah. Tidak usah menangis. Kita pasti menang Mbah!”
“Itu hanya harapan semu Cu!  Hanya untuk menghibur diri.
Sekadar pelipur lara. Itu semua mustahil.
Manusia teramat kuat.”
“Dan jahat.”
“Ya jahat. Manusia memang sangat jahat. Lebih jahat dari setan.”
“Jadi apa agenda sidang kali ini?”
“Kita harus ziarah.”
“Ya, itu bagus. Ide cemerlang.”
“Kita ziarah ke Kandang Badak lalu turun ke Jakarta.
Kita harus  menduduki kota manusia itu.”
“Hati-hati kalau bicara. Di sini juga ada intel.”
“Intel?”
“Ya, mata-mata.”
“Siapa?”
“Mungkin salah satu atau beberapa di antara kita.”
“Mustahil!”
“Mungkin kalajengking atau burung pelatuk itu.
Siapa tahu dia sengaja dikirim kemari oleh
bangsa manusia untuk memata-matai kita.”
“Jangan terlalu curiga. Ayo kita lanjutkan sidang ini.
Kita boleh teriak-teriak, boleh memaki-maki, boleh wolk out,
boleh interupsi, yang penting tidak menyeruduk!”
“Bajingan sampeyan ini! Anjing! Dasar sok
ingin kuasa. Lalu sampeyan itu diam-diam
mengangkat diri sendiri jadi pimpinan
sidang. Begitu?”
“Taik lu! Aku tidak sedang memimpin.
Kamu itu yang sok tahu monyet!”
“Ngentot semua! Dasar kontolnya telah
dikebiri. Ini sidang tahu! Sopan sedikit
kenapa sih? Sidang itu ada tata tertibnya.
Ya Mbah?”
“Itu tadi semua, anjing, monyet, ngentot, tai
dan lain-lain itu kan sumpah serapahnya
manusia. Apakah bangsa badak mau ikut-
ikutan rusak seperti manusia? Kita ini dalam
kondisi kritis. Populasi kita tinggal 50 ekor.”
“Seratus Mbah!”
“Kata siapa?”
“Lo kata embah tadi, tadi sekali itu
katanya seratus?”
“Ya, itu tadi kan kata yang ngarang buku ini.
Sekarang saya maunya limapuluh saja.
Ya biar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Tahu kan kalian semua? Kita sedang kritis!”
“Ya kritis!”
“Krisis Mbah!”
“Kritis atau krisis Mbah?”
“Kritis! Yang sedang krisis itu manusia
bukan kita. Karenanya kita musti inget.
Siapa di antara kita yang paling tua?”
“Simbah!”
“Ya Embahlah yang tertua di antara kita!”
“Bagaimana? Setuju?”
“Setujuuuu!!!”
“Jadi sebaiknya saya sebagai badak tertua,
kalian angkat jadi Presiden!”
“Wuuuu……!”
“Yang ada Presidennya itu manusia Mbah!”
“Inget Mbah, sudah jompo!”
“Jompo cula bujelmu itu! Aku masih gagah.
Masih pantas jadi Presiden!”
“Tapi badak tidak perlu presiden Mbah!”
“Ya, badak cukup punya tetua, sesepuh!”
“Yang punya presiden manusia Mbah!”
“Ya Mbah!”
“Kita bisa sidang tanpa sesepuh tanpa pimpinan.
Mari kita lanjutkan.”
“Sampai di mana tadi?”
“Katanya ada yang usul ziarah? Teknisnya bagaimana?
Meskipun kita hanya 50 ekor tetapi tetap harus diurus baik-
baik. Ada yang mau melaporkan sesuatu?”
“Ada! Saya badak no 16. Umur 40 tahun. Istri satu, anak dua
dan hidup bahagia. Saya setuju ziarah tetapi lebih dulu
harus ada yang ke Badui Dalam untuk menghadap Puun.
Kita harus minta jimat dan jampi-jampi agar bisa menghilang.
Sebab kalau tidak, begitu kita keluar dari hutan ini, manusia akan
menangkap lalu membantai kita beramai-ramai.”

Badak-badak itu
padang sabana
rumputan
matahari yang temaram
angin
aroma tahi banteng
suara kepak sayap enggang
badak-badak itu terdiam
mereka mengheningkan cipta
meskipun tanpa aba-aba
tanpa pengibaran bendera
tanpa komandan dan inspektur upacara
tanpa dentuman meriam 17 kali
badak-badak itu menunduk
limapuluh ekor
jumlah yang sangat sedikit
yang selalu dipelototi
mata para tauke
dari Hongkong sana.

“Mengapa kami harus bercula?”
“Mengapa gundukan jelek itu
harus menempel di moncong kita?”
“Dosa apakah yang telah diperbuat nenek moyang kita
hingga cula itu harus kami bawa-bawa sampai ke abad ini?”
“Mengapa cula itu tidak menempel di pantat banteng yang montok itu?”
“Kontol macan!”
“Ya, Harimau Jawa itu juga entah mengapa harus
menanggung nasib yang malang.”
“Apa salahnya punya kontol?”
“Apakah itu dosa?”
“Ya, setelah harimau bali dan harimau jawa punah
kini yang diburu harimau sumatera!”
“Marilah kita berdoa!”
“Tidak usah. Doa tidak ada gunanya kalau cula itu masih
menempel di sini.”
“Bagaimana Mbah?”
“Nah, bolak-balik akhirnya ya tanya sama Mbah!”
“Habis bagaimana Mbah?”
“Ya, Embah kan yang paling tua, paling banyak pengalaman.”
“Makanya aku harus jadi presiden. Presiden badak!”
“Tidak pantas Mbah! Juga tidak lazim.”
“Sesepuh sajalah. Embah sesepuh kami semua!”
“Tidak mau. Aku harus jadi presiden!”
“Sudahlah Mbah! Jadi presiden itu tidak enak.
Cobalah tanya sama presiden manusia!”
“Pokoknya kalian mau atau tidak? Kalau tidak mau
ya sudah saya pergi!”
“Jangan Mbah! Jangan!”
“Biarkan saja dia pergi. Dasar tua bangka tidak tahu diri!
Sudah sana minggat!”
“Kami juga sudah bosan melihat tampang peyotnya itu!”
“Ya sudah, kalau begitu saya tetap di sini saja.
Tidak jadi presiden ya tidak patheken. Tetapi aku tetap
yang paling tua kan?”
“Nah, begitu kan sama-sama enak!”
“Kita memang tidak perlu ngotot-ngototan.”
“Siapa lagi yang mau laporan?”
“Saya. Badak jantan nomor 20. Umur 30 tahun
bujangan.”
“Duda! Begitu saja malu!”
“Ya tepatnya begitulah. Istri gue disembelih orang
dua tahun silam. Padahal dia lagi bunting tua!”
“Sudahlah singkat saja jangan malah ngelantur
soal bini segala diceritakan. Ini sidang istimewa.
Bukan forum untuk mencurahkan isi hati karena
bininya mati disembelih orang. Kalau bicara soal bini,
bini saya dua ekor juga tinggal satu karena yang satu
ditembak orang dan diambil culanya.
Tapi saya tidak cengeng. Tidak pernah saya ……”
“Lo, malah dia sendiri yang ngelantur!”
“Sudahlah siapa tadi yang mau laporan?”
“Saya. Badak no 20. Saya pernah ke Badui dalam dan
bertemu Puun lalu diberi mantra untuk menghilang.
Mantra ini bisa diajarkan ke badak lain asal mau puasa
tiga hari tiga malam. Malam yang ketiga kita tidak boleh tidur
setelah itu, kalau kita baca mantra tersebut kita akan dapat menghilang.”
“Menjadi siluman ya?”
“Bukan. Kita tetap badak biasa tetapi tidak dapat terlihat
oleh mata manusia.”
“Benarkah itu?”
“Kenapa tidak bilang-bilang kalau bisa menghilang?”
“Ya kenapa pergi ke Badui selonang- selonong begitu saja?”
“Sudah ijin sama Embah atau belum?”
“Apa urusannya dengan Embah? Saya mau ke Badui,
ke Banten, ke Gunung Pangrango  bukan urusan Embah!”
“Ya memang, tetapi kalau Embah diberitahu
kan dia bisa memberi restu.”
“Saya tidak butuh restu!”
“Mantra! Mantra! Mantranya tadi bagaimana?
Saya sudah pengin menghilang tahu.”
“Lo, kita harus puasa dulu. Puasa ngebleng.
Tidak boleh makan, tidak boleh minum, tidak boleh menggauli istri.
Kita harus diam dan mengheningkan cipta.”
“Usul. Saya badak nomor tujuh. Sebaiknya sidang ini ditutup saja.
Bubar. Saya mulai bosan mendengar celotehan tak bermutu begitu.”
“Nah ini dia. Coba, silakan badak nomor tujuh berbicara.
Pasti bermutu dia!”
“Tidak! Status saya di sini hanya pendengar.
Rugi saya kalau harus bicara!”
“Kalau begitu memang ditutup saja sidang ini. Ya Mbah?”
“Kesimpulannya?”
“Ya, keputusan kita apa?”
“Apa kita semua harus menanggalkan cula kita?”
“Apakah sudah ada mesin kloning agar kita bisa
menggandakan diri secara kilat menjadi sejuta ekor?”
“Itu mimpi saudara! Mimpi!”
“Benar ya Mbah?”
“Semua benar. Kita bangsa badak ini tidak salah.
Kalau tidak percaya mari kita tanyakan kepada
sesama bangsa hewan di Taman Nasional ini.”

Badak-badak itu
dataran sabana
belukar di sana-sini
matahari yang muram
langit yang tersaput kabut
tak terasa angin mulai agak dingin
jejak-jejak badak
lalu kawanan banteng masih tetap
merumput di ujung sabana
di sebelah sana
mereka akan terus merumput
sampai matahari lengser
di arah Tanjung Layar sana.


Sumber: Negeri Badak (2007)


F. Rahardi
Puisi: Sidang Istimewa Para Badak
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.