Puisi: Montase Kota Mati (Karya F. Aziz Manna)

Puisi: Montase Kota Mati Karya: F. Aziz Manna
Montase Kota Mati


(1)
di pagi muram menikam
pintu, kelambu dan lampu masih menyala
dalam kamar jejak hujan
dalam dada jejak kenangan
ingatanku berlubang

(2)
terlihat leher bumi yang retak
laut mengirimkan air matanya
ke serambi jantungku
lama sudah tak terdengar
ketuk pintu di ruang tidurku

(3)
dari jendela itu terpandang rintik hujan
kelopak basah
daun jantung patah
dan sebuah payung
tertinggal
sendirian

(4)
o, kenangan
hujan dalam dekapan
kadang muncul kadang tenggelam
di mataku
menggenang gemuruh adzan

(5)
hujan pun jatuh di kepala
susut di hitam rambut
tiris di garis alis
tumpah di air mata

(6)
aku pun menulis kisah pada wajah mungil bunga
pada televisi dan majalah pada seluruh peta kota
dan di sana, di sudut entah dimana, hujan
dan aku tak pernah ada

(7)
sementara, tak ada lagi musik indah
orang-orang berderap dalam teriak
seperti ingin hidup seperti ingin mati
seperti warna kopi

(8)
sekawanan gelombang berderap
menerobos gerbang kota
di pusat pusar air
setangkai bunga
patah
makan terasa sakit
dan kau entah kemana

(9)
nyawa melengkung dalam ombak
menancap dalam karang
mengendap dalam kehijauan
pekiknya
melulur di jantung kota

(10)
musim mengamuk
mengasingkan kenangan
dari ruang tunggu
matamu dan pintu nasib itu
mengembunkan seluruh pikiranku

(11)
hujan bukanlah air
bukanlah petir
bukanlah geludug
bukanlah mendung tebal
awan hitam, bukanlah …
tuhan, kota terus bimbang

(12)
lalu titik
menitik
entah terus entah putus
kata kata dalam haus

(13)
di tikungan jalan itu
masih tergambar cinta
dan lembut suara, ketika
gerimis pecah
bayang berbayang
aku kau tanggalkan

(14)
seorang anak adalah perahu penyelamat
di musim hujan, seorang tua
kini dengan bunga
di sudut taman kota

(15)
daun-daun melayang
kabut tebal mengembang
limbung
mengambang
di sungai panjang
bayi mati terbuang

(16)
di taman makam kota terbaca kisah
ribuan orang bergerak dalam perang
(antara impian dan dendam) payung-payung hitam
meninggalkan masa depan
waktu hanya hitungan, kota hanya sebutan

(17)
waktu
jalan
penuh hujan
si tua muram berjalan
berkerudung kenangan
hitam

(18)
dan kota penuh awan
penuh gemuruh penuh ledakan
penuh wajah ketakutan
ciumlah aku maka kau kutinggalkan

menyusuri reruntuhan kota lama
Surabaya Utara

(19)
aku berjalan di rawa-rawa mati
apakah yang mungkin
selain kata dan cinta
sedang tubuhku penjara
dan wajahmu terlampau berbahaya

(20)
kota-kota halte
mulut-mulut menganga
seorang orang menggenggam detik jam
antara pergi dan mati

(21)
aku terus berjalan
di rawa mati, 100 nyawa tercekam
dan sejarah dirobohkan, bekasnya
jadi lobang penuh kutukan

(22)
orang-orang berkumpul membicarakanmu
tapi bahasa hanya bergetar di mulut sendiri
waktu telah retak, memusat di tubuh ini
tapi kenapa kau lari, lari dariku

(23)
aku pun tenggelam di rawa mati
pintu menghadapku
sekaligus menghadapmu
tapi siapa, yang tiba-tiba saja, merobohkannya?

(24)
seperti kekosongan
kota ini tak bisa dibingkai
seperti puisi atau komposisi bunyi-bunyi
kota ini tak mau ditafsiri

(25)
maka jangan kau cinta mereka
yang berhasrat tinggal bersama
seperti hujan datang
dan pergi

Gerbang Kota yang Dirobohkan
Malam Hujan Paska Wonokromo Dibakar

(26)
dalam sebuah bait suci
adzan melengking putih
membisikkan sesuatu
yang seluruhnya sia-sia

(27)
ini malam
kelam
mencekam
lubang hujan di jantung karang

(28)
antara mendung dan kembang celung
angin tertikam, lanskap garis hujan
di tengah ruang kosong
malam

(29)
beberapa cahaya dinyalakan
beberapa kepala bertopi lebar
beberapa jauh di tengah lautan
dengan doa dalam hujan

(30)
rumah dalam lingkar mawar
sehabis hujan
sehabis: tuhan apakah yang kau inginkan?
jalan terjal, pintu, aku, dan bayangan
menjauh

(31)
seberkas bunga plastik
aspal selepas hujan
angin bergetar mengikuti bayangan
seorang tua dalam wajah ketakutan

(32)
dalam sisa-sisa hujan
hanya seorang pejalan
hanya angin malam
hanya kekosongan
wajahmu begitu muram

(33)
seperti cintaku
dunia akan menjadi masuk akal
jika memang kau berkehendak
hujan menerjemahkan gebalau

(34)
dan bila kerinduan bersayap
ke jendela kamar tentu akan terbang
untuk menculikmu saat ini
sebab langit berdusta dengan bahasa cuaca

(35)
waktu telah menetes di balik awan
membentuk danau di dadaku
di dasarnya
jantungku membatu

(36)
kenangan hanya kaca yang lekas pecah
ketika hujan tak hendak selesai
dan kau berpaling, pulang
dalam diam

(37)
kota telah berlayar dalam gelombang
dan cerita tinggal gesekan biola
lalu bagaimana kusembahyangkan
kenangan cintaku padamu

(38)
pintu terbakar dan
aku telah sampai pada titik
dimana cinta tak mungkin lagi dimulai
seperti kopiku yang kian pahit
kota kian gelap


Puisi Montase Kota Mati
Puisi: Montase Kota Mati
Karya: F. Aziz Manna
© Sepenuhnya. All rights reserved.