Puisi: Di Ruang Tunggu Bandar Udara (Karya Budiman S. Hartoyo)

Puisi "Di Ruang Tunggu Bandar Udara" karya Budiman S. Hartoyo membawa pembaca ke dalam momen yang penuh dengan keintiman, gelisah, dan ....
Di Ruang Tunggu Bandar Udara
Antarbangsa "Subang",
Kualalumpur Suatu Senja


Sebentar aku pun terhenyak
ketika matahari mengusap hangat
kulit wajahku
"Lepaskan jaket Enchik, di sini amat panas," sambutmu
nyaring seperti suara keramahan di rumahku
(Kugenggam dendamku, kupendam rinduku
setelah lama luput dari cahaya bola matamu
yang lembut, seperti matahari mimpi
menjelang tidurnya senja hari)

Orang-orang pun mendadak tersentak
ketika butiran air tiba-tiba terjatuh
dari langit
yang mengawalku
"Inilah payung Tuan, mengapa tak jalan sama-sama?" serumu
sambil berlari kecil di belakangku
Kusurukkan kepalaku
lalu kurangkul pinggangmu
tanpa ragu
(Aku ingin melepas napas
persis di bawah lubang hidungmu)
Di sini seolah tiada lagi rindu
pada tanah air
Memang ada terasa damai di bawah payung kembangmu
(Mungkinkah aku tinggal di sini
barang sehari?)

Di ruang tunggu
tak siapa menunggu
tak siapa ditunggu
Kita duduk termangu
tak siapa kutunggu
tak siapa kautunggu
Toh terasa akrab juga pandangmu
seperti kita pernah bersahabat sejak dulu
Sebentar-sebentar engkau senyum. Mengapa
aku tak tahu. Barangkali kebiasaan beramah-ramah saja
Atau mungkin karena kautangkap gelisahku
menunggu waktu
ketika tiap sebentar kukibaskan celana
yang basah oleh hujan barusan

Di kursi empuk sudut sana itu
seorang kakek duduk tertidur
nafasnya bebas teratur
(sehat sekali tampaknya)
Cambang dan janggutnya lebat
putih, rapih — memantulkan semangat
Meningatkan aku pada seorang dosen sejarah
di sebuah universitas swasta yang bangkrut
Bau harum asap tembakau
masih mengepul tipis dari pipa cangklong
di tangan kirinya
Dan di tangan kanannya
terkulai sebuah buku saku:

Soekarno, A Political Biography

Tak ada suara di sini, kecuali
gumam kelompok di sudut itu
atau detak sepatumu bertumit tinggi
atau bisikmu
atau desah nafasmu
atau tawa kecilmu
yang tertahan
Toh gelisah itu mengusik juga, pabila
pengeras suara itu mengganggu
— bergema

Maka waktu pun sampai
aku usai, engkau usai
Dan aku pun melambai
dan engkau pun melambai ...


1974

Sumber: Sebelum Tidur (1977)

Analisis Puisi:
Puisi "Di Ruang Tunggu Bandar Udara" karya Budiman S. Hartoyo membawa pembaca ke dalam momen yang penuh dengan keintiman, gelisah, dan keberagaman di sebuah ruang tunggu bandara. Dalam analisis ini, kita akan menjelajahi beberapa elemen kunci yang membentuk keunikan dan keindahan puisi ini.

Lukisan Keintiman dan Rindu: Puisi ini dibuka dengan gambaran keintiman antara narator dan lawan bicara yang tampaknya memiliki ikatan yang kuat. Matahari yang mengusap wajah dengan hangat menciptakan suasana yang intim, dan sambutan hangat tentang melepas jaket menciptakan nuansa keakraban.

Dendam dan Rindu yang Terpendam: Dalam penggambaran narator, terdapat perasaan dendam dan rindu yang terpendam. Pencapaian rindu ini dijelaskan sebagai suatu kelegaan setelah "lama luput dari cahaya bola matamu." Ada kompleksitas emosional yang tergambar di sini, menciptakan dimensi psikologis dalam hubungan.

Situasi Tiba-Tiba yang Mengubah Atmosfer: Keadaan tiba-tiba berubah ketika butiran air hujan turun. Ini menciptakan kontras yang kuat dengan suasana hangat sebelumnya. Penggunaan payung sebagai simbol perlindungan dan kebersamaan memberikan nuansa perubahan mendalam dalam suasana hati.

Cinta yang Menyulut di Setiap Waktu: Puisi mengeksplorasi cinta yang menyulut di setiap waktu, bahkan dalam situasi yang tak terduga seperti hujan di bandara. Kesadaran akan waktu dan momen-momen bersama menciptakan gambaran tentang keintiman yang tidak terhingga.

Kebersamaan di Ruang Tunggu: Puisi melukiskan kebersamaan di ruang tunggu bandara, tempat yang sering dihubungkan dengan keterpisahan dan tunggu. Namun, dalam kisah ini, ruang tunggu menjadi arena keakraban dan perasaan yang saling mengerti.

Gambaran Kakek dan Peninggalan Sejarah: Penggambaran seorang kakek yang duduk tertidur dengan buku Soekarno di tangannya membawa unsur sejarah dan kemerdekaan nasional ke dalam puisi. Ini menambahkan dimensi keberagaman dan pemikiran di tengah-tengah situasi yang penuh emosi.

Suara dan Hening di Ruang Tunggu: Puisi meretas suara dan hening di ruang tunggu, menciptakan gambaran suara-suara yang melibatkan kelompok, sepatu bertumit tinggi, bisikan, dan desahan nafas. Suara-suara ini menjadi bagian dari keberagaman dan kehidupan di ruang tunggu.

Puncak dan Perpisahan: Waktu pun sampai, menciptakan momen puncak dan perpisahan. Puisi diakhiri dengan lambaian perpisahan, menandai akhir dari kebersamaan yang sementara di ruang tunggu bandara.

Gaya Bahasa Puisi: Budiman S. Hartoyo menggunakan bahasa yang sederhana namun sarat makna. Gaya bahasanya yang deskriptif menciptakan gambaran yang jelas dan membiarkan pembaca meresapi setiap detil dari pengalaman di ruang tunggu.

Secara keseluruhan, "Di Ruang Tunggu Bandar Udara" adalah puisi yang menggambarkan keintiman, perubahan suasana, dan keberagaman di dalam suatu ruang tunggu. Dengan menggabungkan elemen-elemen emosional dan gambaran sejarah, puisi ini mengajak pembaca untuk merenung tentang berbagai dimensi kehidupan yang terungkap dalam momen-momen yang tampaknya sederhana namun sarat makna.

Puisi Budiman S. Hartoyo
Puisi: Di Ruang Tunggu Bandar Udara
Karya: Budiman S. Hartoyo

Biodata Budiman S. Hartoyo:
  • Budiman S. Hartoyo lahir pada tanggal 5 Desember 1938 di Solo.
  • Budiman S. Hartoyo meninggal dunia pada tanggal 11 Maret 2010.
  • Budiman S. Hartoyo adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.