Puisi: Pecahan Ratna (Karya Aoh K. Hadimadja)

Puisi: Pecahan Ratna Karya: Aoh K. Hadimadja
Pecahan Ratna

(1)

Pabila engkau sungai dan aku mentari akan kupancarkan sinarku sekuat tenaga, agar engkau tertawa riang menyanyi suka.

Tak ada lagilah hutan dan jurang yang sunyi sepi, dilalui semua oleh gelakmu.

Dara dan bujang akan menari-nari ke luar rumah mengenakan kain seindah ada menuai padi yang penuh bersalur mas berkat harimu yang murah-kaya.

tenang dan tenteram engkau tinggalkan daratan hayat, karena tanah yang tandus-kering telah engkau subur-hidupkan dan menujulah engkau ke Samudera-Raya bergulung berbuih hikmat.

(2)

Insyaflah, wahai adik, akan kilat cahaya, kesayangan Tuhan akan dirimu?

Awan pecah, aku tegak, biduk kukayuh pula.

Dan bilapun aku hancur terdampar karang, berbahagialah aku, tulangku terserak di dasar laut bersama mutia yang mengenangkan dikau!

(3)

Bagai langit melengkung kelam penuh bintang bertabur mewah, wahai adinda, demikianlah halus jaring rambutmu.

Hitam-ikal rambut tertutup, bertebar bunga sutera biru, aduh juita, patah kalam tak sampai kata.

Hanya kenangan meliput senja, mentari turun, engkau pergi ...

(4)

Serasa-rasa tak lama lagi aku akan menutup mata selama-lamanya ...

Rela aku! Dalam matamu terbayang kita, engkau dan aku mengendarai kereta-kencana ditarik kuda menari suka.

Bersorak-sorai orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihias bunga dan panji berkibar.

Aku rela, aku pergi dahulu ...

(5)

Herankah engkau, adik, sudah kutahu pohonku tak 'kan berbuah masih juga aku menari-nari menyanyi riang?

Ah, mengapa tidak!

Pohon, burung, sungai, semua menyanyi. Mengapa aku tak 'kan turut pula?

Nikmat berdesir pohon dalam kemarau panas terik. Riang bernyanyi burung di dahan-patah. Bersih berderu air terjun di jurang-dalam.

Mengapa aku tak 'kan menyanyi sekalipun di musim kemarau setahun lama, di atas dahan yang retak-kering, di tepi jurang gelap-gulita?

(6)

Gemuruh deguman hatiku,
surat jatuh tak tersangka,
setahun lama
terasing tulisan merelung-gelung.

Bila sungguh cita tak sampai,
darah menetes berhenti sudah,
namaku terang,
terukir indah di baru karang.

Dengan senyum merangkul derita,
dipahatnya namaku di atas batu,
tegak menjulang menghalang malang:
"Tak lekang di panas tak lapuk di hujan."

(7)

Akan kucari papan yang tebal, ya Tuhanku, untuk kujadikan perahu bersama dia berlayar di telaga Al-Kautsar.

Payah sungguh papan kucari, berat pula memikulnya, tetapi perahu mesti jadi, biar aku berkeringat darah.

Bersama dia akan kuberlayar, di atas biduk yang kubentuk di telaga-suci ciptaan janji-Mu-lama.

(8)

Bagaikan pecah hatiku akan meniarap di telapak kaki-Mu, dahiku menekan girang bergelut-suka.

Akan kubasuh kakiku sebersih dapat memasuki majelis tempat kesayangan-Mu berkumpul ramai.

Destar pilihan akan kupakai, harum wangi-wangian akan semerbak dari pakaian.

Mari, adinda, engkau kenakan juga hiasanmu indah menghadap Kekasih, tempat gantungan kita di atas tanah yang terban senantiasa ...

(9)

Mengapa kerjaku tak laju juga? Tertahan-tahan tanganku, terkenang yang pergi entah bila bertemu pula.

Hampa duniaku keliling, sampai jauh merata daratan ke pantai-landai dirangkum ombak.

Hanya awan temanku. Pecah-pencar di sawang-lapang.

(10)

Kau jadikan kembang beraneka-warna. Kau pancarkan matahari supaya dunia terang, kata-Mu untuk kami semua, ya, Tuhanku.

Mengapa besar benak kesayangan-Mu melimpah rahmat tak ada hingga?

Kembang mengenakan kerabu menyambut fajar, teja bersorak-sorai dalam arakan, lekat-terpikat sudah pandangku.

Mengapa pula Engkau tuangkan dadaku penuh dengan lagu di alun rindu, dengan madah ditayang sayang?

(11)

Akan kusimpan untuk dikau, kasih, dupa yang kukumpulkan di taman-raya.

Pabila kelak engkau bersimpuh bersampur sutera, dan kaubakar dupa kupungut itu, mengalunkan asap diiringi du'a, kita duduk berdamping khidmat.

(12)

Akan kulekatkan suratmu di Kitabku-Suci, adinda, agar kenangan padamu suci senantiasa.

Bila bacaanku mengalun menembus kabut, malam pergi siang datang, suratmu terkembang menunjuk halaman di mana kusampai.

Biarlah yang suci di tangan Yang Suci selalu ...

(13)

Dalam petiku kecil-terukir kupisahkan surat-surat suteramu halus.

Bila tak ada lagi dawat mengalir, suara burung tak terdengar pula. Jemputlah peti itu, adik; di atasnya terukir-seni garudera sepasang menjaga.

Jangan khawatir jadi sutera-benang-jalinanmu tidak tersimpan baik.

(14)

Terperanjat aku mendengar katamu.

Pohonku benar tidak memayung-indah. Hanya dalam khayalanku jua daunnya rimbun, dahannya rampak, padahal patah mudah dipakai gantungan.

Baik aku tebang, adik, hingga bantun dengan akar-akarnya.

Segar tamasya sekarang, langit cerah, pandangan adik.

Cuma ingin kukumpulkan atalnya, untuk dibakar menjadi dupa, menghanyutkan daku di malam gelap!

(15)

Pernahkan Tuan rasakan api yang menghangus melidah-kilat, pernah Tuan rasakan pahit segetir pahit, pernahkah Tuan rasakan yang membekam-peram, mengoyak-renggut, memerah-ramas?

Berbahagialah Tuan yang terasing penyakit itu!

(16)

Tidakkah hidup ini tangga semata untuk mencapai bahagia seluas kata?

Marilah kita cari tangga sekokoh dan sepanjang dapat, adinda, agar terpetiklah buah idaman!

(17)

Alam seluruh mengenangkan Dikau, Junjungan, diutus mengayunkan sudah di dunia gelap.

Banyak musyafir kujumpai kini memancarkan cahaya yang Kau bawa dahulu.

Bagiku, Tuan, bunga-api yang hinggap di padangku membakar sudah semak-belukar, menjilat-jilat membasmi yang tumbuh masih.

(18)

Apakah guna kita tersedu-sedan, adik, karena jalan kita tidak bertemu di taman-raya?

Ah, bukankah kini kita sedang memungut bunga, jelita-wasih suntingan adik di sanggul-molek?

Kukumpulkan juga pucuk dan bunga, engkau rangkaikan kelak menghias Rumah tempat kesayangan-Nya berpesta-ramai.

(19)

Tertawa aku mendengar keluhmy; maaf, adik.

Belum tahu masih engkau siapa aku.

Merampas, meremas, merompak kerjaku dahulu. Istana, mahligai orang kurebut, kupakai untuk kesenanganku melulu.

Terdampar aku sekali peristiwa. Timbul-tenggelam aku digulung ombak.

kasih-Nya hanya aku belum hanyut dan terapung ke pulau Harapan.

Kini aku kelana Cuma. Menikmat panas Cahaya lagi menggigil. Belum siap pula berlayar menempuh jauh ke pantai terang-selama.

(20)

Wangi pandan di depan rumah, harum tanjung di tepi jalan, ah, mengapa yang jernih mewangi membawa aku mengalun jauh?

(21)

Engkau Mega ...

Insan sedap melepas pandang, melepas kenang dagang melarat.

Engkaulah Mega ... di panas-terik, di senja-marak ... untuk tinjauan dengan semata.

(22)

Adakah masih, adinda, rambut sehelai jatuh di bahu kukuh, terentang hitam di baju putih?

Ditahan-tekan gelora hati, rambut kubiarkan sesalan kini ...

(23)

Sendiri aku mengayuh sepeda.
Langit cerah, air berkilat ditimpa cahaya.
Gelak dan bisik tiba terdengar. Beca lalu.
Ah, terayun aku ke alam kenangan, di dalam keretek, hujan lebat ...

(24)

Baik aku pergi, bukan?
Pergi jauh dari taman tempat engkau bersenda-gurau.
Aku akan pergi, mendaki puncak menurun lembah.
Dengan hutan akan kunaikkan lagu, dengan tasik akan kubernyanyi, bernyanyi sunyi ...

(25)

Kalau begini, ya, Tuhanku, baik aku tunduk.
Bukan ke sana gerangan jalan yang kutempuh.
Aku tunduk, agar dapat bertemu dengan Dikau!

(26)

Bersila-tekun aku di tepi jalan.

Panas-terik, hujan-lebat, debu meniup, tak kuhiraukan.

Aku menunggu, tetap menunggu ..., biarpun raja-siang lama 'lah turun, puteri malam naik bertahta,

Aku menunggu.

Semoga Kau, Kasih, lewat juga, aku tersapu jubah, kain-sayang-Mu.

1944

Puisi: Pecahan Ratna
Puisi: Pecahan Ratna
Karya: Aoh K. Hadimadja
    Biodata Aoh K. Hadimadja:
    • Nama Aoh Karta Hadimadja.
    • Edjaan Tempo Doeloe: Aoh K. Hadimadja.
    • Ejaan yang Disempurnakan: Aoh K. Hadimaja.
    • Aoh K. Hadimadja lahir di Bandung tanggal 15 September 1911.
    • Aoh K. Hadimadja meninggal dunia tanggal 17 Maret 1973.
    © Sepenuhnya. All rights reserved.