Puisi: Percakapan Telapak Sepatu Berlumuran Lumpur Kuburan (Karya Taufiq Ismail)

Puisi: Percakapan Telapak Sepatu Berlumuran Lumpur Kuburan Karya: Taufiq Ismail
Percakapan Telapak Sepatu
Berlumuran Lumpur Kuburan (1)


Sepasang sepatu, kiri dan kanan
Sedang memperbincangkan keluhan
Terlalu banyak bertambah muatan
Tanah yang lekat jadi beban
Sehabis acara mengantar jenazah ke kuburan
Ketika hari rintik-rintik hujan

Tetapi aku yang punya sepatu
Tak mendengar percakapan itu

Bukan kepalang riang perasaan
Dua butir tanah dasar kuburan
Yang di telapak sepatuku ikut melekat
“Sudah dua ratus tahun bertugas di liang lahat
Kinilah baru terbawa naik ke atas
Lama benar tidak menatap matahari
Di tempat bertugas sehari-hari
Menemani mayat yang terbaring sendiri
Yang pelahan jadi tulang-tulang berantakan
Akulah tempat melintas bakteri, serangga dan reptilia
Yang bergilir membongkar onderdil kendaraan roh ini
Bermilyar-milyar mereka bergerak, merayap dan meresap
Mereka kerja diapit kelam dinding bercat tinta Hindia
Dan setelah berakhir penyerbuan pasukan bakteri pembusukan
Tak ada lagi otot, sususan syaraf,  pembuluh darah dan jeroan
Semua diserap bumi melalui kimia penghancuran
Sempurna dihimpit, sempit, dalam fisika kepadatan
Dua ratus tahun aku bertugas dalam kelam
Dan sore ini, aku mengalami mutasi.”

Tapi yang berlumur lumpur
Yaitu sang sepatu
Tak mendengar omongan itu


Percakapan Telapak Sepatu
Berlumuran Lumpur Kuburan (2)


Gerimis sudah agak mereda, sesekali angin terasa
Menjelang pintu gerbang masih banyak orang-orang
Mencapai trotoar aspal, kuringankan beban sepatuku
Kugosokkan telapak bergantian kiri dan kanan
Kini terasa agak lumayan
Walau ada bagian yang bandel dan kukuh bertahannya
Berikut tiga helai rumput yang melekat dengan eratnya

Sesama rumput tersebut ternyata berkata pula
Sambil membenahi akar yang terbawa sempurna
“Mudah-mudahan kita dapat bumi yang sunyi
Tempat kita tumbuh menyebar dan menutup tanah
Memberi warna hijau dan menguapkan zat asam
Menyiapkan pucuk untuk dikutip hewan ternak
Bercanda dengan kumbang dan alang-alang
Menangkap angin yang mengibarkan sepi
Di atas bagian bumi yang agak sunyi
Cukuplah pengalaman menumbuhi pekuburan
Tempat yang paling bising di atas dunia
Betapa hiruk-pikuk tak pernah diam
Terguncang-guncang bagai lindu berketerusan
Pernah suara seperti teriakan orang-orang di stadion bola
Digilas seratus mesin giling bersama-sama
Sekawanan kerbau yang sedang memamah-biak
Tegak terperanjat, mengibaskan telinga
Lalu lari tunggang-langgang
Kadang-kadang kudengar jeritan massal hinggar-bingar
Para perempuan yang dibebat gurita kawat berduri
Sehingga induk-induk ayam tegak terpaku
Lalu berkotek-kotek tak ada putusnya
Tungku raksasa apa yang ada di bawah pusara
Mengambang panasnya ke atas
Memanggang putik-putik daun
Kuali penggorengan mayat yang luarbiasa busuk
Yang percikan uapnya membunuh bunga-bunga kamboja
Yang menjerit kesakitan
Sesudah diusap oleh warna kekuningan
Daun-daun itu gugur keletihan
Mudah-mudahan kita dapat bumi yang sunyi
Tempat kita menumbuhkan hijau daun yang teduh
Jauh dari gelegar kubur tak berkeputusan
Tapi heran aku. Lihatlah yang punya sepatu ini
Tertawa-tawa saja sesudah acara mayat masuk kuburan
Dia berkelakar terus dengan teman-temannya
Seperti dia tidak mendengar hingar-bingar
Kamar-kamar algojo di bawah sana
Betapa sempurna
Kedua telinga
Tulinya dia.”

Tanah pusara yang melekat di telapak sepatu
Tak mendengar kata-kata rumput itu


Percakapan Telapak Sepatu
Berlumuran Lumpur Kuburan (3)


Aku memutar kunci penyala mesin kendaraan
Roda-roda menggelinding pelahan di musim hujan
Di sela rimba lalu-lintas yang penuh kemacetan
Dengan hati-hati kutekan dan kulepas pedal gas ini
Sebutir tanah dasar kuburan
Yang lekat di bawah telapak sepatuku kanan
Ditanyai teman-temannya, lumpur aspal jalanan
Dan menjawablah dia:
“Pengalamanku yang paling kukenang
Selama bermukim di bawah sana
Ialah menyaksikan hancurnya kain kafan
Kemudian runtuh membusuknya kulit dan daging
Lumatnya organ jeroan
Berserakannya rambut dan kuku
Melelehnya lemak dan kelenjar
Menerawangnya tulang-tulang rusuk
Termenungnya tengkorak
Menganganya rahang
Berlubangnya rongga pernafasan
Cerai-berainya persendian
Tapi, di sudut rongga mata kirinya
Sisa bola matanya masih menggelantung sipi
Nyaris terjatuh
Dan aneh
Di sudut bola mata membusuk keriput itu
Setetes air mata menggantung pula
Lama tersangkutnya
Seperti enggan jatuh
Antara gugur dan menggantung
Tapi tak juga luruh-luruh
Kemudian
Dari air mata itu
Yang berkilat dalam gelap
Meneteslah setitik air

tes

Jatuh di dekatku
Bertanya aku padanya
‘Siapa kamu’
Menjawablah dia
‘Aku air mata dari air mata’
Aku bingung
‘Maksudmu bagaimana’
‘Aku air mata. Dari air mata
Aku menitik berkepanjangan
Di bawah tanah
Karena sumberku, air mata sebenarnya
Tertahan menetes
Selama di atas tanah’
Aku tidak paham
Mungkin aku tak perlu paham”
Begitulah cerita butir tanah kuburan itu.


Percakapan Telapak Sepatu
Berlumuran Lumpur Kuburan (4)


Pedal gas yang kini berlumuran tanah liat itu
Tak mendengar kata-kata tanah kuburan tadi
Rumput yang tiga helai berikut akarnya
Tak mendengar pula kata-katanya
Sepatu yang membawa semua
Tak mendengar kata rumput dan tanah
Aku yang menginjak dan memasuki kedua sepatu itu
Tak menyimak kata-kata sepatu.

1988

Sumber: Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (2000)


Puisi Taufiq Ismail
Puisi: Percakapan Telapak Sepatu Berlumuran Lumpur
Karya: Taufiq Ismail

Biodata Taufiq Ismail:
  • Taufiq Ismail lahir pada tanggal 25 Juni 1935 di Bukittinggi, Sumatera Barat.
  • Taufiq Ismail adalah salah satu Sastrawan Angkatan '66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.