Puisi: Perjalanan Pulang (Karya Joko Pinurbo)

Puisi "Perjalanan Pulang" karya Joko Pinurbo membawa pembaca dalam perjalanan batin yang membingungkan, menggambarkan perasaan yang kompleks ...
Perjalanan Pulang

Kadang ingin sangat aku pulang ke rumahmu.
Setidaknya kubayangkan suatu senja aku datang
ke ambang jendelamu, melongok wajah seseorang
yang sedang melukis matahari di telapak tangan.

Halte. Aku terdampar di sebuah halte.
Menunggu bus yang sebenarnya telah lama lewat.
Mengulur-ulur waktu agar tidak cepat sampai
ke arah jantung atau erangan bisu.

Lihatlah, setiap orang memasang halte
di tempat persinggahan.
Menunggu dan menanti tak henti-henti.
Mengangankan masih ada bus yang bakal datang
membawanya pulang atau mungkin pergi jauh sekali.

Demikianlah musafir: kita takut menjadi tua
namun juga tak pernah bisa kembali menjadi bayi,
menjadi kanak-kanak
kecuali bila kita ciptakan lagi kelahiran
di saat halte mau membimbing kita ke peristirahatan.

Rindu. Aku ini memang selalu rindu untuk pulang
tapi saban kali juga tak betah.
Petualang sekaligus pencinta rumah.
Di saat lelap sering kulihat bayangan tubuhmu
berjalan terbungkuk-bungkuk dengan gaun putih,
menyibak dan menutup kembali kelambu mimpi.

Halte. Aku ingat sebuah halte di ujung kota yang entah.
Perhentian tempat penantian dikekalkan
dan sekaligus diakhiri.
Alamat kepada siapa kau kirimkan aduan bernama surat.
Rendezvous yang kepadanya kau tujukan persediaan waktu.

Tak bosan-bosan. Jendela selalu membukakan dirinya
untuk dimasuki dan ditinggalkan.
Seakan seseorang selalu siap di atas ampunan,
menerima dan melepaskan salam.
Seperti juga telapak tanganmu: selalu terbuka
untuk dilayari dan disinggahi.

Mengapa kita takut pada ketakutan?
Mengira tak ada yang bisa diabadikan?
Tengah malam kita sering terbangun
lalu berdiri di depan cermin.
Merapikan rambut yang kusut.
Membelai wajah yang membangkai.
Memugar mata yang nanar.

Andai pun langit memperpendek batas,
tak berarti jangkauan begitu saja lepas.
Siapa tahu tatapan malah meluas,
memburu sinyal-sinyal baru
yang memberitakan atau menyembunyikan pesanmu.

Tergambar jelas di potret lama:
wajah yang dingin dihangati usia.
Burung-burung pipit mengurung senja,
matahari beringsut pada lingkaran biru.
Kemudian malam terlipat di pelupukmu
dan sebuah himne menggema di lintasan alismu.

Berapa lama kata-kata berbincang tentang artian?
Uban-uban tak mau bicara tentang ketuaan.
Almanak tak menyiratkan tanggal dan bulan.
Garis-garis tangan tak menuliskan suratan.
Dinding-dinding tak membatasi ruang.
Berapa lama ucapan tak mau bungkam?

Ah padang pasir.
Panasmu ingin menghanguskan perkemahan.
Kau pikir para pengungsi mau dilumat kelaparan?
Lihatlah, sungai itu tetap saja hijau.
Kematian dienyahkan ke bukit-bukit karang,
kanak-kanak bermain terompet di lubang persembunyian.

Katakan pada ibu, si buyung mau lebih lama merantau.
Rumah itu mungkin akan selalu menanyakan kepulangan,
pintu-pintu minta kiriman kisah petualangan.
Aduh sayang, jarak itu sebenarnya tak pernah ada.
Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.

Hari itu jam bergerak lambat.
Malam mengingsut seperti siput mengusut kabut.
Di jauhan anjing-anjing bertengkar berebut kucing.
Kalender menangis melengking-lengking.
Apakah waktu sudah sangat bosan menghuni jam dinding?
Aduh sayang, detik-detik berjatuhan ke lantai dingin,
diserbu semut-semut hitam untuk pesta persembahan.

Lalu kau merapat ke kaca almari:
mengganti baju, menyempurnakan kecantikan.
Matamu menyala serupa lilin.
Keningmu berkobar dibantai sinar.
Apakah kau sedang berkemas ke kuburan?
Alamak, beri aku sedikit waktu.
Nyawaku tertinggal di rumah sakit.

Baju usang yang kusayang tergantung riang di tali jemuran.
Sudah rapuh, sudah kumal, sudah pula penuh jahitan.
Seperti kujahit leher yang retak, leher yang koyak
dirobek-robek kemiskinan.

Salam bagimu peziarah muda.
Hatimu telah mencatat peristiwa-peristiwa kecil
yang dilupakan dunia.
Ke mana nyerimu melangkah, ke sana jantungmu mencari.
Lonceng gereja mengepung rindumu di malam buta,
membangunkan si sakit dari ranjang beku
di kamar-kamar mati. Salam bagimu pasien abadi.

Suatu hari aku ingin mengajak si mayat berburu singa
di hutan purba. Melacak jejak sejarah nenek moyang
yang melahirkan nama-nama. Merunut silsilah gelap
dari mana aku datang ke mana aku pulang.

Senja hampir layu. Burung-burung berarak pulang
menuju lingkaran biru. Gaun siapa tertinggal
di bangku taman, dibawa kupu-kupu ke pucuk cemara?
Musim bunga tergesa-gesa pergi diburu musim
yang kehilangan cuaca.

Jika benar air mancur itu tak ingin tidur,
barangkali bisa kutitipkan kebosanan padanya.
Angin dan angan menyurutkan malam,
menyibakkan tirai pagi sebelum surya ungu
berayun di ambang pintu:
mengabarkan saat kematian dunia waktu.

Halte. Aku terdampar kembali di sebuah halte.
Melupakan bus yang tak akan lewat atau sudah lama lewat.
Memilih saat terbaik untuk pulang ke rumah, ke dunia entah.
Untuk datang ke ambang jendelamu, melongok wajah
seseorang yang sedang melukis matahari di telapak tangan.
Seperti pada saat keberangkatan.

1991

Sumber: Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007)

Analisis Puisi:
Puisi "Perjalanan Pulang" karya Joko Pinurbo adalah ungkapan yang mendalam tentang hasrat dan kegelisahan dalam konteks pulang. Melalui bahasa yang indah dan imajinatif, Pinurbo membawa pembaca dalam perjalanan batin yang membingungkan, menggambarkan perasaan yang kompleks terkait dengan konsep pulang.

Hasrat untuk Pulang: Puisi ini mencerminkan keinginan yang mendalam untuk pulang, baik secara fisik maupun emosional. Penggambaran tentang "suatu senja aku datang ke ambang jendelamu" menunjukkan kerinduan yang kuat untuk kembali ke tempat yang dikenal dan dicintai.

Perasaan Terdampar dan Tidak Sabar: Penyair menggambarkan perasaan terdampar di sebuah halte, menunggu bus yang tidak kunjung datang atau sudah lewat. Ini merupakan metafora bagi perasaan terjebak di antara masa lalu dan masa depan, tidak sabar untuk mencapai tujuan, tetapi terjebak dalam waktu dan ruang yang tidak pasti.

Refleksi tentang Waktu dan Kehidupan: Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan konsep waktu dan perjalanan kehidupan. Ada pengamatan tentang bagaimana waktu bergerak lambat atau cepat, dan bagaimana kehidupan sering kali dipenuhi dengan momen-momen yang terasa sia-sia atau terbuang.

Kesadaran akan Kematian dan Kehidupan: Ada refleksi mendalam tentang kematian dan kehidupan, dengan penyair menyinggung tentang baju usang yang tergantung dan "si mayat" yang dibayangkan berburu singa. Hal ini menunjukkan kehadiran kematian sebagai bagian dari siklus kehidupan dan keinginan untuk memahami asal-usul dan akhir dari keberadaan manusia.

Pulang sebagai Proses dan Hasrat: Pulang digambarkan sebagai proses yang kompleks dan terkadang sulit dipahami. Meskipun ada hasrat yang kuat untuk pulang, ada juga ketidakpastian dan kegelisahan yang menyertainya. Pulang tidak hanya tentang fisik, tetapi juga tentang pencarian makna, hubungan, dan identitas.

Melalui penggunaan gambaran yang kaya dan bahasa yang metaforis, Joko Pinurbo menggambarkan keadaan emosional yang rumit terkait dengan konsep pulang. Puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan arti dan makna dari pulang, serta kompleksitas perasaan yang terkait dengannya.

Puisi Perjalanan Pulang
Puisi: Perjalanan Pulang
Karya: Joko Pinurbo
© Sepenuhnya. All rights reserved.