Puisi: Gandari (Karya Goenawan Mohamad)

Puisi "Gandari" karya Goenawan Mohamad menggambarkan momen-momen terakhir dalam kehidupan Gandari, istri Destarastra, di tengah-tengah perang ...
Gandari


Rekaman lima hari sebelum ibu para Kurawa itu
membalut matanya dengan sehelai kain hitam,
mendampingi suaminya, raja buta itu, sampai kelak,
beberapa detik sebelum ajal.

Ia, yang tak ingin lagi melihat dunia,
sore itu menengok ke luar jendela
buat terakhir kalinya:

Sebuah parit merayap
ke arah danau. Dua ekor tikus mati,
hanyut. Sebilah papan pecah mengapung.
Sebatang ranting tua mengapung.

Di permukaan telaga, di utara, dua orang
mengayuh jukung yang tipis, dengan
dayung yang putus asa.

Ombak seakan-akan mati. Air menahan mereka.

'Mereka lari dari koloni kusta,' kata Gandari dalam hati, 'dan mereka lihat warna hitam
yang berhimpun di atas bukit.'

Malam, sebenarnya mendung, seakan mendekat.
Air naik deras ke langit: sebuah pusaran,
sebelum hujan datang, lebat, menghantam danau.

Dan angkasa gemetar
ketika tubuh tubuh angin mengubah diri
ke dalam putting beliung


*


Kemudian malam. Malam yang sesungguhnya:
pada halaman langit
bintang membentuk asteris,
yang merujuk ke nama yang tak ada
juga nama seorang dewa yang
susut.


*


Dan guruh berkejaran dengan hujan
sepanjang terowongan langit
yang merendah.

Bumi rabun.
Dan gerimis,
seperti silabel yang lebat,
berdegup, bergegas, berdegup, dari pinggir galaksi,
membentuk tanda — atau sesuatu yang seperti tanda.

Tapi perempuan itu tak memberinya arti.


*


Di luar aula para dewa,
ketika angkasa kosong, Brahma mencipta
Kematian.

'Kali akan datang,' katanya,
'dan akan melambaikan tangannya yang ungu. Tenanglah, semua tak akan apa-apa.'

Di dalam ruang, tak ada yang ingin bicara.

Dan dari bulan yang lambat
Maut meloncat ke kerumunan mega.
Ia menari. Di pelukannya yang putih, ada mayat
yang terpenggal.


*


Malam itu para dewa pun diberitahu,
itulah tarian Kali yang pertama.


*


'Aur mengisut,
air surut,
cahaya sepa,
dan dari langit
tak ada lagi apa-apa.

'Hanya di malam-malam tertentu
dewa-dewa menciptakan teks mereka
yang panjang, sepanjang ribuan makam.

'Mereka menghendaki aku, Kematian,
Mereka menghendaki aku.'


*


Mungkin Gandari mendengar kata-kata itu.

Tapi kemarin di balairung itu,
bersama Destarastra yang berkabung,
ketika ia dengar 'pyuuu' kepodang hutan,
ia tak tahu isyarat apa
yang telah disampaikan.

Itu adalah hari kesendirian mereka yang ke-7.
Suami-isteri di ruang selatan: sepasang tahta tua;
dinding yang terlindung gordin; sepetak lantai
dengan medan catur yang panjang; bidak-bidak berat yang berdiri berjauhan:
ksatria asing, pion-pion yang bungkam,
para pendeta yang angkuh, benteng bujur-sangkar.

Gandari pernah menyukai semua itu: 'Dulu aku
memimpikan makhluk imajiner di hitam-putih senjakala.'

Tapi tiap malam Destarastra, suaminya,
hanya bisa mengkhayalkan pelbagai unggas
dengan bulu yang ia sebut hijau.


*


Tapi tidak di malam itu. Dari plafon
yang dipahat gambar naga,
cahaya makin tak berarti.
Lampu ke-3 tak ada lagi.

Ketika itulah raja yang buta itu berkata,
'Aku membau amis empedu.'

Meskipun semalam
tak seorang pun mempersembahkan
hewan korban.

Orang-orang bersenjata
telah meninggalkan mereka.


*


Pada pukul 7:45 perempuan itu pun
menggeruskan kuku tangannya
pada kain lena lengan kursi.

Ia dengar degup kaki kuda yang lelah itu lagi,
seperti kemarin, seperti kemarin,
dan seorang prajurit luka
yang setiap senja berkata kepadanya:
'Hamba membawa kabar dari peperangan, Ratu.'

Gandari hanya memandang ke halaman. Ia seakan mendengar kalamakara di gerbang itu
bergerak. Bersama suara katak
yang mengigau.


*


Mari kita pergi.
Ke sebuah kota di mana nujum
tak dibaca. Di mana anak-anak
tak tumbuh. Di mana masa lalu adalah masa kini.
Di mana 'aku' hanya
kata sebelum amnesia.

Mari kita pergi ke sebuah kota
di mana kabar adalah tafsir
yang terlambat.


*


Tapi ia tahu, hanya ada sebuah kota yang tinggal.
Di Dhenuka. Di perbatasannya yang kering, Kali berdiri
dengan satu kaki, selama 15 ribu tahun.
Parasnya yang gelap seperti Semeru malam
memandang ke 700 rangka
yang terhantar. 'Paduka tak memberiku cermin.
Hanya bisa kulihat wajahku
pada langit sekeruh tembaga.
Paduka tak memberiku warna
meskipun pada perak pagi.'

Brahma tertawa: 'Tapi kau kematian.
Kau Mertyu.'

'Ya, aku kematian.'

'Aku suka gerak burung di pohon yang pucat.
Aku suka bau tahi sapi yang separuh terbakar.
Aku suka - '


*


Mungkin juga Gandari cuma bermimpi
tentang dewa-dewa yang bodoh.

Kini ia ingin duduk.

'Jangan kau hanya diam,' suaminya berkata.
Ia lihat jari kisut lelaki itu
meremas kain kasar yang terjela
dari sisi mahligai;
karena ia sebenarnya gemetar.

Ketika itu,
utusan itulah yang bersuara.

'Bhisma gugur, dengan 100 liang luka.'

'Dan ketika orang tua itu rubuh
di bawah bukit-bukit Kurusetra,
perang berhenti sebentar,
dan senjata diletakkan.
Dan di kedua perkemahan
orang-orang menunduk:
'Bhisma gugur/ mereka berbisik,
dengan 100 liang luka'.'


*


'Katakan kepada saya,
apakah yang paling menyakitkan
dari perang? Kekalahan?
Atau kebencian?'

Gandari ingin mengatakan kalimat itu, tapi
di sudut halaman yang gelap,
utusan yang letih itu
hanya memejamkan matanya.

Ratu itu seperti melihat bidak-bidak catur bergerak.


2010

Sumber: Gandari (2013)

Analisis Puisi:
Puisi "Gandari" karya Goenawan Mohamad menggambarkan momen-momen terakhir dalam kehidupan Gandari, istri Destarastra, di tengah-tengah perang Kurusetra. Puisi ini memperlihatkan pemandangan dan perasaan Gandari saat melihat dan merasakan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada malam terakhir sebelum kematian suaminya dan kemenangan yang tercapai.

Setting dan Konteks: Puisi ini diatur dalam konteks epik Mahabharata, khususnya pada saat perang besar di Kurusetra. Puisi menggambarkan momen Gandari yang mendampingi suaminya, Destarastra, raja yang buta, dalam momen-momen terakhirnya.

Gambaran Alam dan Lingkungan:
  • Penggambaran alam di sekitar Gandari menciptakan suasana malam yang mencekam dan dramatis. Alam seolah ikut merasakan kegelisahan dan ketegangan pada malam terakhir perang.
  • Gambaran air dan danau memberikan nuansa ketidakpastian dan kesedihan, seperti yang terlihat dalam deskripsi tikus mati, papan pecah, dan ranting tua mengapung.
Penciptaan Suasana: Puisi memanfaatkan elemen-elemen alam seperti hujan, ombak, dan petir untuk menciptakan suasana dramatis dan misterius, merujuk pada pertanda-pertanda yang dianggap sebagai tanda kebesaran atau malapetaka.

Kematian dan Keheningan: Puisi merentangkan pemahaman akan kematian melalui gambaran Maut yang meloncat dan menari dengan mayat terpenggal di pelukannya. Simbolisme ini memberikan warna kepada momen-momen kritis dalam kehidupan dan kematian.

Peran Dewa dan Takdir: Peran dewa, seperti Brahma dan Kali, memberikan dimensi spiritual pada puisi ini. Mereka dianggap sebagai pemegang takdir dan penentu nasib, menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa besar ini diarahkan oleh kekuatan yang lebih tinggi.

Perjalanan Batin dan Emosi Gandari: Melalui penuturan puisi, kita dapat menyaksikan perjalanan batin Gandari, terutama ketika ia mencermati peristiwa-peristiwa di sekitarnya dan memikirkan arti dari tanda-tanda yang muncul.

Kesunyian dan Isolasi: Pada malam terakhir mereka, Gandari dan Destarastra terlihat berada dalam kesunyian dan isolasi. Mereka dikelilingi oleh perang, kehancuran, dan keheningan, menciptakan atmosfer kesendirian dan ketenangan yang tegang.

Pertanyaan Filosofis: Puisi memasukkan pertanyaan filosofis tentang apa yang lebih menyakitkan antara kekalahan dan kebencian. Hal ini mencerminkan kompleksitas batin karakter Gandari yang harus menghadapi kenyataan tragis.

Penutup dengan Gambaran Catur: Puisi ditutup dengan gambaran bidak-bidak catur yang bergerak, menciptakan simbolisme permainan kehidupan dan takdir yang tidak terhindarkan.

Puisi "Gandari" bukan hanya menggambarkan kejadian-kejadian fisik sebelum kematian Destarastra, tetapi juga merenungkan perasaan dan pemikiran yang mendalam. Puisi ini memadukan elemen alam, simbolisme, dan pertanyaan filosofis untuk menghasilkan karya yang kompleks dan penuh makna.

Puisi Goenawan Mohamad
Puisi: Gandari
Karya: Goenawan Mohamad

Biodata Goenawan Mohamad:
  • Goenawan Mohamad (nama lengkapnya Goenawan Soesatyo Mohamad) lahir pada tanggal 29 Juli 1941 Batang, Jawa Tengah.
  • Goenawan Mohamad adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.
© Sepenuhnya. All rights reserved.