Puisi: Pada Suatu Malam (Karya Sapardi Djoko Damono)

Puisi "Pada Suatu Malam" karya Sapardi Djoko Damono menggambarkan perjalanan rohani seseorang yang tengah mencari makna dalam hidupnya.
Pada Suatu Malam

Ia pun berjalan ke barat, selamat malam, Solo,
katanya sambil menunduk.
seperti didengarnya sendiri suara sepatunya
satu persatu.
barangkali lampu-lampu ini masih menyala buatku, pikirnya.
kemudian gambar-gambar yang kabur dalam cahaya,
hampir-hampir tak ia kenal lagi dirinya, menengadah
kemudian sambil menarik nafas panjang
ia sendiri saja, sahut menyahut dengan malam,
sedang dibayangkannya sebuah kapal di tengah lautan
yang memberontak terhadap kesunyian.

Sunyi adalah minuman keras, beberapa orang membawa perempuan
beberapa orang bergerombol, dan satu-dua orang
menyindir diri sendiri; kadang memang tak ada lelucon lain.
barangkali sejuta mata itu memandang ke arahku, pikirnya.
ia pun berjalan ke barat, merapat ke masa lampau.

Selamat malam, gereja, hei kaukah anak kecil
yang dahulu duduk menangis di depan pintuku itu?
Ia ingat kawan-kawannya pada suatu hari natal
dalam gereja itu, dengan pakaian serba baru,
bernyanyi; dan ia di luar pintu. ia pernah ingin sekali
bertemu yesus, tapi ayahnya bilang
yesus itu anak jadah.
Ia tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh mencintai ayahnya.

Barangkali malam ini yesus mencariku, pikirnya.
tapi ia belum pernah berjanji kepada siapa pun
untuk menemui atau ditemui;
ia benci kepada setiap kepercayaan yang dipermainkan.
Ia berjalan sendiri di antara orang ramai.
Seperti didengarnya seorang anak berdoa; ia tak pernah diajar berdoa.
Ia pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa,
tapi tak pernah mengetahui
awal dan akhir sebuah doa; ia tak pernah tahu kenapa
barangkali seluruh hidupku adalah sebuah doa yang panjang.

Katanya sendiri; ia merasa seperti tenteram
dengan jawabannya sendiri:
ia adalah doa yang panjang.
Pagi tadi ia bertemu seseorang, ia sudah lupa namanya,
lupa wajahnya: berdoa sambil berjalan...
Ia ingin berdoa malam ini, tapi tak bisa mengakhiri,
tak bisa menemukan kata penghabisan.

Ia selalu merasa sakit dan malu setiap kali berpikir
tentang dosa; ia selalu akan pingsan
kalau berpikir tentang mati dan hidup abadi.
Barangkali Tuhan seperti kepala sekolah, pikirnya
ketika dulu ia masih di sekolah rendah. Barangkali Tuhan
akan mengeluarkan dan menghukum murid yang nakal,
membiarkannya bergelandangan dimakan iblis.
Barangkali Tuhan sedang mengawasi aku dengan curiga,
pikirnya malam ini, mengawasi seorang yang selalu gagal berdoa.

Apakah ia juga pernah berdosa, tanyanya ketika berpapasan
dengan seorang perempuan. Perempuan itu setangkai bunga;
apakah ia juga pernah bertemu yesus, atau barangkali
pernah juga dikeluarkan dari sekolahnya dulu.

Selamat malam, langit, apa kabar selama ini?
barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya...
Ia pernah membenci langit dahulu,
ketika musim kapal terbang seperti burung
menukik: dan kemudian ledakan-ledakan
(saat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoa
dan terbawa pula namanya sendiri)
kadang ia ingin ke langit, kadang ia ingin mengembara saja
ke tanah-tanah yang jauh; pada suatu saat yang dingin
ia ingin lekas kawin, membangun tempat tinggal.

Ia pernah merasa seperti si pandir menghadapi
angka-angka... Ia pun tak berani memandang dirinya sendiri
ketika pada akhirnya tak ditemukannya kuncinya.
Pada suatu saat seorang gadis adalah bunga,
tetapi di lain saat menjelma sejumlah angka
yang sulit. Ah, ia tak berani berkhayal tentang biara.

Ia takut membayangkan dirinya sendiri, ia pun ingin lolos
dari lampu-lampu dan suara-suara malam hari,
dan melepaskan genggamannya dari kenyataan;
tetapi disaksikannya: berjuta orang sedang berdoa,
para pengungsi yang bergerak ke Kerajaan Tuhan,
orang-orang sakit, orang-orang penjara,
dan barisan panjang orang gila.
Ia terkejut dan berhenti,
lonceng kota berguncang seperti sedia kala
rekaman senandung duka nestapa.

Seorang perempuan tertawa ngeri di depannya, menawarkan sesuatu.
ia menolaknya.
Ia tak tahu kenapa mesti menolaknya.
Barangkali karena wajah perempuan itu mengingatkannya
kepada sebuah selokan, penuh dengan cacing;
barangkali karena mulut perempuan itu
menyerupai penyakit lepra; barangkali karena matanya
seperti gula-gula yang dikerumuni beratus semut.
dan ia telah menolaknya, ia bersyukur untuk itu.
Kepada siapa gerangan tuhan berpihak, gerutunya.
Ia menyaksikan orang-orang berjalan, seperti dirinya, sendiri
atau membawa perempuan, atau bergerombol,
wajah-wajah yang belum ia kenal dan sudah ia kenal,
wajah-wajah yang ia lupakan dan ia ingat sepanjang zaman,
wajah-wajah yang ia cinta dan ia kutuk.
Semua sama saja.
Barangkali mereka mengangguk padaku, pikirnya;
barangkali mereka melambaikan tangan padaku setelah lama berpisah
atau setelah terlampau sering bertemu. ia berjalan ke barat.

Selamat malam. Ia mengangguk, entah kepada siapa;
barangkali kepada dirinya sendiri. Barangkali hidup adalah doa yang panjang,
dan sunyi adalah minuman keras.
Ia merasa tuhan sedang memandangnya dengan curiga;
ia pun bergegas.
Barangkali hidup adalah doa yang....
Barangkali sunyi adalah....
Barangkali Tuhan sedang menyaksikannya berjalan ke barat.

1964

Sumber: Hujan Bulan Juni (1994)

Analisis Puisi:
Puisi "Pada Suatu Malam" karya Sapardi Djoko Damono adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan perjalanan dan pemikiran seorang individu pada malam yang sunyi dan penuh pertanyaan.

Pencarian Identitas: Puisi ini mencerminkan pencarian identitas diri seorang individu. Tokoh dalam puisi ini berjalan sendirian melalui malam yang sunyi dan merenungkan berbagai aspek kehidupannya, seperti keyakinan agamanya, hubungan dengan orang lain, dan hubungannya dengan alam dan langit.

Kehadiran Agama: Tokoh dalam puisi ini mempertanyakan peran agama dalam hidupnya. Dia merenungkan hubungannya dengan Tuhan, menilai dosa-dosa dan keterhubungannya dengan yang ilahi. Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan pencarian spiritualitas yang mendalam.

Kesenangan Dunia: Puisi ini menggambarkan bahwa dunia ini penuh dengan godaan dan kesenangan duniawi yang bisa mengalihkan perhatian seseorang dari pertanyaan-pertanyaan yang lebih dalam tentang hidup dan makna keberadaan.

Keterasingan: Tokoh dalam puisi ini merasa terasing dan berada di luar konteks sosial yang ada di sekitarnya. Dia melihat orang-orang yang berdoa, orang-orang sakit, dan orang-orang yang mungkin dianggap gila. Hal ini mencerminkan perasaan keterasingan dan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam kehidupan sehari-hari.

Kesunyian dan Kesepian: Kesunyian malam yang digambarkan dalam puisi ini menciptakan suasana kesepian yang kuat. Kesepian ini bisa mencerminkan perasaan tokoh dalam puisi yang merasa terisolasi dan terasing dari dunia sekitarnya.

Pencarian Makna: Puisi ini mencerminkan upaya tokoh untuk mencari makna dalam hidupnya. Dia ingin tahu apakah hidupnya adalah "doa yang panjang" dan apakah sunyi adalah "minuman keras." Puisi ini menggambarkan kegelisahan yang dalam untuk memahami diri dan tempatnya dalam dunia.

Pertanyaan yang Tidak Terjawab: Puisi ini berakhir dengan serangkaian pertanyaan yang tidak terjawab. Hal ini mencerminkan keraguan dan kebingungan tokoh dalam mencari makna dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dalam hidupnya.

Puisi "Pada Suatu Malam" karya Sapardi Djoko Damono adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan perjalanan rohani seorang individu yang tengah mencari makna dalam hidupnya. Dalam suasana malam yang sunyi, tokoh ini merenungkan pertanyaan-pertanyaan besar tentang agama, eksistensi, dan makna hidup. Puisi ini menciptakan suasana misterius dan reflektif yang mengundang pembaca untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan yang sama dalam kehidupan mereka sendiri.

Puisi Sapardi Djoko Damono
Puisi: Pada Suatu Malam
Karya: Sapardi Djoko Damono

Biodata Sapardi Djoko Damono:
  • Sapardi Djoko Damono lahir pada tanggal 20 Maret 1940 di Solo, Jawa Tengah.
  • Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada tanggal 19 Juli 2020.
© Sepenuhnya. All rights reserved.