Puisi: Musim Keenam (Karya Diah Hadaning)

Puisi "Musim Keenam" karya Diah Hadaning merenungkan tentang perubahan dalam kehidupan dan hubungan dengan tanah air.
Musim Keenam


Hujan siang hujan malam, bapa
menyatu dalam sisa ketegaranku
ketika air mata tak lagi
harus bicara, melainkan
tembang tanah merdeka
di awal musim.

Dalam pejam kusaksikan
barisan kemamang dan banaspati
memasuki jiwa manusia tersakiti
semesta porak poranda
bencana meraga.

Harmoni telah lama tanpa melati
Jakarta kini belanga didihkan tuba
diam-diam ada yang memanggil namamu
bapa, rindu bunga karisma
mencari kepal tanganmu
adakah kau kenali suaranya?

Jakarta, Juni 2000

Analisis Puisi:
Puisi adalah ekspresi seni yang memungkinkan penyair untuk mengungkapkan pemikiran, perasaan, dan pemaknaan tentang berbagai aspek kehidupan. "Musim Keenam" karya Diah Hadaning adalah karya sastra yang merenungkan tentang perubahan dalam kehidupan dan hubungan dengan tanah air.

Tema Puisi: Tema utama dalam puisi ini adalah perubahan dan kerinduan akan masa lalu. Puisi ini menciptakan gambaran tentang berbagai musim yang dialami oleh tanah air dan manusianya, dan bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi perasaan dan hubungan dengan masa lalu.

Personifikasi: Puisi ini menggunakan personifikasi ketika menyatakan bahwa "Hujan siang hujan malam, bapa menyatu dalam sisa ketegaranku." Ini memberikan karakteristik manusia pada unsur-unsur alam, seperti hujan, menciptakan hubungan yang mendalam antara manusia dan lingkungan.

Gambaran Alam: Penyair menggambarkan berbagai elemen alam seperti hujan, tanah, dan bunga. Ini menciptakan gambaran alam yang kuat dalam puisi dan memberikan latar belakang yang mendalam.

Metafora: Puisi ini menggunakan berbagai metafora untuk menyampaikan pesan-pesan tentang perubahan. "Tembang tanah merdeka" dan "Jakarta kini belanga didihkan tuba" adalah contoh-contoh metafora yang digunakan untuk menggambarkan perubahan dalam tanah air.

Kerinduan: Puisi ini menciptakan gambaran tentang kerinduan yang mendalam terhadap masa lalu. Penyair merindukan keadaan yang lebih harmonis dan damai, di mana "harmoni telah lama tanpa melati." Ini menciptakan perasaan nostalgia dan kerinduan akan keadaan yang sudah berlalu.

Pertanyaan Filosofis: Puisi ini juga memunculkan pertanyaan filosofis tentang masa lalu dan masa depan. Penyair bertanya, "adakah kau kenali suaranya?" Ini menciptakan gambaran tentang perjalanan manusia yang mencari makna dalam perubahan dan mencoba untuk mengenali identitas dan akar mereka.

Pesan Kebangsaan: Puisi ini juga menciptakan pesan kebangsaan yang mengingatkan kita akan pentingnya menjaga hubungan dengan tanah air dan menghormati masa lalu. Penyair merenungkan kebijaksanaan dan keberanian yang bisa ditemukan dalam sejarah dan warisan budaya.

Puisi "Musim Keenam" adalah sebuah karya sastra yang puitis dan memikat yang merenungkan tentang perubahan dalam kehidupan dan hubungan dengan tanah air. Diah Hadaning berhasil menggunakan gambaran alam, metafora, dan pertanyaan filosofis untuk menggugah perasaan, pikiran, dan pemaknaan tentang masa lalu dan masa depan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan dengan tanah air dan nilai-nilai kebangsaan.

Puisi: Musim Keenam
Puisi: Musim Keenam
Karya: Diah Hadaning
© Sepenuhnya. All rights reserved.