Puisi: Penumpang Terakhir (Karya Joko Pinurbo)

Puisi "Penumpang Terakhir" karya Joko Pinurbo mengajak pembaca untuk merenung tentang arti kehidupan, perjalanan pribadi, serta ketidakpastian yang ..
Penumpang Terakhir
untuk Joni Ariadinata


Setiap pulang kampung, aku selalu menemui bang becak
yang mangkal di bawah pohon beringin itu dan memintanya
mengantarku ke tempat-tempat yang aku suka.
Entah mengapa aku sangat suka tamasya dengan becaknya.
Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya.

Malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan.
Aku akan menabur kembang di atas makam nenek moyang.
Kuburan itu cukup jauh jaraknya dan aku khawatir bang becak
akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang tenang tenang.

Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya bercerita
tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta
dan mereka sekarang alhamdulillah sudah jadi orang.
Mereka sangat sibuk dicari uang dan hanya sesekali pulang.
Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di rumah
karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang
buat ongkos pulang ke perantauan.

Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah ngos-ngosan,
batuknya mengamuk, pandang matanya berkunang-kunang,
aduh kasihan. "Biar gantian saya yang menggenjot, Pak.
Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang."

Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan,
sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan mungkin
bermimpi, di dalam becaknya sendiri.

Sampai di kuburan aku berseru bangun dong pak,
tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya.
Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau di atas tubuh
bang becak yang kesepian itu.


2002

Sumber: Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007)

Analisis Puisi:
Puisi "Penumpang Terakhir" karya Joko Pinurbo menghadirkan cerita yang melibatkan seorang penumpang dan seorang becak yang menjalin hubungan yang unik dalam perjalanan mereka. Dalam puisi ini, penulis menggambarkan pengalaman pribadinya yang penuh refleksi tentang kehidupan, kesendirian, dan kematian.

Puisi dimulai dengan narasi bahwa setiap kali pulang kampung, penulis selalu bertemu dengan seorang tukang becak yang menunggu di bawah pohon beringin. Penulis sangat menikmati perjalanan dengan becak tersebut. Ia merasakan kenyamanan dan kehalusan genjotan becak yang membuat perjalanan terasa menyenangkan. Hal ini mungkin disebabkan oleh keahlian sang tukang becak dalam mengayuh becak dengan lancar.

Malam itu, penulis memutuskan untuk pergi ke sebuah kuburan untuk memberikan penghormatan kepada nenek moyangnya dengan menyebarkan bunga di atas makam mereka. Meskipun perjalanan ke kuburan cukup jauh, penulis khawatir bahwa sang tukang becak akan kelelahan. Namun, sang tukang becak memberikan penenangan bahwa ia tidak masalah.

Selama perjalanan, sang tukang becak terus bercerita tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta. Ia menggambarkan kehidupan anak-anaknya yang sibuk mencari nafkah, jarang pulang, dan bahkan ketika pulang, mereka sering tidur di tempat lain karena kesibukan mencari uang, termasuk mencari utang untuk biaya pulang ke tempat kerja mereka.

Setengah perjalanan, sang tukang becak mulai merasa lelah dan kehabisan nafas. Ia mulai batuk-batuk dan pandangannya kabur. Sang penulis, yang prihatin akan kondisi sang tukang becak, menawarkan untuk mengayuh becak agar sang tukang becak bisa istirahat. Sang tukang becak tertidur dalam becaknya dengan nyaman, bahkan mungkin bermimpi.

Ketika mereka akhirnya mencapai kuburan, sang penumpang memanggil sang tukang becak agar bangun. Namun, sang penumpang menemui keheningan yang hanya dijawab dengan tidurnya sang tukang becak yang semakin lelap. Sang penulis tidak tahu apakah ia akan menyebarkan bunga di atas makam nenek moyangnya atau di atas tubuh sang tukang becak yang kesepian.

Puisi ini menggambarkan gambaran tentang kehidupan dan kematian yang dialami oleh manusia. Sang tukang becak, yang merupakan metafora dari manusia biasa, mencerminkan kisah hidup yang penuh dengan perjuangan, kelelahan, dan kesepian. Sementara sang penumpang mewakili eksistensi manusia yang terus mencari makna dan menemui takdir kematian.

Puisi "Penumpang Terakhir" karya Joko Pinurbo mengajak pembaca untuk merenung tentang arti kehidupan, perjalanan pribadi, serta ketidakpastian yang menyertai kita dalam menghadapi kematian. Melalui kisah perjalanan yang sederhana namun sarat makna ini, puisi ini mengajak kita untuk menghargai setiap detik dalam hidup dan mempertimbangkan bagaimana kita ingin dikenang ketika menjadi penumpang terakhir dalam perjalanan hidup ini.

Puisi: Penumpang Terakhir
Puisi: Penumpang Terakhir
Karya: Joko Pinurbo
© Sepenuhnya. All rights reserved.