Puisi: Semata Cahaya (Karya Dimas Arika Mihardja)

Puisi "Semata Cahaya" karya Dimas Arika Mihardja adalah sebuah karya sastra yang memadukan tema-tema spiritualitas, keagamaan, dan perasaan .....
Semata Cahaya


Menit meniti malam, kau berbisik pelan "Tulis puisi untuk aku!" 
Lalu jemari puisi pun menari di cerlang cahaya 
Aku sungguh silau dan terpukau oleh kilau mata merindu
Pada telapak tangan kurasakan denyut hidup
Dan rembulan purnamakan doa-doa semesta.

Dalam gemilang bulan penuh cahaya
Jemari menggelinjang sendiri:
Menggelepar ditampar misteri Ilahi
Seperti baling-baling berputar
Sejarah kembali mendaur ulang ibadah hingga sajadah pun
Basah oleh kilau cahaya.

Setiap kali berkaca pada bening hati kurasa
Dinding-dinding hati bercahaya
Baling-baling iman bercahaya
Ranting-ranting doa bercahaya.
Aku tak kuasa berkata-kata
Tapi terasa lidahku cahaya
Bibirku cahaya. Mataku cahaya.
Pikirku cahaya. Rasaku cahaya.
Jiwaku cahaya. Dinding hatiku cahaya.
Keping rinduku cahaya. Lengking cintaku cahaya!

Ya, Allah pencipta bulan penuh cahaya
Akankah Kaupelihara lidah cahaya ini, bibir cahaya ini,
Mata cahaya ini, pikir cahaya ini, rasa cahaya ini
Jiwa cahaya ini?
Dari hari ke hari kususun batu-batu iman
Hingga dinding-dinding hatiku cahaya.
Dari detik ke menit kususun remah kangenku
Hingga keping rinduku cahaya.
Dari diri berlepotan dosa ini kupekikkan rasa cintaku
Hingga lengking asmaraku cahaya.

Di relung bulan penuh cahaya ini, ya Ilahi Robbi,
Aku saksikan ayat-ayat yang terpahat pada kitab bercahaya
Segala makrifat bercahaya
Segala isyarat bercahaya
Aku pun mandi cahaya
Dalam cahaya benderang kian tampak batin ini berjamur
Kalbu ini dilekati benalu.
Jasad ini berlepotan debu
Darah mengalirkan nafsu.

Bulan penuh cahaya
Membongkar kenyataan-kenyataan yang sangat menyakitkan:
Rinduku pada-Mu begitu mudah dipermainkan angin lalu
Cintaku pada-Mu serasa tak lahir dari rahim Iradat-Mu
Jiwa ini La Ilaha Ilallah fanafanafanafanafana terasa
Raga ini berlepotan noda.

Ya, Allah...
Jangan Kausiksa aku dengan cahaya benderang menyilaukan
Aku tak sanggup menyangga mata yang liar tak terkendali.
Aku tak sanggup menyangga lidah yang menyebar fitnah;
Aku tak sanggup mengolah alam pikir dan dzikir atas ridha-Mu
Rasa dan jiwa berhiaskan pengharapan semu
Sungguh, aku tersiksa oleh terang cahaya-Mu!

Cahaya benderang-Mu, ya Allah,
Telah mempermalukan aku.
Seperti Chairil Anwar, “ Aku hilang bentuk remuk”
“Aku mengembara di negeri asing”
Tapi sayang, “Aku tak bisa berpaling”

Ya, Allah, rasanya aku tak layak berfatwa
Seperti Rabiah Al-Adawiyah yang dengan sikap rendah hati,
Tulus dan tanpa pamrih dalam doanya meminta:
Jika aku berdoa mengharapkan terbukanya pintu sorga, ya Allah
Maka masukkanlah aku di liang neraka hingga neraka penuh oleh dosa-dosaku
dengan begitu orang-orang lain leluasa dapat masuk ke dalam sorga.”

Kini aku benar-benar menggelinjang sendiri
Sendiri dipanggang api cahaya-Mu
Abadi mendekap luka-luka ini.


2010

Analisis Puisi:
Puisi "Semata Cahaya" karya Dimas Arika Mihardja adalah sebuah karya sastra yang memadukan tema-tema spiritualitas, keagamaan, dan perasaan individu yang dalam. Dalam puisi ini, penyair menggambarkan perjalanan spiritual dan keinginan untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan melalui cahaya.

Keinginan Spiritual: Puisi ini dimulai dengan perintah dari seseorang (mungkin orang yang dicintai atau bahkan Tuhan) untuk menulis puisi. Keinginan ini mendorong penyair untuk merangkai kata-kata dalam rangkaian puisi yang indah. Ini mencerminkan dorongan penyair untuk menyampaikan perasaan dan pengalaman spiritual melalui kata-kata.

Simbolisme Cahaya: Cahaya digunakan sebagai simbol penting dalam puisi ini. Cahaya melambangkan iluminasi, pengetahuan, dan kehadiran Tuhan. Penyair merujuk pada cahaya sebagai sesuatu yang mengisi seluruh aspek keberadaan manusia, seperti mata, pikiran, dan jiwa. Penggunaan cahaya sebagai simbol memperkaya makna puisi ini dan menghadirkan dimensi spiritual.

Keterbatasan Manusia dan Kehendak Tuhan: Penyair menunjukkan kesadaran akan keterbatasan manusia dalam mencapai kedekatan dengan Tuhan. Meskipun ada keinginan kuat untuk mencapai pencerahan spiritual, penyair menyadari bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam menghadapi cahaya yang begitu terang dan mencerahkan. Ada rasa rendah hati dan penyesalan atas ketidakmampuan untuk mengatasi terangnya kehadiran Tuhan.

Perbandingan dengan Tokoh-Tokoh Spiritual: Dalam puisi ini, penyair membandingkan dirinya dengan tokoh-tokoh spiritual seperti Chairil Anwar dan Rabiah Al-Adawiyah. Referensi terhadap Chairil Anwar menciptakan perasaan kehilangan diri dan perjalanan yang sulit, sementara referensi terhadap Rabiah Al-Adawiyah menyoroti keinginan penyair untuk mencapai rendah hati dan penyerahan kepada Tuhan dalam pencarian spiritualnya.

Pencarian dan Kesakitan: Puisi ini menciptakan suasana pencarian spiritual yang penuh dengan kesakitan dan pertentangan batin. Penyair merasa tersiksa oleh cahaya ilahi yang begitu terang dan kuat sehingga membuatnya merasa tidak layak dan tak mampu. Meskipun demikian, dorongan untuk mencari keberadaan Tuhan tetap menggelora, dan penyair merangkai kata-kata yang menggambarkan perjalanan batinnya.

Puisi "Semata Cahaya" karya Dimas Arika Mihardja adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan perjalanan spiritual dan pencarian akan kedekatan dengan Tuhan. Melalui simbolisme cahaya, perbandingan dengan tokoh-tokoh spiritual, dan penggunaan bahasa yang mendalam, penyair mengeksplorasi tema-tema seperti keterbatasan manusia, perasaan rendah hati, dan keinginan untuk mencapai iluminasi spiritual. Puisi ini menciptakan suasana yang penuh makna dan emosional, serta mengajak pembaca untuk merenungkan tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan perjalanan spiritual dalam kehidupan.

"Puisi Dimas Arika Mihardja"
Puisi: Semata Cahaya
Karya: Dimas Arika Mihardja
© Sepenuhnya. All rights reserved.