Puisi: Bulan Ruwah (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Bulan Ruwah" menghadirkan perenungan yang dalam tentang kematian, agama, dan pencarian makna kehidupan. Dengan menggunakan gambaran kubur, ...
Bulan Ruwah

Kubur kita terpisah dengan tembok tinggi
Sebab aku punya Tuhan, dia orang kapir.

Di Yaumul-Akhir
roh kita dari kubur
akan keluar berupa kelelawar
dan berebut menyebut nama Allah
dengan cicit suara kehausan darah.

Kita sudah siap dengan daftar tanya:
Tuhan Ya Robbil-alamin!
adakah kau islam atau keristen
apakah kitabmu; kor’an atau injil
apakah bangsamu: seorang Rus, Cina atau Jawa?

Orang Rus itu komunis yang menghina nabi dan agama.
Orang Cina suka makan babi. Itu terang jadi larangan.
Orang Jawa malas sembahyang dan gemar pada mistik.

Apakah bahasamu, apakah warna kulitmu, apakah asalmu?
Apakah kau pakai peci dan sarung pelekat
atau telanjang seperti budak Habsyi hitam pekat
- atau seperti bintang pilem berpotret di kamar mandi?
antara tanda kurung: adakah dia punya Tuhan? -

Daftar tanya kita tandai dengan cakaran hitam
seribu tangan

Tetapi kalau Tuhan tinggal diam seperti tugu

kita akan bertindak desak keputusan:
kita rubuhkan batu bisu
dengan kutuk dan serapah.

Kita kembali bergantung di dahan
dan bermimpi tentang sorga dan Tuhan
yang mirip rupa kita sejak semula:
kelelawar bercicit kehausan darah.

Sumber: Simphoni (1957)

Analisis Puisi:

Puisi "Bulan Ruwah" karya Subagio Sastrowardoyo menghadirkan refleksi mendalam tentang agama, keyakinan, dan pertanyaan eksistensial yang berkaitan dengan kehidupan dan kematian.

Kontras antara Kehidupan dan Kematian: Puisi ini menggambarkan perbedaan antara kehidupan dan kematian. Kubur menjadi metafora bagi kematian, yang dipisahkan oleh "tembok tinggi" dari dunia kehidupan. Namun, dalam kematian, roh muncul dan bertanya-tanya tentang Tuhan dan keyakinan.

Pertanyaan Eksistensial: Penyair mengangkat pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang fundamental. Dalam konteks keabadian, roh-roh yang keluar dari kubur berebut untuk menyebut nama Allah, menyoroti ketidakpastian dan pencarian spiritual yang melingkupi kematian.

Pertentangan Agama dan Identitas: Puisi ini mencerminkan pertentangan antara agama, identitas, dan stereotip. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh roh-roh mencerminkan stereotip dan prasangka terhadap kelompok agama dan etnis tertentu, seperti orang Rus, Cina, dan Jawa.

Penolakan terhadap Kebisuan Tuhan: Penyair mengekspresikan penolakan terhadap kebisuan Tuhan dalam wujud tugu yang diam. Tindakan desakan keputusan terhadap Tuhan menunjukkan rasa frustrasi dan kekecewaan terhadap ketidakjelasan dalam pencarian spiritual.

Imaji Kelelawar: Kelelawar menjadi imaji yang kuat dalam puisi, melambangkan kehausan spiritual dan ketidakpastian dalam mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan keagamaan yang mendalam.

Puisi "Bulan Ruwah" menghadirkan perenungan yang dalam tentang kematian, agama, dan pencarian makna kehidupan. Dengan menggunakan gambaran kubur, kelelawar, dan pertanyaan eksistensial, Subagio Sastrowardoyo mengajak pembaca untuk merenungkan kompleksitas manusia dalam mencari arti hidup dan hubungannya dengan Yang Maha Kuasa. Melalui kontras antara kehidupan dan kematian, puisi ini menyoroti keragaman keyakinan dan tantangan spiritual yang dihadapi oleh manusia dalam perjalanan hidupnya.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Bulan Ruwah
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.