Puisi: Dan Kematian Makin Akrab (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Dan Kematian Makin Akrab" karya Subagio Sastrowardoyo membawa pembaca dalam refleksi tentang arti hidup dan perjumpaan dengan kematian.
Dan Kematian Makin Akrab
(Sebuah Nyanyian Kabung)


Di muka pintu masih
bergantung tanda kabung
Seakan ia tak akan kembali
Memang ia tak kembali
tapi ada yang mereka tak
mengerti - mengapa ia tinggal diam
waktu berpisah. Bahkan tak
ada kesan kesedihan
pada muka
dan mata itu, yang terus
memandang, seakan mau bilang
dengan bangga : - Matiku muda -

Ada baiknya
mati muda dan mengikut
mereka yang gugur sebelum waktunya
Di ujung musim yang mati dulu
bukan yang dirongrong penyakit
tua, melainkan dia
yang berdiri menentang angin
di atas bukit atau dekat pantai
di mana badai mengancam nyawa.
Sebelum umur pahlawan ditanam
di gigir gunung atau di taman-taman
di kota
tempat anak-anak main
layang-layang. Di jam larut
daun ketapang makin lebat berguguran
di luar rencana
Dan kematian jadi akrab, seakan kawan berkelakar
yang mengajak
tertawa - itu bahasa
semesta yang dimengerti -
Berhadapan muka
seperti lewat kaca
bening
Masih dikenal raut muka,
bahkan kelihatan bekas luka
dekat kening
Ia menggapai tangan
di jari melekat cincin
- Lihat, tak ada batas
antara kita. Aku masih
terikat kepada dunia
karena janji karena kenangan
Kematian hanya selaput
gagasan yang gampang diseberangi
Tak ada yang hilang dalam
perpisahan, semua
pulih
juga angan-angan dan selera
keisengan -

Di ujung musim
dinding batas bertumbangan
dan
kematian makin akrab.
Sekali waktu bocah
cilik tak lagi
sedih karena layang-layangnya
robek atau hilang
- Lihat, bu, aku tak menangis
sebab aku bisa terbang sendiri
dengan sayap
ke langit –



Sumber: Daerah Perbatasan (1970)
Pernah dimuat di Horison (Februari, 1967)

Analisis Puisi:
Puisi "Dan Kematian Makin Akrab" karya Subagio Sastrowardoyo menciptakan suatu wacana tentang kematian yang didekati dengan kedamaian dan keterikatan hidup yang tak terputus. Penyair merangkai kata-kata dengan puitis, membawa pembaca dalam refleksi tentang arti hidup dan perjumpaan dengan kematian.

Pendahuluan dengan Tanda Kabung: Puisi dimulai dengan gambaran pintu yang masih bergantung tanda kabung, menciptakan atmosfer kesedihan dan perpisahan. Meskipun demikian, penyair menyoroti keheningan dan ketenangan pada wajah yang tak menunjukkan kesedihan saat berpisah.

Pertanyaan tentang Kematian yang Diam: Penyair menunjukkan kebingungan mereka yang ditinggalkan karena ketidakpahaman terhadap kematian yang dihadapi dengan diam. Walaupun tak ada kesan kesedihan, mata yang memandang tampak penuh dengan makna, mengisyaratkan kebanggaan akan kepergian yang "muda."

Kematian Sebagai Pilihan Berani: Puisi menyampaikan bahwa mati muda dan mengikuti mereka yang gugur sebelum waktunya adalah suatu pilihan berani. Ini dapat dimaknai sebagai perjuangan hidup yang berani menghadapi tantangan dan risiko, seakan berdiri menentang angin di atas bukit atau dekat pantai yang penuh badai.

Keterikatan Kehidupan dan Kematian: Penyair menggambarkan keterikatan antara kehidupan dan kematian, di mana kematian menjadi sesuatu yang akrab. Raut muka yang masih dikenal dan bekas luka di dekat kening menggarisbawahi hubungan yang tak terputus antara yang hidup dan yang mati.

Janji dan Kenangan sebagai Keterikatan Terhadap Dunia: Puisi menyinggung janji dan kenangan sebagai ikatan penyair terhadap dunia. Meskipun kematian hanya selaput gagasan yang bisa diatasi, janji dan kenangan tetap terikat, menciptakan hubungan yang tak terputus antara hidup dan mati.

Kematian Sebagai Selaput Gagasan: Kematian disajikan sebagai selaput gagasan yang mudah diatasi, menunjukkan pandangan penyair terhadap kematian sebagai sesuatu yang alami dan tak perlu ditakuti. Kematian dihadapi dengan kelegaan, tanpa kehilangan yang sebenarnya dalam perpisahan.

Menghapus Kesedihan dengan Terbang Bebas: Bait terakhir menggambarkan bahwa di ujung musim, dinding batas bertumbangan, dan kematian menjadi semakin akrab. Seorang anak kecil yang tak lagi sedih atas kehilangan layang-layangnya menyiratkan pemahaman yang tulus terhadap kebebasan yang diberikan oleh kematian. Terbang bebas dengan sayap ke langit menjadi lambang kebebasan dari segala kesedihan dan keterbatasan hidup.

Bahasa yang Penuh dengan Simbolisme dan Imajinasi: Penyair menggunakan bahasa yang kaya akan simbolisme dan imajinasi, menciptakan suasana yang memikat dan mendalam. Pilihan kata-kata seperti "layang-layang robek," "matiku muda," dan "sayap ke langit" membentuk gambaran yang kuat dan memberikan makna mendalam.

Puisi "Dan Kematian Makin Akrab" karya Subagio Sastrowardoyo menghadirkan pandangan yang tulus dan tenang terhadap kematian. Puisi ini merangkai kata-kata dengan indah untuk menggambarkan keterikatan hidup dan kematian, serta harapan terbang bebas dari segala keterbatasan. Melalui bahasa yang puitis dan imajinatif, penyair berhasil menciptakan suatu karya sastra yang mengundang pembaca untuk merenung dan memahami makna hidup dan perjumpaan dengan kematian.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Dan Kematian Makin Akrab
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.