Puisi: Simfoni (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Simfoni" karya Subagio Sastrowardoyo menciptakan suatu perjalanan ke dalam keraguan manusia terhadap nilai-nilai dan arah perkembangan zaman.
Simfoni (1)
(1957)


Aku menunggu suara murni
dalam nada sebuah simfoni
bisaku hanya menunggu
sedang malam sudah larut sekali.


Simfoni (2)


"Aku tidak bermain bagi babi-babi!"
gerutu Beethoven.

Kita yang berdiri di tengah abad
di bilang dua puluh

dan menyangka hari-jadi
telah tertinggal jauh

makin samar:
mana asal, mana kejadian
mana jumlah, mana kadar

makin samar:
mana mulia, mana hina
mana kemajuan, mana kemunduran.

Katakanlah,
adakah kemajuan
kalau kita lebih banyak mendirikan
bank dan ruang gudang
dari kuil atau masjid

Kalau kita lebih menimbang kasih orang
dengan uang dari hati
kalau kita lebih percaya kepada barang
dari bayang – Atau kemunduran? –

Katakanlah
mana lebih mulia:
kepala atau kaki
sifat ilahi atau alat kelamin
Semua melata di bidang demokrasi.

Mana lebih dulu:
Tuhan atau aku
Dia tak terbayang
kalau aku tak berangan.
Tuhan dan aku saling berdahulu
seperti ayam dengan telur
Siapa dulu?

Siapa manusia pertama:
Adam, Kayumerz atau Manu
Kitab mana yang harus dipercayai:
Quran, Avesta atau Weda Hindu.

Kapan dunia ini bermula:
di Firdaus, di Walhalla atau Jambudwipa.
Mengapa tidak di sini, di waktu ini
dan lahir seorang adam di setiap detik dan tempat
dan terdengar Kalam Tuhan di setiap sudut di darat?

Aku juga adam
yang terusir dari firdaus
karena dosa, karena kelemahan
karena goda perempuan.

Dunia berhenti dan
bermula lagi.

Mana lebih kekal:
Tubuh atau nyawa
Mana lebih haram:
Benda atau cita
Mana lebih keramat:
Angka atau makna

Makna itu keramat
karena tersimpan di hakikat.
Juga angka.
Meski jarang lagi
yang gemetar melihat angka
Gasal: tiga, tujuh
atau tiga belas
yang tersurat pada dada
tanda jasad.

Angka ganjil, angka keramat.
Ganjil seperti letak empu
terselit di antara jari.
Ganjil seperti puncak gereja
yang menunjuk ke arah mega.

Penglihatan ini makin samar.
Makin samar.


Sumber: Simfoni Dua (1990)

Analisis Puisi:
Puisi "Simfoni" karya Subagio Sastrowardoyo menciptakan suatu perjalanan ke dalam keraguan manusia terhadap nilai-nilai dan arah perkembangan zaman. Dengan menggunakan simbol-simbol dan pertanyaan-pertanyaan filosofis, penyair mengajak pembaca merenung tentang arti kehidupan.

Simfoni Pertama, Menunggu Suara Murni dalam Malam yang Larut: Penyair menggambarkan dirinya menunggu suara murni dalam simfoni, menciptakan gambaran keheningan malam yang telah larut. Hal ini dapat diartikan sebagai pencarian makna atau kejelasan dalam kehidupan yang makin mendalam dan rumit.

Simfoni Kedua, Keraguan Terhadap Kemajuan Zaman: Puisi menghadirkan suara Beethoven yang menggerutu, mengeksplorasi keraguan terhadap kemajuan zaman. Penyair merenungkan tentang kebingungan kita di abad ke-20, di mana segala sesuatu terasa semakin samar dan sulit untuk diidentifikasi. Pertanyaan-pertanyaan filosofis muncul tentang asal-usul, kejadian, jumlah, kadar, kehormatan, kemunduran, dan makna.

Pertanyaan Filosofis yang Merambah Pemikiran Keberagaman dan Keyakinan: Penyair membawa pembaca pada serangkaian pertanyaan filosofis tentang manusia, Tuhan, kitab suci, awal mula dunia, dan kekekalan. Puisi merentangkan pemikiran dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial hingga pertanyaan yang mencoba menemukan kebenaran dalam keberagaman keyakinan dan pandangan dunia.

Perbandingan Antara Tubuh dan Nyawa, Benda dan Cita, Angka dan Makna: Puisi mengeksplorasi perbandingan antara elemen-elemen fisik dan abstrak dalam kehidupan, seperti tubuh dan nyawa, benda dan cita, serta angka dan makna. Pertanyaan-pertanyaan ini menciptakan refleksi mendalam tentang esensi kehidupan dan hakikat eksistensi.

Angka Ganjil Sebagai Simbol Kekeramatan dan Kerohanian: Penyair menghadirkan konsep angka ganjil sebagai simbol kekeramatan dan kerohanian. Angka-angka ganjil menjadi tanda kehadiran hal-hal keramat dalam kehidupan manusia. Keberadaan simbol ini menunjukkan bahwa dalam keganjilan terdapat kerahasiaan dan kekeramatan yang melekat pada setiap aspek kehidupan.

Samaran Penglihatan dan Keterbatasan Manusia: Puisi mencapai puncaknya dengan menyatakan bahwa penglihatan semakin samar, menciptakan gambaran keterbatasan manusia dalam melihat dan memahami kebenaran. Ini mencerminkan kebingungan dan ketidakjelasan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis yang diajukan sepanjang puisi.

Bahasa yang Penuh dengan Simbolisme dan Tanya-Tanya Filosofis: Puisi ini memanfaatkan bahasa yang kaya akan simbolisme dan tanya-tanya filosofis. Setiap bait diisi dengan pertanyaan-pertanyaan yang merangsang pemikiran, mengundang pembaca untuk merenungkan makna hidup dan keraguan yang menyertainya.

Puisi "Simfoni" karya Subagio Sastrowardoyo membentuk harmoni tanya-tanya filosofis dalam melodi kehidupan. Puisi ini menggambarkan kebingungan dan keraguan manusia dalam mencari makna dan arah dalam kehidupan yang semakin kompleks. Melalui simbolisme dan bahasa yang penuh tanda tanya, penyair membuka pintu untuk refleksi dan kontemplasi tentang eksistensi manusia di tengah-tengah kebimbangan dan keraguan.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Simfoni
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.