Puisi: Dewa Telah Mati (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Dewa Telah Mati" menyoroti kehampaan spiritual dan kegelapan yang melingkupi alam dan kehidupan manusia. Dengan imaji yang kuat dan bahasa ...
Dewa Telah Mati

Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang mengitari bangkai
pertapa yang terbunuh dekat kuil.

Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut
pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri.

Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
ke rawa-rawa mesum ini
dan membunuhnya pagi hari.

Sumber: Simfoni Dua (1990)

Analisis Puisi:

Puisi "Dewa Telah Mati" karya Subagio Sastrowardoyo adalah sebuah karya yang menggambarkan keadaan alam dan spiritualitas yang terdistorsi. Dengan bahasa yang kuat dan imaji yang tajam, puisi ini menggambarkan sebuah realitas yang keras dan penuh kegelapan.

Kematian Dewa dan Kesunyian Alam: Puisi ini menciptakan gambaran alam yang sunyi dan tandus dengan mengumumkan kematian dewa-dewa yang dikaitkan dengan alam. Ketika penyair menyatakan bahwa "Tak ada dewa di rawa-rawa ini", ia menyoroti kekosongan spiritual dan kehilangan makna yang menggantung di sekitar lingkungan alam yang tidak bersahabat.

Imaji Kegelapan dan Kehancuran: Puisi ini dibanjiri dengan imaji kegelapan dan kehancuran. Gagak yang mengakak malam hari, bangkai pertapa yang terbunuh dekat kuil, dan ular yang mendesir dekat sumber air menciptakan suasana yang mencekam dan menyiratkan adanya ketidakseimbangan alam yang mengerikan.

Kesendirian dan Kehampaan Spiritual: Dengan menyatakan bahwa "Dewa telah mati di tepi-tepi ini", puisi ini menyoroti kekosongan spiritual yang menggantikan kehadiran dewa-dewa yang telah mati. Kesendirian dan kehampaan spiritual terasa melalui gambaran ular yang minum dari mulut pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri.

Metafora Alam dan Kehidupan Manusia: Puisi ini menggunakan alam sebagai metafora untuk menggambarkan kehidupan manusia dan kondisi spiritualnya. Bumi yang digambarkan sebagai "perempuan jalang" mencerminkan kegilaan dan kegelapan yang mewarnai hubungan manusia dengan alam dan spiritualitasnya.

Ketidakmampuan untuk Menemukan Makna: Penyair menyajikan alam sebagai tempat kehampaan dan ketidakmampuan untuk menemukan makna. Kehidupan dan kematian tampak tidak berarti, dan keberadaan manusia dan alam di dalam puisi ini terasa terputus dari roh dan makna yang lebih dalam.

Puisi "Dewa Telah Mati" merupakan sebuah puisi yang menyoroti kehampaan spiritual dan kegelapan yang melingkupi alam dan kehidupan manusia. Dengan imaji yang kuat dan bahasa yang tajam, Subagio Sastrowardoyo berhasil menciptakan sebuah gambaran yang mencekam tentang kekosongan spiritual dan kematian makna di dalam dunia yang keras dan tandus. Puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan hubungan manusia dengan alam dan spiritualitasnya, serta menimbulkan pertanyaan tentang arti dan tujuan kehidupan.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Dewa Telah Mati
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.