Puisi: Ketika Hujan Turun Selalu (Karya Eka Budianta)

Puisi "Ketika Hujan Turun Selalu" menyajikan gambaran yang kompleks dan penuh dengan pertanyaan tentang kehidupan, cinta, dan keadilan.
Ketika Hujan Turun Selalu

Begitu banyak biola, begitu banyak piano dan seruling
Menyayat-nyanyat Februari tanpa kamu
Tapi di Ambon, api dan peluru - entah dari mana datangnya -
Membakar langit Maluku, bikin kemesraan jadi aneh
Cinta jadi lelucon dan keadilan omong kosong
Karena kamu dan aku tak ada di sana
Karena kamu dan aku hilang di antara musik dunia.

Sedang apa kamu di Los Angeles, Bogor, atau Tokyo
Ketika aku dan burung-burung itu terbang dalam hujan
Ketika tutur dan dendam menyobek-nyobek Indonesia?
Kebebasan telah membuat kami bodoh dan garang
Mengutuk, mengecam, mengganyang, menutup hati
Para tamu pergi dari negeri ini, yang tak sama mengungsi
Orang-orang tua bertanya, "Kapan hujan reda?"

Aku dan kamu mencoba tetap hidup dalam sajak
Meskipun aku tak yakin apakah kita bakal ketemu lagi
Apakah piano, biola, dan seruling yang mengiris-iris itu
Akan menyatukan serpih-serpih hati kita, entah kapan,
Entah di mana, dan entah siapa yang sanggup melihatnya.
Kita telah jadi korban ketidak-jujuran, puing sandiwara
Ketika aku tak menemukan lagi kaitan perang dan cinta.

2000

Sumber: Masih bersama Langit (2000)

Analisis Puisi:
Puisi "Ketika Hujan Turun Selalu" karya Eka Budianta menggambarkan gambaran keadaan yang rumit dan penuh pertanyaan dalam suasana yang gelap dan melankolis.

Simbolisme Hujan: Hujan dalam puisi ini bukan hanya fenomena alam, tetapi juga menjadi simbol perubahan, kesedihan, dan pertanyaan yang menghantui. Hujan turun selalu, mengingatkan akan keadaan yang sulit dan terus menerus dalam kehidupan.

Kontras Antara Musik dan Realitas: Puisi ini menampilkan kontras antara keindahan musik (biola, piano, seruling) dengan realitas pahit yang terjadi di Ambon. Musik yang seharusnya menjadi ekspresi keindahan dan cinta, malah menjadi terdengar aneh dan kejam di tengah-tengah kebakaran dan kekerasan di Maluku.

Kehilangan dan Pertanyaan yang Tidak Terjawab: Puisi ini juga menyoroti perasaan kehilangan dan kebingungan atas keadaan yang sulit dipahami. Kehilangan atas hubungan yang terputus dan kehilangan arah dalam kehidupan dituangkan melalui pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.

Kritik terhadap Kekerasan dan Kebodohan: Melalui gambaran keadaan di Ambon, puisi ini juga menyampaikan kritik terhadap kekerasan, kebodohan, dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Kebebasan yang seharusnya membawa kedamaian malah membuat orang menjadi bodoh dan kejam.

Harapan dan Kekhawatiran akan Pertemuan Kembali: Meskipun terdapat ketidakpastian akan pertemuan kembali antara "aku" dan "kamu", tetapi masih terdapat harapan bahwa mereka dapat tetap hidup dan bertahan melalui puisi. Namun, ketidakpastian ini juga menyiratkan keputusasaan atas kesulitan mencari makna dalam perang dan cinta.

Gelapnya Realitas dan Sandiwara Kehidupan: Puisi ini menggambarkan realitas yang gelap dan penuh dengan sandiwara. Perang dan cinta, dua hal yang seharusnya bertentangan, malah menjadi sulit untuk dipisahkan, dan membuat "aku" tidak dapat menemukan kaitannya.

Puisi "Ketika Hujan Turun Selalu" menyajikan gambaran yang kompleks dan penuh dengan pertanyaan tentang kehidupan, cinta, dan keadilan. Dengan menggunakan gambaran hujan sebagai simbol, puisi ini menggambarkan keadaan yang sulit dipahami dan gelap, tetapi juga menyisipkan harapan akan kemungkinan bertahan dan menemukan arti dalam kehidupan yang rumit ini.

Puisi: Ketika Hujan Turun Selalu
Puisi: Ketika Hujan Turun Selalu
Karya: Eka Budianta

Biodata Eka Budianta:
  • Christophorus Apolinaris Eka Budianta Martoredjo.
  • Eka Budianta lahir pada tanggal 1 Februari 1956 di Ngimbang, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.