Puisi: Requiem (Karya Iwan Simatupang)

Puisi: Requiem Karya: Iwan Simatupang
Requiem
(Mengenang manusia perang I.H. Simandjuntak: Let., bunuh diri!)

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah

Sejak kau pergi, prajurit-kematian,
kami berkesulitan menghalau gagak-gagak
ingin berhinggapan di lembah kami
dan berseru seharian dalam suatu lagu
yang bikin kami pada bergelisahan

Langit kami kini bertambah mendung
bukan oleh arakan mega yang bawa rintik-rintik
tapi oleh kawanan gagak
yang kian tutupi celah-celah terakhir
dari kebiruan langit jernih
dan kecuacaan mentari

Kawan
kami kini memikirkan
pengerahan gadis-gadis dan orang tua kami
untuk menghunus segala tombak dan keris hiasan
yang berpacakan di dinding ruang-ruang tamu kami
sebab
sejak kau pergi
pemuda-pemuda gembala dan petani kami
berlomba-lomba meninggalkan lembah
dan pergi lari ke kota
jadi penunggu taman-taman pahlawan
atau pembongkar mayat-mayat

Saksikanlah
di sini ada tantangan dari suatu kemuraman
yang ingin pudarkan segala irama dan kehijauan
dengar
di sini ada kesediaan dari nafas demi nafas
yang ingin pertahankan keluasaan jantung berdetak
dalam deretan detik demi detik

Tidak kawan
kami tiada akan mencari pelarian kami
ke dunia tempat mantera berserakan
walau kami tahu
bahwa mantera ditakuti gagak-gagak
dan akan buat langit kami
kembali cerlang

Kami benci mantera-mantera
kami benci semua yang bukan datang
dari kelenjar dan darah kami
sebab kami tahu
kekuatan yang dalam tanggapan
adalah jua kelemahan

Tidak kawan
kami akan tantang pertarungan ini
tanpa sikap dan gita kepahlawanan
sebab kami tahu
pahlawan berkehunian
bukan di bumi ini.

Kami tiada berani ramalkan
kesudahan dari pertarungan ini
kebenaran bukan lagi dalam
ramal, tenung ataupun renung

Tapi
andaikata lembah kami
menjadi lembah dari gagak-gagak
dan belulang kami mereka jadikan
bagian dari sarang-sarang mereka
ketahuilah
di sini telah rebah
manusia-manusia yang tiada akan
memikul tanda-tanda tanya lagi

Tapi
andaikata gagak dapat kami tiwaskan satu demi satu
dan haruman langit dapat kami hirup dengan luasa kembali
o, kegembiraan kami tiada akan kami unjukkan
dengan sesaat pun jatuh bertiarap di puncak bukit-bukit
kami
sambil menatap kerinduan ke udara kosong
dan membacakan mantera-mantera ...

Pun tiada akan kami kutuki
pemuda-pemuda kami yang lari ke kota
mencari kegemuruhan dalam menunggui kelengangan
sebab
kami mengibai semua mereka
yang tiada tahu dengan diri
pada kesampaian di tiap perbatasan

Inilah langkah pertama kami
kepenginjakan suatu bumi baru
di mana kami bukan lagi tapal
dari kelampauan dan keakanan
tapi
kamilah kelampauan dan keakanan!

Inilah tarikan-nafas kami yang pertama
dalam penghirupan udara di suatu jagat baru
di mana nilai-nilai ketakberhinggaan
bukan lagi terletak dalam
ramal, tenung ataupun renung
tapi:
dalam kesegaran dan keserta-mertaan!

Aku tiada dapat katakan
apakah pergimu pada fajar atau senja
aku hanya tahu
kau pergi berlangit merah mencerah,
pahlawan!

Surabaya, 29 Januari 1953

Sumber: Ziarah Malam (1993)

Analisis Puisi:

Puisi "Requiem" karya Iwan Simatupang menghadirkan gambaran yang kuat dan puitis tentang perginya seorang pahlawan dan dampaknya terhadap masyarakat.

Makna Judul "Requiem": Judul puisi "Requiem" sendiri merujuk pada komposisi musik atau upacara keagamaan yang dipakai untuk menghormati atau mendoakan orang yang meninggal. Hal ini mengisyaratkan bahwa puisi ini adalah suatu penghormatan terhadap pahlawan yang telah meninggalkan dunia.

Pergi Berlangit Merah Mencerah: Puisi membuka dengan deskripsi pergi pahlawan "berlangit merah mencerah." Bahasa ini menunjukkan penghormatan dan keagungan terhadap kepergian pahlawan. Langit merah menciptakan gambaran yang indah namun sarat dengan makna kepergian yang mendalam.

Gagak sebagai Simbol Kematian: Gagak di dalam puisi ini dijadikan simbol kematian dan kerumitan yang menghadang. Mereka menjadi perwujudan dari kemuraman dan tantangan yang harus dihadapi masyarakat sejak kepergian sang pahlawan.

Kepergian Pahlawan dan Dampaknya: Kepergian sang pahlawan memberikan dampak besar pada masyarakat. Gagak-gagak yang melambangkan kematian dan kesulitan mulai menghampiri, dan kehidupan menjadi sulit dan gelisah. Pahlawan adalah pelindung, dan tanpa kehadirannya, masyarakat merasa kehilangan perlindungan.

Tantangan dan Pertarungan Masyarakat: Puisi menggambarkan tantangan yang dihadapi masyarakat setelah kepergian sang pahlawan. Mereka harus menghadapi perubahan dan kesulitan tanpa kehadiran pahlawan yang selama ini menjadi panutan dan pelindung.

Penolakan terhadap Mantera: Puisi mengekspresikan penolakan terhadap mantera-mantera dan jalan pintas. Masyarakat menolak untuk mencari pelarian dalam ramalan atau kebijaksanaan yang bukan berasal dari kekuatan internal dan keberanian mereka sendiri.

Langkah Pertama Menuju Kebebasan: Puisi menyiratkan bahwa masyarakat bersatu dan bersiap untuk langkah pertama menuju kebebasan. Mereka tidak lagi menjadi "tapal" atau pelengkap belaka, melainkan menjadi pionir perubahan dan kelampauan yang baru.

Kemandirian dan Kesejatian: Pesan kunci dalam puisi ini adalah tentang kemandirian dan kesejatian. Masyarakat tidak lagi mengibai diri mereka sendiri atau mengharapkan keajaiban dari luar, tetapi mengandalkan kekuatan internal mereka untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Dengan menggunakan gambaran-gambaran alam, simbolisme yang kaya, dan bahasa yang indah, Iwan Simatupang berhasil merangkai puisi yang tidak hanya menyampaikan kesedihan akan kepergian pahlawan, tetapi juga membangkitkan semangat perlawanan dan perubahan dalam masyarakat.

Iwan Simatupang
Puisi: Requiem
Karya: Iwan Simatupang

Biodata Iwan Simatupang:
  • Iwan Simatupang (Iwan Maratua Dongan Simatupang) lahir pada tanggal 18 Januari 1928 di Sibolga, Sumatera Utara.
  • Iwan Simatupang meninggal dunia pada tanggal 4 Agustus 1970 di Jakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.