Puisi: Dari Didong Hingga Saluang (Karya Mustafa Ismail)

Puisi "Dari Didong Hingga Saluang" menggambarkan kekayaan budaya, spiritualitas, dan hubungan manusia dalam konteks kehidupan Minangkabau.
Dari Didong Hingga Saluang

Di sepanjang jalan, kau membentangkan hijau hutan,
suara azan dari surau yang menyusul syair puji-pujian dari
diniyyah putri, cahaya bermekaran di kegelapan

menyala dari rumah-rumah gadang, di setiap tikungan,
ditingkahi bansi, saluang, gendang tabuik, hingga serunai
kita memanjatkan doa, katamu, kepada Tuhan Yang Satu

aku berdiri di belakang rumahmu, sambil membayangkan:
puisi seperti kembang api yang meledak di kabut gunung
menggantikan kokok ayam di kampung-kampung

pagi itu, aku menghadap ke Gunung Tandikek:
melihat seorang petarung mendaki dengan kaki telanjang
“aku adalah pijar-pijar lava di gunung api,” katanya.

setiap sore, kau membentangkan almanak dan menandai
satu per satu angkanya
ini adalah jalan kesunyian, katamu, hanya kekal di kegelapan

kita sempat bercakap sambil bermain bola di pagi buta
tentang pohon-pohon kopi yang tumbuh di rambutmu
mengekalkan syair didong, pmtoh, hingga seudati

terkadang di ujung malam, kau berdendang mirip seorang
pertapa yang merintihkan pepongoten di bebesan
tapi kadang mirip syeh seudati dari kampung usi

seperti laron, beranda selalu penuh coretan,
koran-koran tua, juga huruf-huruf yang bergerombol,
bermain petak-umpet dan menggigil di jendela

“kami adalah jalan berliku di Lubuak Aluang hingga
Lembah Anai dan Gua Batu Batirai,” katamu.
“Kau adalah perantau yang sekuat bakau.”

di kampung jambak, aku selalu melihat didong dan seudati
dimainkan dalam iringan bansi dan saluang,
dan kau menjadi teungku yang dipanggil engku!

Depok, Maret 2018

Analisis Puisi:
Puisi "Dari Didong Hingga Saluang" karya Mustafa Ismail adalah sebuah perjalanan emosional dan spiritual melalui lanskap budaya Minangkabau yang kaya dan beragam.

Penggambaran Budaya Minangkabau: Puisi ini mempersembahkan gambaran yang kaya akan budaya Minangkabau, dengan referensi yang khas seperti rumah gadang, bunyi-bunyian tradisional seperti bansi, saluang, gendang tabuik, dan serunai. Ini menciptakan suasana yang khas dan otentik, memperkuat rasa keberadaan budaya dan tradisi dalam kehidupan sehari-hari.

Hubungan dengan Alam: Puisi ini mengeksplorasi hubungan manusia dengan alam dan lingkungan sekitarnya. Penggambaran hutan hijau, gunung, dan pohon kopi yang tumbuh di rambut menciptakan gambaran alam yang subur dan mempesona. Melalui kata-kata ini, pembaca diundang untuk merenungkan hubungan manusia dengan alam dan keindahannya.

Spiritualitas dan Keyakinan: Ada elemen spiritualitas yang kuat dalam puisi ini, tercermin dalam doa-doa, pertapaan, dan pertemuan dengan petarung yang menggambarkan dirinya sebagai pijar-pijar lava di gunung api. Ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang Minangkabau masih sangat terikat dengan nilai-nilai spiritual dan keyakinan yang mendalam.

Kehangatan Hubungan Manusia: Meskipun puisi ini mencerminkan kesendirian dan kegelapan, ada juga gambaran kehangatan dalam hubungan antarmanusia. Pembicara dan tokoh utama dalam puisi ini memiliki hubungan yang erat dan saling mendukung, menciptakan suasana persaudaraan dan kebersamaan yang menguatkan.

Kesenian dan Identitas: Puisi ini merayakan seni dan kebudayaan Minangkabau, dengan menyebutkan pertunjukan didong dan seudati yang merupakan bagian integral dari identitas budaya Minangkabau. Ini menyoroti pentingnya kesenian dalam mempertahankan dan menyebarkan warisan budaya.

Dengan demikian, puisi "Dari Didong Hingga Saluang" adalah sebuah karya yang menggambarkan kekayaan budaya, spiritualitas, dan hubungan manusia dalam konteks kehidupan Minangkabau. Melalui bahasa yang indah dan gambaran yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai budaya dan alam semesta yang melingkupi kehidupan manusia.

Puisi
Puisi: Dari Didong Hingga Saluang
Karya: Mustafa Ismail
© Sepenuhnya. All rights reserved.