Puisi: Awas (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Awas" menegaskan bahwa bahkan dalam keterbatasan dan ancaman, puisi tetap menjadi suara yang tak bisa diredam dan mampu bertahan dalam ...
Awas


“jangan tulis puisi!”
kau acungkan moncong basoka
ke wajah yang luka
tetapi puisi menjelma tenda
tempat pergi dan pulang merdeka

“jangan tulis puisi!”
kau cabut kuku jemarinya
lidah cedal dan tangan terkulai
tetapi puisi terus mengeraskan tangan
tidak mau berhenti untuk melawan

“jangan tulis puisi!”
tidak ada moncong basoka
tidak juga kau cabut kuku jemarinya
tetapi setiap puisi kau awasi
dengan senyum mata begitu pucatpasi

airmata di pipi
mengurai ngeri
teringat luka
tambah menganga.

Yogyakarta, 11 September 20

Analisis Puisi:
Puisi "Awas" karya Abdul Wachid B. S. menghadirkan gambaran yang kuat tentang penindasan terhadap ekspresi dan kebebasan berbicara, khususnya dalam konteks karya seni seperti puisi.

Penindasan dan Ancaman: Puisi ini dimulai dengan peringatan keras "jangan tulis puisi!" yang diikuti oleh gambaran moncong basoka, sebuah senjata yang menciptakan atmosfer ancaman dan penindasan terhadap karya seni.

Personifikasi Puisi: Puisi digambarkan sebagai sesuatu yang "menjelma tenda, tempat pergi dan pulang merdeka." Personifikasi ini memberikan kesan bahwa puisi adalah tempat perlindungan dan kebebasan, bahkan di tengah ancaman dan penindasan.

Penolakan dan Perlawanan: Meskipun dihadapkan pada larangan dan ancaman, puisi tetap menunjukkan sikap penolakan dan perlawanan. Dengan cara yang puitis, puisi digambarkan sebagai sesuatu yang "terus mengeraskan tangan" dan "tidak mau berhenti untuk melawan." Ini merujuk pada kekuatan puisi dalam mengekspresikan diri dan menentang penindasan.

Bentuk dan Eksistensi Puisi: Puisi mengeksplorasi bentuk puisi itu sendiri sebagai medium perlawanan. Bahkan tanpa moncong basoka atau cabutan kuku jemari, puisi tetap "mengeraskan tangan" dan menjadi alat melawan ketidakadilan.

Peran Senyum: Senyum mata yang pucatpasi menjadi elemen misterius dalam puisi ini. Senyum ini mungkin mencerminkan sikap meremehkan atau mengawasi yang dilakukan oleh pihak yang melarang puisi. Pucatpasi menyiratkan ketidakberdayaan atau kelemahan dalam melawan puisi.

Imaji Airmata dan Luka: Penggunaan imaji airmata dan luka menyiratkan dampak emosional dari penindasan tersebut. Airmata yang mengurai ngeri dan luka yang menganga menciptakan citra kepedihan dan penderitaan.

Efek Terhadap Pembuat Puisi: Puisi ini menciptakan kesan bahwa larangan tersebut memunculkan efek emosional pada pembuat puisi, terlihat dari "airmata di pipi" dan "teringat luka." Hal ini menunjukkan bahwa pembuat puisi merasakan dan mengalami dampak dari larangan tersebut.

Pemberdayaan Puisi: Secara keseluruhan, puisi ini menggambarkan kekuatan puisi untuk memberdayakan dirinya sendiri dan menjadi alat perlawanan terhadap penindasan. Walaupun diawasi dan dihantui oleh senyum pucatpasi, puisi tetap menjadi medium yang kuat dan tahan terhadap upaya pembungkaman.

Puisi "Awas" bukan hanya puisi tentang larangan menulis, tetapi juga sebuah pernyataan tentang kekuatan dan keberanian seni dalam menghadapi penindasan. Puisi ini menegaskan bahwa bahkan dalam keterbatasan dan ancaman, puisi tetap menjadi suara yang tak bisa diredam dan mampu bertahan dalam perlawanan terhadap ketidakadilan.

Puisi
Puisi: Awas
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.