Puisi: Lapar, Dahaga, Bianglala (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Lapar, Dahaga, Bianglala" menghadirkan perjalanan spiritual yang mengharukan, di mana penyair menghadapi penderitaan dan kehausan, namun ....
Lapar, Dahaga, Bianglala

Selain lapar dan dahaga
Selain derita dan nestapa
Apa yang kuperoleh dari masokisme ini
Apa yang kuraih selain perih ini?

Aku tarawih tak berasa tarawih
Aku tadarus tak menggerus rakus yang lebih
Aku jamaah subuh tak ngurangi maksiat kambuh
Aku dengan keakuan yang tak sembuh-sembuh

Aku shalat lalu sujud
Tapi pikiran dan perasaanku saling berebut
Meminta ruang untuk dimanjakan
Meminta waktu untuk pesta perayaan
 
Aku begitu gembira
Lebaran sebentar lagi tiba
Kesakitan-kesakitan badan dan jiwa
Akan jadi merdeka

Tetapi, tetapi di sudut sunyi ruhani
Di dalam lapis hati yang paling inti
Ada seorang ibu tua serba putih
Kepadaku ibu itu menagih

"Anakku, betapa gerimis senja
Tatkala engkau berdiri di jendela
Tubuh mungilmu kuseka dengan airmata
Engkau pernah bertanya"

"Ibu, kenapa aku harus lapar dan dahaga
Sedang gerimis senja itu tak pernah dahaga
Sedang tanah ini tak pernah lapar
Sedang hujan siapkan makanan air menghantar?"

"Anakku, dalam lapar dan dahaga yang sempurna
Kelak engkau akan mampu terbang ke sana
Meniti tangga-tangga bianglala
Dan bidadari yang berterbangan itu akan menyambutmu di surga."

Dan kini barulah kungerti
Di tiap lapis-lapis bianglala hidup ini
Ada lapar dan dahaganya sendiri
Yang meminta diri untuk menahan diri

Hingga kelak
Aku tersungkur
Dan hanya
Memeluk bianglala.

Yogyakarta, 7 September 2010

Analisis Puisi:

Puisi "Lapar, Dahaga, Bianglala" menggambarkan perjalanan spiritual seseorang dalam menghadapi penderitaan dan kehendak diri yang terus-menerus.

Derita dan Pertanyaan yang Terus Berkecamuk: 
Penyair menggambarkan pengalaman derita, lapar, dan dahaga secara fisik dan spiritual. Penderitaan ini tidak hanya berupa kekurangan materi, tetapi juga mencakup kehausan akan makna dan pemenuhan ruhani.

Keberadaan Spiritual dalam Amalan Ritual: Meskipun penyair menjalani serangkaian amalan ritual, seperti tarawih, tadarus, dan shalat, ia merasa bahwa kehadiran spiritualnya terbagi-bagi. Meski melakukan ibadah, pikiran dan perasaannya masih dipenuhi oleh keinginan duniawi.

Pertemuan Spiritual dengan Ibunda: Dalam kedalaman hati yang sunyi, penyair berjumpa dengan representasi spiritual ibunya. Ibunda menegaskan bahwa lapar dan dahaga adalah bagian dari perjalanan menuju puncak spiritual. Ini merupakan perwujudan kebijaksanaan dan pengajaran spiritual yang mendalam.

Simbolisme Bianglala: Bianglala menjadi simbol kemuliaan dan keindahan spiritual yang diharapkan. Meskipun menghadapi penderitaan dan kehausan, penyair menyadari bahwa di setiap lapisan kehidupan, termasuk dalam lapar dan dahaga, terdapat keindahan dan kesempurnaan yang menyatu dengan perjalanan spiritualnya.

Penerimaan dan Kepastian Spiritual: Penyair akhirnya menerima bahwa dalam perjalanan hidupnya, penderitaan dan kehausan adalah bagian dari perjalanan menuju kesempurnaan spiritual. Melalui perjuangan dan ketahanan, penyair akan mencapai puncak spiritual, yang diwakili oleh keindahan dan kemuliaan bianglala.

Puisi "Lapar, Dahaga, Bianglala" menghadirkan perjalanan spiritual yang mengharukan, di mana penyair menghadapi penderitaan dan kehausan, namun juga menemukan makna dan pemahaman yang mendalam tentang kehidupan dan spiritualitas. Puisi ini memperlihatkan bahwa dalam setiap penderitaan terdapat potensi kesempurnaan dan keindahan yang menanti di ujung perjalanan.

Puisi
Puisi: Lapar, Dahaga, Bianglala
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.