Puisi: Fragmen Pertempuran (Karya Iswadi Pratama)

Puisi: Fragmen Pertempuran Karya: Iswadi Pratama
Fragmen Pertempuran


1. Menjelang Berangkat

Sebenarnya hari telah letih
ketika ia dijemput pergi
menuju tanah lapang di kaki bukit
tempat sembunyi para demit

tapi sang pertapa merapal mantra
membangkitkan remah pagi
yang terbaring di bawah dedaun
memeluk bulir biji yang ranum

lalu embun menetas di gandasuli
kaki-kaki rumput basah
aroma kambium meruap
dari kulit mahoni yang terluka

maka ia pun menaiki kudanya
kuda bersurai biru, bersuara lembu
kuda yang dulu membawa bapaknya
memburu raksasa pemangsa mimpi
mimpi anak-anak dan para pengantin

juga mimpinya

raksasa tumpas dengan sepasang pisau
meliang di leher dan dada
lalu dari lubang bekas pisau itu
menyembur ribuan mimpi

(udara seperti layar penuh warna
Langit pestapora cahaya)

setiap hati meleleh, dingin meleleh
benih-benih yang bertahun membeku
bersembulan dari bawah kaki
menebarkan harum bebiji

anak-anak dan para pengantin
menyambut kembali mimpi mereka
dibasuh di sumber air dekat telaga
digosok sampai berkilap seperti sediakala

(tapi ada mimpi yang tak kembali; mimpinya)

konon itulah satu-satunya mimpi
yang disembunyikan raksasa
di tanah yang tak pernah terang
dijaga prajurit bayang-bayang

“mengapa hanya mimpiku?”

ia bertanya ketika itu
menepi dari pesta pendudukan negeri
menuang tangis di rimbun pakis
srigunting berkumpul di dahan manggis

tiga hari ia bersedih
peri pandan menghampiri
menyanyi dengan kecapi
kumbang dan kupu berbagi madu

“aku tak ingat lagi mimpi apa yang dicuri raksasa”
“bukan apa yang kau mimpikan, tapi mimpi”
“apa aku bisa menemukannya, peri?”
“tak ada yang dapat menduga”

tapi ia memang ingin segera mengerti dan terus bertanya
lalu bapaknya pergi bersama para lelaki
yang tak punya jeri
merebut mimpi di tanah yang tak terjamah cahaya
dijaga prajurit bayang-bayang yang tak bisa dikalahkan

bertahun-tahun para lelaki meninggalkan negeri
setiap derita dalam pertempuran itu
akan juga sampai di hati yang menunggu
hingga jiwa-jiwa mereka
terhisap lubang-lubang hitam di dasar jurang

“hanya jiwamu yang bisa kujaga
sampai kuda bersurai biru ini menjemputnya
mereka kini menunggu,”

ia pun gemetar di punggung kudanya
serombongan kabut kuning muncul di ujung jalan
berdera daun palma diikat di ujung tombak
coklat dan boyak
merunduk tak bergerak

pohon-pohon jati berbaris di kanan-kiri
memberi hormat setakzim sunyi
sementara para penduduk negeri
mengintip dari balik bilik
msygul oleh ingatan
; rantai duri yang mencekik

(seekor penyu merambat
memanggul waktu)

(sepi mengharum
berayun di bunga waru)

“setiap kali kau tikam prajurit bayang-bayang
luka dan perihnya kau tanggung di badan”

“perih seperti apa?”

“seperti lembu hidup dikuliti”

tapi kuda bersurai biru akan membawanya
ke tempat-tempat di mana semua rasa sakit akan tamat.

“kudamu akan berlari secepat kau inginkan
berpantanglah pada gentar dan gundah
sebab akan membuatnya musnah
seperti rumah lebah menjadi remah
dan aku hiudp sepanjang kau tak menyerah”

sebenarnya hari telah letih
ketika laki-laki yang mencari mimpi itu
dijemput pergi, dan sang pertapa tahu,
lelaki itu tak akan punya pagi lagi.

“dalam perjalanan atau pertempuran
jangan sekejap kau lelap
karena di batas ingat dan silap
arwah-arwah jahat
menyediakan perangkap”

sang petapa meruat tubuh lelaki pencari mimpi
dan kuda bersurai biru dengan debu dari belulang elang,
bunga yang tak pudar warna, dan embun yang jatuh pertama

(bahu kurus ia tegakkan
mata samar dinyalangkan
sepasang pisau dibebat di pinggang)

maka berangkatlah ia memacu kudanya
hari pun gerimis, meski mendung tak ada
dan terang masih berjaga.

angin awal tahun memeluk tengkuk
prenjak dan kutilang terkesiap di dahan dadap
rerumpun kabut tersibak, pilar-pilar cahaya pun tegak

di hari yang sebenarnya telah letih
tubuh sang pertapa menghitam perlahan
menghisap gelap dari tanah, pepohon, dan udara
dari setiap lekuk dan celah

lalu ia kenang lagi negeri di ufuk timur itu
ia berbisik
padamu,
padaku,

ia pergi untuk pertempuran
yang musykil dimenangkan
pun dielakkan...


2. Sungai

kuda bersurai biru bersuara lembu
larinya mendahului angin memintas waktu
hingga senja berulang tenggelam
ia tiba di tanah masa silam

tak tumbuh selain perdu
tak ada hewan selain kupu
tak terdengar selain ngilu
tak ada warna selain abu

ia meraih kantung air
hanya beberapa butir membasah mulut getir

kuda bersuara lembu menghempaskan kaki di tanah kelabu
memancar sungai dari celah bebatu

sungai yang abu-abu
memantulkan rupa ibu
terbata mengusung kendi di kepala
menggamit tangannya yang belia

dulu, mantra diterakan
hingga air beku dalam kendi itu
berminggu-minggu ditempa
jadi sepasang pisau di pinggangnya

sungai menggerai rambut-rambut cahaya
dingin merayap dari kaki hingga kepala
berdenyut di ubun-ubun
berpusar jadi taifun

dihempas ganas taifun
ia berlayar dengan perahu angsana
liuk liku arus secepat air tempayan tumpah

(seluruh kenangannya mengelupas dari rongga kepala
berlepasan seperti benang dari kainnya)

“tinggal satu mimpi, tinggal satu nyeri”

(semesta hanya gemerincing di telinga)

sungai itu terus mengapungkannya
menembus ribuan labirin udara
di mana menjulur sungai kedua

angin lembab melarungkan perahu
layar berkertapan laksana sayap pelikan
di atas punggung kuda ia dengar nyanyian jeram

kita tinggalkan masa kanak
bersukacita menuju kesedihan
kita tinggalkan tempat yang tentram
setelah terjaga dan merasakan kecemasan
…..

di hari pertama penghujan menabur benih jamur
di tambatkan perahu di hutan yang daunnya
tak pernah gugur
dan pohonnya tak bernama tak berumur

lalu ia menempuh hutan itu
menggoreskan pisau pada setiap batang
; semacam jejak untuk pulang

pohon-pohon yang diiris
mengalirkan getah serupa tangis
menjelma sungai ketiga yang gelap dan amis

sungai yang penuh taring dan kuku-kuku runcing
sungai tempat ikan-ikan bersirip pedang
sungai tempat seluruh jenis ular bersarang

sungai yang menyimpan jerit hantu
sungai seluruh dendam dan nafsu
sungai yang berderam memburu

ia dan lembu kudanya dimangsa arus
digerus lorong-lorong stalagtit
sampai tunai seluruh rasa sakit
lalu tenggelam di alir tenang
dijaga sepuluh kura-kura, peri, dan mambang

(lumut berjalinan menjadi selimut
luka-lukanya dibalut plankton dan liur siput)

batu-batu saling menggosokkan badan
ikan-ikan berenang dan berlompatan ke permukaan
mengiring hingga muara senyap
di mana sungai ketiga lenyap
tak bertaut pada laut


3. Gurun Garam

lalu hari melengkapkan tahun
gelap yang tegap berbaris rapat

“hantu-hantu itu tak bisa kucegah
mereka mulai menguntitmu
merasuk ke jantungku”

sang pertapa itu berbisik terakhir kali
mungkin padamu
mungkin padaku

(kini laut beku menanti;
padang garam penghisap ingatan)

di laut itu seorang penyair telah tenggelam
tapi jiwanya bersemayam di istana karang
memberi ombak sukma sajak
para kekasih pun datang, tak bisa mengelak

lalu pada sebuah malam purnama
ketika bulan duduk di punggung naga
seorang penyihir mencuri setiap ombak
yang datang dan yang masih terpendam

laut pun membeku menjelma gurun garam

(sejak itu, siapa yang melintas
kenangannya akan tumpas)

ia memandang hamparan masa lalu yang beku
mengusap punggung kuda yang menunggu

“tinggal satu mimpi, tinggal satu nyeri”

ia hela kuda itu membelah laut beku
secepat angin mendesir, selekas embun tergelincir
suara-suara pun menggema di jagat samudera padat
berebut masuk gendang telinga hendak merampas
ingatannya
tapi ia telah diruat sebelum berangkat


4. Hutan Bambu

tahun sebenarnya sudah berkali lalu
ketika langkah kudanya tertambat di hutan bambu
denging seruling meruncing di seluruh penjuru
seorang perawan yang, mungkin, peri hutan
mendekat merayu
ia membuka tubuhnya seperti cahaya
menyingkap gelap di padang sabana

kulitnya salju merah jambu
rambutnya harum biji srikaya
dadanya bukit pagi di gurun sahara
menanti angin pertama

“lekatkan jarimu di pinggulku
enduslah riap rerumput di hilir perut
basahkan, pagutkan…”

lelaki pencari mimpi tahu
bila hasratnya bertaut pada mulut, dada kuncup,
dan jurang lembut muara kembara;
ia akan usai sebelum perjalanan tunai

(tapi penempuh sepi manakah
yang mampu berlalu tanpa meragu)

“telah kau pandang aku dengan mata menggebu
maka akan sama bagimu melunaskan atau mengabaikan
gelora itu. seluruh rasa sakit telah kembali
mustahil kau tampik kepedihan dari setiap keindahan
kini biarkan putik-putikku mekar dalam geletar zakar”

lalu peluh terakhir tergelincir
lenguh membakar pembuluh
lelaki pencari mimpi bergulir ke tubir tubuh
matanya menjelajah lembah

“mantra itu telah berakhir”

“kau tak lagi memerlukan sihir”

“tapi aku akan binasa seperti bapak dan para lelaki
dirajam luka dalam pertempuran itu”

“aku akan memujamu karena kau dapat dilukai”

“apakah aku akan merindukanmu?”

“selama kau tak utuh”

“adakah kau akan menungguku?”

“aku rumpun bambu bagi serulingmu”

angin mendesir di pesisir
ia menghela kuda bersurai biru
cahaya dan bayang-bayang
menyata dalam pandang


5. Pertempuran

ia tiba di kaki bukit itu
ketika padang gelap menguasai lengkung lembah

di punggung gunung,
seluruh pohon merontokkan daun

angin menerbangkan amis luka
kuda-kuda meringkik tanpa penunggang
tangan-tangan yang menggenggam pedang
gemetar menahan perih rajam dalam perang
yang sebenarnya telah menahun itu

prajurit bayang-bayang merentangkan lagi jubah
para pembebas mimpi tak beringsut walau sedepa
satu teriakan, belati dan pedang dihunus kembali
lembing-lembing mendesing
menembus tubuh-tubuh tanpa darah-daging
panah-panah dari bulu rajawali mendengung
menyergap ribuan kali
tapi pasukan bayang-bayang bergeming
tak ada tajam yang mampu menggores
tak setitik darah menetes

para pembebas mimpi yang
tak lagi punya tempat untuk luka
berhempasan ke tanah
debu gelap mengental darah
membungkus tubuh-tubuh yang tak mau kalah

tapi setiap kali ada yang tumbang
selalu ada yang bangkit meradang
lalu lengking prajurit bayang-bayang
memuntahkan lalat-lalat beracun

kuda bersurai biru bersuara lembu
menghunuskan dengus memancarkan
juta kunang berbusur api

seketika udara membara
bangkai-bangkai hangus lalat beracun
berjatuhan bertimbun-timbun
di bumi membantun

sementara nun di gurun laga
lelaki yang mencari mimpi berlari di lumpur darah
merobek setiap kelebat bayang-bayang
dengan selendang pertapa
: sekujur tubuhnya pun luka

sepasang belati berwarna toska
terbang di kedua sisi pundaknya

ia menerjang ke jantung kecamuk perang
dengan gelora laut beku yang terpendam

kunang-kunang berbusur api menjelma kereta kencana
menderu ke garis terdepan pertempuran

: gelap dan terang bertabrakan

di antara serpihan daging dan belulang
ia berdiri bertilas sunyi

ia merasa gemilang
karena tubuhnya tercabik
karena darah mengucur
karena kuda meringkik

lalu ia tak bertanya lagi
di mana mimpinya

seorang laki-laki dengan
dada yang pecah menghampiri

“kau telah datang
kau tak akan pulang”


Bandar Lampung, Agustus 2006

Puisi: Fragmen Pertempuran
Puisi: Fragmen Pertempuran
Karya: Iswadi Pratama
© Sepenuhnya. All rights reserved.