Puisi: Barito (Karya Ahmad Nurullah)

Puisi: Barito Karya: Ahmad Nurullah
Barito (1)
(- catatan perjalanan)


Di tengah kelucak sungai Murung-Barito
Di tengah guncangan riam lawang haring
Ada sisa kenangan yang tercecer:
sepanjang Teluk Jolo
sampai bibir Desa Tumbang Topus -
secelah kenyataan tentang bagian
dari Tanah Airku:

Gadis-gadis Dayak berjoget
Dalam busana blue jeans dan kaos T-Shirt
Mabok tersihir lagu-lagu dangdut yang berdetak
lewat corong tape recorder

Dunia cuma seluas antena parabola
Terpacak tak jauh dari pantan -
tempat rombongan roh melolong
Sebelum upacara purba
mengantar dari bumi ke nirwana.


Barito (2)


Pedalaman Kalteng adalah dunia yang pecah:
Dadanya tenggelam ke dunia magi. Bersama balian,
kidung randan, tapi japen, dan bahalai:
riasan buah-buahan -
menyambut rombongan tamu agung
dari dunia seberang

Tapi kepalanya gatal melongok dunia luar:
Dunia (“Barat” yang) kebyar? Atau: kemajuan?
Hati-hati matamu mengerling perempuan
Bila tak ingin biji pelirmu tersangkut di pohonan


Barito (3)


Malam. Di sebuah kamp HPH, di tepi hutan
Di bawah bayangan pemilik modal yang
mencengkeramkan kukunya pada
balok-balok kayu
semayup kudengar tarian magis:
musik Kenyah, kilatan Mandau;
sumpit berlumur getah pohon mistik
atau mungkin racun ular:

Para balian menari
Mantra-mantra disemburkan
buat Ranying Hatalla Langit
Tanah bergerincing
Udara merekah
Keringat mengucur
Bumi menyala.


Barito (4)


Masihkan hutanku hutan yang dulu?
Air-menitis di celah batu-batu di sepanjang tepi sungai
Suatu saat mungkin mengering
Direguk waktu: bumi yang gelenyar
bersolek pembangunan?
Tak ada jawaban. Hanya gerusuh angin
Menyisir kesunyian hutan.


Barito (5)


Milik siapakah bulan di langit, Saudaraku?
Para Nihin, Abdul, dan Joseph berangkul tangan
Melantunkan nyanyian hutan yan tak tumbuh lagi dari
tanah leluhur: Bersama anjing, babi,
bangkui, dan beruang. Bersama
Sang Dewa yang liat berakar.


Barito (6)


Pagi. “Simbur, simbur! Simbur, simbur!”
Gadis-gadis Dayak menabur air dari pelipis sungai
Seolah hendak berkata, “Selamat jalan, Saudaraku!
Kapan mampir lagi di tanah kami?”

Sungai berkelucak
Daratan mulai menjauh
Di bawah matahari pagi,
daun-daun merbau jatuh
Hutan sunyi. Burung-burung sepi
Perahu bergegas -
membawa kami pergi.


Barito (7)


Tak ada yang istimewa, agaknya. Tapi,
ada yang layak dicatat:
di sebuah kawasan yang jauh,
ternyata ada juga orang berbahagia. Bukti
bahwa bumi sabar mengasuh segala yang ada:
yang kecil, ganjil, sederhana
Meski, bukan tak bermakna.


Jakarta, 1995

Sumber: Setelah Hari Keenam (2011)

Ahmad Nurullah
Puisi: Barito
Karya: Ahmad Nurullah

Biodata Ahmad Nurullah:
  • Ahmad Nurullah (penulis puisi, cerpen, esai, dan kritik sastra) lahir pada tanggal 10 November 1964 di Sumenep, Madura, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.