Puisi: Mantra Kematian (Karya Herman RN)

Puisi "Mantra Kematian" karya Herman RN menggambarkan refleksi mendalam tentang paradoks kehidupan dan kematian serta pertanyaan yang mengitari ....
Mantra Kematian


O, aku sudah melangkah ke masjid, gereja, pura, dan wihara
Tak kudapati sebuah pun kitab yang mendidik saling tusuk dan tembak
jua membunuh
Lalu kubalik lembaran qur’an, injil, taurat, dan zabur, yang katanya menyimpan ajaran kehidupan dan ajaran kematian
Semua melarang bunuh diri
Tapi mengapa di kampungku masih ada dendang saling bunuh?
O, dengarlah mantraku
Hong kemba kusipak kusalah
Salahlah mata mengambil lihat
Salahlah hidung punya hidu
Salahlah mulut miliki ucap
Salah pula telinga mendengar mau

O, kutahu tangan terlalu pendek menjangkau pekat
Kaki menyendat saat mencari tuju
Hanya kalbu yang mampu itu
Jika saling bunuh dilarang agama, saling tikam ditegah tuhan
Mengapa ada perang?
Jua bila bunuh diri tak ada perintah
mengapa pemuda dan gadis itu gantung diri?
Mengapa ada suara senapan?
"menghukum tersangka," katanya
Apakah hukum telah dibeli dari tuhan atau ajaran kematian salah ditulis kitab
Atau Isa dan Muhammad lupa suatu ajaran
Bahwa maut kemutlakan tuhan?

O, inilah mantra itu
Sebab dari aku ajal dari tuhan
Kusebabkan segala kematian
Tertariklah nyawa dari regangnya
Tercabutlah roh dari ghaibnya

Dan.. Tuhan Bapa
Tuhan Allah
Izrail
Menganga
Subhanahuwata’ala di sini berada.


Aceh, Jumat malam, 17 Juli 2008

Analisis Puisi:
Puisi "Mantra Kematian" karya Herman RN menggambarkan refleksi mendalam tentang paradoks kehidupan dan kematian serta pertanyaan yang mengitari tindakan manusia dalam konteks agama.

Refleksi Keberagamaan: Puisi ini dibuka dengan pengakuan penyair bahwa meskipun telah menjelajahi berbagai tempat ibadah, ia tidak menemukan ajaran agama yang mengizinkan atau mendorong tindakan kekerasan dan pembunuhan. Penyair merinci keterkejutannya melihat ketidaksesuaian antara ajaran agama dan realitas kehidupan di kampungnya yang masih penuh dengan konflik dan pertumpahan darah.

Mantra dan Refleksi Kehidupan: Penyair kemudian membahas mantra yang diucapkannya, menciptakan ungkapan penuh makna yang menekankan kesalahan dan keterbatasan manusia. Melalui mantra ini, penyair mencoba menyampaikan pesan bahwa manusia harus berpikir ulang tentang tindakan mereka, terutama yang melibatkan kehidupan dan kematian.

Pertanyaan Filosofis: Puisi ini mengajukan pertanyaan filosofis tentang hakikat kematian, perang, dan bunuh diri. Penyair merenungkan mengapa perang masih terjadi meskipun agama melarang pembunuhan, dan mengapa tindakan bunuh diri tetap terjadi meskipun diharamkan. Pertanyaan-pertanyaan ini mencerminkan kebingungan dan keraguan penyair terhadap moralitas manusia dan pemahaman agama.

Panggilan kepada Tuhan: Puisi ini diakhiri diri dengan panggilan kepada Tuhan, memohon pertanggungjawaban atas peristiwa-peristiwa tragis dan bertanya-tanya apakah Tuhan melihat dan memahami penderitaan manusia. Penggunaan kata-kata seperti "Tuhan Bapa," "Tuhan Allah," dan "Izrail" menghadirkan representasi Tuhan dari berbagai tradisi keagamaan.

Puisi "Mantra Kematian" adalah puisi yang menghadirkan konflik batin dan pertanyaan filosofis yang mendalam. Penyair dengan tajam merinci ketidaksesuaian antara ajaran agama dan kenyataan kehidupan sehari-hari, menciptakan suatu refleksi tentang moralitas, kematian, dan kebijaksanaan Tuhan. Puisi ini memicu pemikiran tentang makna kematian dan peran manusia dalam mengartikannya dalam konteks spiritualitas dan agama.

Puisi
Puisi: Mantra Kematian
Karya: Herman RN
© Sepenuhnya. All rights reserved.