Puisi: Dongeng Nenek Badak (Karya F. Rahardi)

Puisi: Dongeng Nenek Badak Karya: F. Rahardi
Dongeng Nenek Badak


“Syahdan
sang raja rimba itu
mengendap-endap di sebuah gerumbulan
semak belukar
dan nun jauh di sana
di atas rumputan yang subur
di dekat telaga nan biru
sekawanan rusa gelisah
mereka ketakutan
mereka mendongakkan kepala mereka
mengendus-endus angin
matanya nyalang
mereka berlarian
mereka ketakutan.”

Nenek badak itu berhenti bercerita
mengendus-endus lumpur
lalu kembali membenamkan tubuhnya
di kubangan.

Cucu badak menyela dengan pertanyaan.
“Raja rimba itu siapa nek?”
“Raja rimba itu macan. Harimau gembong
yang bulunya loreng-loreng.”
“Mengapa disebut raja rimba nek?”
“Karena semua penghuni hutan takut padanya.”
“Apakah nenek juga takut?”
“Tidak. Nenek dan semua badak tidak takut
pada harimau. Kamu juga tidak boleh takut.”
“Mengapa hewan lain takut nek?”
“Karena harimau, sang raja rimba itu kuat sekali.”
“Kuat mana nek sama badak?”
“Ya jelas kuat badak. Badak itu binatang yang
paling kuat di dunia setelah gajah.”
“Mengapa yang menjadi raja rimba bukan
gajah atau badak nek?”
“Karena binatang-binatang penghuni rimba
tidak takut pada badak atau gajah.
Badak tidak mau menyakiti sesama binatang
apalagi membunuhnya.
Badak hanya makan daun-daunan.”
“Apakah harimau suka menyakiti binatang lain nek?”
“Bukan hanya menyakiti tapi juga membunuh dan memakannya.
Macan itu memang pemakan daging.
Itulah sebabnya dia sangat ditakuti.”
“Mengapa yang dijadikan raja bukan badak saja nek?
Mengapa yang menjadi raja harus yang ditakuti?”
“Itu memang sudah diatur dari sononya.
Tetapi sekarang sang raja rimba itu nasibnya
sama-sama seperti kita
nyaris punah.
Badak Jawa malahan
bernasib lebih baik dari pada
harimau jawa yang mungkin sudah punah
mungkin juga masih tersisa
di Meru Betiri sana.
Harimau bali sudah jelas punah.
Tapi sebenarnya
masih ada makhluk lain yang lebih menakutkan
daripada harimau sang raja rimba.”
“Siapa itu nek?”
“Kepala Taman Nasional.”
“Dia itu siapa?”
“Dia itu manusia yang ditugasi manusia lain
agar menjaga dan mengawasi jagat kecil kita ini.”
“Jadi dia yang paling ditakuti?”
“Benar.
Tetapi bukan karena suka menyakiti
dan membunuh manusia lainnya.
Dan sebenarnya dia sendiri juga
masih suka ketakutan.”
“Takut apa Nek?”
“Takut pada Direktur Jenderal Perlindungan
dan Konservasi Alam.”
“Jadi direktur itu yang paling ditakuti ya nek ya?”
“Tidak juga. Direktur Jenderal itu takut pada
Menteri Kehutanan.”
“Dia itu raja hutan yang sejati ya nek?”
“Bukan.
Dia juga akan ketakutan pada Presiden.
Dialah yang menguasai negeri ini.”
“Jadi Presiden itulah yang maha kuasa ya Nek ya?”
“Bukan.
Yang maha kuasa itu Tuhan.
Dia tidak kelihatan.
Kalau presiden  takutnya pada mahasiswa.”
“Siapa mahasiswa itu nek? Hantu?”
“Bukan.
Mahasiswa itu anak-anak manusia yang
masih muda dan sedang belajar di perguruan tinggi.
Mereka suka demonstrasi dan menuntut presiden
atau siapa saja untuk mengundurkan diri.”
“Jadi yang paling berkuasa itu  mahasiswa ya nek?”
“Bukan juga.
Mahasiswa memang suka menuntut
presiden, menteri, jaksa agung, gubernur, bupati
dan lain-lain untuk mundur.
Tetapi mereka tidak pernah berani
menuntut binatang undur-undur untuk mundur.
Sebab undur-undur sejak dulu jalannya
memang selalu mundur.
Stt!”

Tiba-tiba nenek badak itu
memberi isyarat pada cucunya
untuk diam dan menahan napas
sebab dari arah kejauhan
terdengar bunyi kresek-kresek
ada tiga manusia yang berjalan
terbungkuk-bungkuk menggendong ransel
dan menenteng kamera
mereka berjalan dengan kepala agak menunduk
langkah mereka teratur
sepatu-sepatu mereka yang menginjak
ranting dan dedaunan kering
meninggalkan bunyi kemerisik yang keras
di kesunyian hutan
langkah tiga manusia itu makin lama
makin menjauh
lalu tidak kedengaran lagi.

Cucu badak itu
memandangi neneknya sambil berbisik.
“Mereka mahasiswa atau presiden nek?”
“Bukan.
Itu tadi penyair dengan dua temannya.
Dia itu yang menulis buku ini.
Hati-hati lo.
Dia itu sangat berkuasa.
Dia lebih berkuasa dari presiden atau
kepala Taman Nasional dalam buku ini.”
“Jadi dia bisa menyakiti dan membunuh kita nek?”
“Bisa.”
“Bisa memakan kita nek?”
“Bisa.”
“Berarti dia jahat sekali ya nek?
Lebih jahat dari sang raja rimba
lebih jahat dari presiden lebih jahat dari mahasiswa!”
“Ya, tetapi dia juga paling takut pada pembaca
dia tidak bisa membodohi para pembaca.”
“Para pembaca itu siapa nek?”
“Mereka itu manusia yang pinter-pinter
dan punya uang untuk membeli buku ini
merekalah yang sangat berkuasa, paling berkuasa
mereka bisa bosan dan ngantuk lalu
menutup buku ini
mungkin tanpa menutupnya pun
mereka bisa melemparkannya ke keranjang sampah atau got.”
“Kalau begitu pembaca itu jahat sekali ya Nek?
Kita berdua, juga badak-badak lain juga
binatang-binatang lain kan bisa sesak napas dan lemas
kalau ikut kecemplung got.”
“Tidak.
Pembaca memang boleh begitu.
Mereka harus seperti itu.
Kita-kita inilah yang harus bertanggungjawab
hingga bisa memberikan sesuatu
entah apa bentuknya kepada para pembaca.
Sebab pengarang buku ini
begitu mulai menggerakkan tangannya
otaknya akan  berhenti bekerja.
Jadi sebenarnya yang ngarang buku ini
justru kita.”

“Lalu sang raja rimba tadi bagaimana Nek?”
“Raja rimba, ya, sang raja rimba itu sangat lapar.
Sudah berhari-hari dia tidak makan
karena rusa-rusa itu sulit ditangkap.
Karenanya, kali ini dia sangat berhati-hati.
Dia mengendap-endap terus
menentang arah angin.
Rusa-rusa yang sedang merumput itu
sama sekali tidak menduga
bahwa sang raja rimba sudah berada dalam
jarak yang sangat dekat dengan mereka.
Lalu tiba-tiba, sangat tiba-tiba
sang raja rimba itu melompat dan berlari kencang
sekali ke arah kawanan rusa itu.
Demi mengetahui kehadiran sang raja hutan
rusa-rusa pun bubar berlompatan dan berlarian.
Salah seekor di antara mereka terperosok
ke dalam lumpur lalu sang raja rimba menerkamnya
mengerkah lehernya sampai mati
lalu menyeretnya ke tempat
yang tidak becek.
Sang raja rimba itu lalu bersantap siang.”
“Lalu rusanya mati nek?”
“Ya mati lalu masuk ke perut sang raja rimba.”
“Rusanya besar atau kecil nek?”
“Sedeng.”
“Jantan atau betina nek?”
“Jantan.”
“Bukan betina nek?”
“Di alam asli ini betina rusa dilindungi oleh
dagingnya yang tipis
hingga geraknya lebih gesit
dan tidak menarik perhatian sang raja rimba.
Jadi dia bisa beranak untuk melangsungkan kehidupan.”
“Lalu setelah sang raja rimba kenyang nek?”
“Dia  pergi  lalu tidur.

Sisa-sisa rusa itu
dimakan biawak, gagak dan elang.
Semut-semut, lalat juga ikut makan.
Tak ada lagi yang tersisa kecuali tulang-belulang.”
“Lalu rusa-rusa yang lain ke mana nek?”
“Mereka lari ke tempat yang jauh lalu makan rumput lagi.
Mereka harus makan supaya
perut mereka kenyang dan badan mereka sehat.
Rusa-rusa kecil juga harus makan supaya
tumbuh jadi besar.
Kamu juga harus makan.”
“Mengapa kita tidak makan daging nek?
Kalau kita makan daging kan bisa jadi raja rimba!”
“Tidak usah. Kita jangan menyalahi hukum alam.
Kalau alam dilawan
akan terjadi guncangan
penyimpangan-penyimpangan
akan terjadi chaos
akan terjadi “goro-goro”.
Marilah kita makan daun-daunan cu.
Marilah kita patuhi
kehendak alam.”

Nenek dan cucu badak itu
bangkit dari kubangan
tubuh mereka terbalut lumpur
mereka bergerak dengan langkah agak gontai
tubuh mereka yang berat
kulit mereka yang tebal
duri-duri rotan yang
tajam itu pun bahkan
tak bisa melukai mereka.


Sumber: Negeri Badak (2007)


F. Rahardi
Puisi: Dongeng Nenek Badak
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.