Puisi: Gerimis Subuh (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Gerimis Subuh" karya Gunoto Saparie mendorong pembaca untuk merenung tentang hubungan antara manusia dan Tuhan dalam keheningan dan ...
Gerimis Subuh


gerimis menyapa bersama azan subuh
dedaunan pun basah berlinang berpeluh
ada kokok ayam jantang menguak kabut
ah, seraut kenang wajahmu bersujud

ketika sepenggal ayat mengalun rawan
ketika kau pun memanggil-manggil namaku
o bunda, mengapakah aku alpa berwudu?
mendadak masa kanakku terbayang-bayang

gerimis menderas sampai fajar merekah
angin pun mendesah dari lembah
ada yang membaca surat fatihah
terbata-bata dialamatkan kepadakukah?


Analisis Puisi:
Puisi "Gerimis Subuh" karya Gunoto Saparie menggambarkan suasana subuh yang dipenuhi oleh elemen-elemen alam dan nuansa spiritual. Dengan menggunakan imaji-imaji yang khas, penyair mengajak pembaca merenung tentang keindahan alam dan hubungan spiritual antara manusia dan Tuhan.

Lingkungan Subuh yang Penuh Makna: Puisi dimulai dengan gambaran gerimis yang menyapa bersama azan subuh. Ini menciptakan suasana pagi yang teduh dan penuh spiritualitas. Dedaunan yang basah dan kabut yang menguar memberikan gambaran visual tentang kelembutan pagi hari.

Kenangan dan Kehadiran Wajah yang Disucikan: Penyair menyelipkan kenangan pribadi dalam bait-bait puisi. Seraut kenangan wajah yang bersujud menciptakan keterkaitan emosional dengan kehadiran Tuhan. Wajah yang bersujud menjadi simbol kepatuhan dan penghormatan.

Keterhubungan dengan Ayat dan Pemanggilan Nama: Puisi menciptakan hubungan antara alam dan keagamaan. Sepenggal ayat yang mengalun rawan menciptakan suasana mistis, sementara pemanggilan nama oleh Tuhan memperkuat keterkaitan spiritual antara manusia dan penciptanya.

Pertanyaan pada Bunda dan Bayangan Masa Kanak-Kanak: Puisi menciptakan momen introspeksi melalui pertanyaan yang diajukan oleh penyair pada ibu (Bunda). Pertanyaan tentang mengapa ia lalai berwudu menciptakan refleksi akan keterhubungan spiritual dan kebutuhan untuk memperbaiki diri.

Pencitraan Gerimis, Fajar, dan Desahan Angin: Gambaran gerimis yang menderas hingga fajar merekah menciptakan perjalanan waktu yang terasa sangat alami. Desahan angin dari lembah memberikan nuansa alam yang hidup dan memberdayakan suasana puisi.

Surat Fatihah dan Ketidakpastian: Puisi mencapai puncaknya dengan gambaran seseorang yang membaca surat Fatihah dengan terbata-bata, dan pertanyaan retoris tentang siapa yang dituju. Hal ini menciptakan nuansa ketidakpastian dan misteri, memunculkan pertanyaan tentang kehadiran Tuhan dan relasi yang tidak langsung.

Puisi "Gerimis Subuh" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menyatukan elemen-elemen alam dengan spiritualitas. Dengan imaji-imaji yang kaya, penyair menciptakan sebuah lukisan kata-kata yang memikat dan membangkitkan rasa kekaguman terhadap keindahan subuh dan kekaguman spiritual. Puisi ini mendorong pembaca untuk merenung tentang hubungan antara manusia dan Tuhan dalam keheningan dan keindahan alam subuh.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Gerimis Subuh
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  dan Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia--Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), dan Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta.  Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.