Puisi: Insiden di Markas Besar (Karya F. Rahardi)

Puisi: Insiden di markas Besar Karya: F. Rahardi
Insiden di Markas Besar


Sepanjang hari
sepanjang malam
berhari-hari
berminggu bahkan berbulan
bangunan bertingkat itu
dijaga ketat.

Apakah yang disimpan di sana?
pesawat tempur canggih?
senjata kuman?
kapal selam nuklir?
dokumen penting?
emas batangan?
permata berharga?
tokoh GPK?
pacar gelap?
atau apa?

Tidak ada apa-apa
di sini hanya ada gedung
dan di dalamnya ya kantor biasa
pesawat-pesawat tempur ada di Halim 
sebagian di Madiun
senjata kuman tidak ada
kapal selamnya di laut
dokumen penting ada di BIA
ada di BAKIN
emas batangan di gedung BI
permata berharga tempatnya di museum
tokoh GPK di Cipinang dan Rutan Salemba
pacar gelap disekap di Cisarua.

Jadi ini hanya simbol
sesuatu yang harus mati-matian
dipertahankan
supaya kelihatan penting
dan misterius
untuk apa?
untuk pamer kekuatan?
untuk jaga gengsi
atau sekadar pantes-pantes
karena di mana-mana
termasuk di Pentagon
juga di Alengkadiraja
ya memang begitu?

Maka ketika tersiar kabar
bahwa badak-badak akan
menyerbu markas besar itu
penjagaan pun diperketat
berlipat-lipat.

“Tetapi den, yang akan menyerbu itu
bukan badak sembarang badak!”
“Maksudnya bagaimana mbah?”
“Ini badak gaib.
Badak yang tidak sakbaene!”
“Badak jadi-jadian maksudnya?”
“Badak siluman? Siluman badak?”
“Juga bukan!”
“Ini badak biasa tetapi gaib!”
“Sudahlah bilang saja siluman badak!”
“Bukan! Bukan siluman!”
“Ya sudahlah, tapi yang penting kan
harus ada penangkal secara gaib pula.
Secara paranormal!”
“Ki Gendeng Saestu?”
“Wah, jangan pakai dia!”
“Lalu siapa?”
“Banyak! Mungkin Ki Joko Pinter lebih baik.”
“Ya, yang penting keamanan Markas Besar ini
bisa terjamin!”
“Apa panser, tank, artileri berat,
helikopter dan kamera video, alat penyadap
belum cukup menjamin?”
“Belum. Buktinya presiden terculik, panglima terculik!
Pembicaraan penting tersadap dan bocor.
Kita perlu paranormal.”

Maka duapuluh tujuh paranormal
(9 + 9 + 9 = 27)
dikerahkan
mereka menjaga empat titik
mata angin
mereka berpuasa
bermeditasi
dan bertelanjang bulat
memohon entah
kepada Tuhan entah Setan
agar markas besar itu tetap kokoh
dan kuat.

Panser
helikopter
meriam
senapan mesin
penyembur gas air mata
anak panah
granat
ketapel
sangkur
kelewang
bambu runcing
semua disiapkan
termasuk anjing pelacak
kuda balap
motor tril
dan delman.

Semua itu siap
tetapi tegang
semua menunggu

“Tetapi siapa musuh kita?”
“Katanya para badak?”
“Ah mana mungkin badak jawa yang cuma 50 ekor
dihadapi dengan kekuatan tempur seperti ini?”
“Tetapi badak kan kuat?”
“Tetapi mereka mau apa kemari?”
“Kalau hanya mau makan rumput
dan daun-daun palem kan boleh saja!”
“Siapa tahu di cula mereka itu telah terpasang
kamera super canggih
atau malahan bom nuklir
dari negeri musuh?”
“Musuh kita negeri mana sih? Amerika?
Inggris, Cina atau Australia?”
“Musuh kita dalam selimut!”
“Lo, menusuk teman seiring dong?”
“Ya, menggunting dalam lipatan!”
“Lempar batu sembunyi tangan!”
“Ada udang dibalik batu!”
“Ada udang goreng di Pecenongan!”
“Hus! Itu musuh datang!”

Semua siaga
panser
helikopter
kanon
senapan mesin
radar
dan limapuluh badak berjalan
dengan sangat santai
duapuluhtujuh paranormal
mengejan.
“Ek, ek, ek!”
menahan napas
dan siap melontarkan kesaktiannya
“Brot, tuit! (kentut)
meriam lalu ditembakkan.
“Bum”
“Jegur”
seekor badak terjungkal
kepalanya hancur
darah menggenangi aspal
badak-badak lain terus berjalan.

“Damai!”
“Damai!”
“Kami cinta damai!”
“Kami anti kekerasan. Walau kulit kami sekeras aspal!”
“Kami tidak menjarah!”
“Kami tidak merusak!”
“Kami hanya ingin meluruskan yang bengkok!”
“Kami ingin menambal yang bolong-bolong!”
“Kami ingin mengobati luka-luka bangsa!”
“Bum”
“Jegur”
Seekor badak lagi
terjungkal
perutnya bedah
seluruh isinya terburai
darah mengalir di rerumputan.

“Kami hanya ingin rumput
bukan gandum
bukan padi!”
“Kami hanya makan sebatas kapasitas!”
“Kami tidak pernah menimbun!”
“Damai!”
“Kami cinta damai!”
“Damai tapi gersang!”
“Kami tidak benci!”
“Benci tapi rindu!”
“Jegur, jegur, jegur!”

“Bapak tidur bersandar pualam
pualam lunglai di atas tatakan
badak tersungkur dihajar meriam
gerakan damai dibalas tembakan.”

“Lo, itu badak beneran!
Bukan siluman badak!”
“Padahal paranormalnya sudah terlanjur
ngeden-ngeden dan setep!”
“Pakai kentut segala!”
“Kasihan tiga badak jadi korban!”
“Padahal badak cula satu kan tinggal 50 ekor?”
“Wah kalau menteri lingkungan tahu!”
“Kalau ada wartawan!”
“Kamera! Awas kamera-kamera itu!”
“Kalau WWF melihat rekamannya!”
“Ini gawat!”
“Kalau Unesco mendengarnya?”
“Infonya tadi bagaimana?”
“Sandinya apa sih?”
“Kok sampai keliru?”

“Damai!”
“Damai!”
“Teror harus dihadapi dengan nyali tinggi!”
“Peluru harus dihadapi dengan dada tegak!”
“Kami bukan musuh!”
“Kami bukan perusuh!”
“Kami tidak menjarah!”
“Jer basuki mawa nyawa!”
“Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti!”
“Pangastuti!”
“Tuti?”
“Mbak Tutik!”
“Lo kok Mbak Tutik ada di sini?”
“Stt! Lagi tugas!”
“Lo sekarang dinasnya di mana? Di Mabes?”
“(mengangguk/senyum)”
“Kok pakai preman dan bawa kamera?”
“(berbisik) Menyamar!”
“O!”
“(senyum) Sudah ya!”

Mbak Tutik
Mas Pono
Tarigan
Muslich
Robert
semua berpakaian preman
dan membaur dengan massa.

“Yang berbahaya bukan badaknya!”
“Badak-badak itu cuma aksi damai!”
“Damai-damai tapi nanti menyeruduk!”
“Apa panser itu kalau diseruduk badak ya bakal roboh?”
“Yang berbahaya ya para wartawan itu!”
“Kameraman itu!”
“Kalau sampai rekaman itu lolos ke luar negeri!”
“Ayo kita urus mereka!”
Tiba-tiba
pasukan keamanan itu melepas
para badak
dan ganti mengepung wartawan
para wartawan itu bingung
dan kamera-kamera itu
tape recorder
block note
semua dirampas
bokong wartawati  ditendang
ada yang didorong-dorong lalu jatuh
lalu terinjak-injak.

Seorang wartawati bule diuber
ditarik bajunya dan sobek
kelihatan BH-nya
dicolek teteknya
lalu dia marah
lalu semua
dihajar pentungan
tak ada seorang pun yang bisa lolos.
“Sudah! Biarkan mereka pergi!”
“Yang penting rekaman mereka kita rampas.”
“Kami protes keras!”
“Silahkan protes!
Yang penting gambar-gambar itu tidak tersiar keluar!”
“Tidak tersiar bagaimana?”
“Rampas!”
“Gebuk.”
“Perkosa saja itu wartawati bule!”
“Ayo!”
“Sekarang aman! Tak ada yang merekam!”
“Bantai para Badak!”

“Jegur!”
“Bum”
“Pletak!”
“Gedebuk!
Satu lagi badak tergeletak

“Damai”
“Damai di bumi!”
“Silahkan rampas kamera!”
“Silahkan gebuki wartawan!”
“Bunuhlah semua badak!”
“Gambar-gambar itu tetap terekam dari langit!”
“Dari satelit?”
“Dan langsung disiarkan?”
“Jadi adegan pembantaian ini?”
“Adegan perkosaan tadi?”
“Wartawan yang digebuki?”
“Sudah disiarkan!”
“Langsung!”
“Bagaimana cara menghentikan siaran langsung ini!”
“Siapa yang bisa disogok?”
“Atau diancam?”
“Telepon saja suruh menghentikan!”
“Siapa yang harus ditelepon?”
“Kalau begitu yang punya tivi
dipaksa untuk mematikan tivi masing-masing!”
“Listriknya saja dipadamkan.”
“Telepon PLN!”
“Lo bagaimana? Tidak mau?”

Badak-badak itu lalu bersimpuh.
“Apa yang Anda takutkan dari kami?”
“Mengapa ketakutan itu demikian Anda pelihara?”
“Berbuatlah baik maka tak ada yang perlu ditakuti!”
“Takut itu naluri paling dasar manusia.
Takut binatang buas.
Takut bencana alam.
Takut mati kelaparan.
Itu ketakutan manusia purba.”
“Manusia modern takut pada atasan.
Takut kekuasaannya tumbang.
Takut borok-borok kehidupannya terbongkar.
Makanya jangan punya borok.
Kekuasaan akan awet
kalau memakmurkan rakyat!”
“Lalu kita mau ngapain ini? Duduk-duduk atau ngamuk?”
“Jangan ngamuk tanpa perlu!”
“Kalau begitu kita duduk-duduk saja.”
“Gaple?”
“Jangan! Kita nyanyi saja!”
“Berpantun!”
“Nyanyi! Berpantun susah. Bikin pusing!”
“Pantun asal-asalan saja!”

“Kondom bocor ditambal aspal
Aspal cair bayipun lahir
Kokom tidur di atas bantal
Bantal berupil dicium Amir.”

“Jelek!”
“Jorok lagi!”
“Kalau begitu kita tidur!”
“Kita nonton siaran ulang insiden barusan!”
“Ya, mari! Mana tivinya?”
“Tidak usah pakai tivi.
Listriknya dimatikan PLN
atas perintah yang berwajib.”
“Lalu?”
“Kita setel langit.
Kita lihat siaran langsung
dan rekaman insiden barusan.”

“Ceklik”
“Greng-greng-greng.”
Tiba-tiba langit tersibak.
“Kok ada tivi raksasa di langit?”
“Kalau siaran di bumi disensor, direkayasa,
dihimbau, dibeli dan kini listrik dimatikan,
maka langit akan menyiarkan secara langsung
borok-borok kehidupan
yang selama ini disimpan.”

“E, kok teteknya dicolek!”
“Itu yang dikepruk!”
“Pletak.”
“Jegur!”
“Buset itu tiga teman kita kepalanya hancur!”
“Greng-greng-greng
(bumper out)

“Masak siaran dari langit ada iklannya?”
“Gruduk-gruduk-gruduk.”
“Plung!”
“Lo itu Madona sedang beol
di apartemennya?”
“Hus itu iklan kloset!”
“Dor-dor-dor!”
“Jegur.”
“Bum!”
“Lo, tembakan apa lagi itu?”
“Mereka menembak ke langit.”
“Mereka marah karena
meski kamera sudah dirampas,
meski listrik sudah dipadamkan,
meski stasiun tivi  sudah dibeli,
ternyata masih ada siaran langsung
dari langit!”
“Hei, badak-badak,
siapa yang telah menyetel langit?”
“Tuhan!”
“Hus! Tidak boleh.
Yang tadi itu tidak boleh disiarkan
oleh siapa pun, kapan pun dan di mana pun!
Itu mencemarkan nama korps tahu!
Ayo tembak terus!”
“Jegur!”
“Bum!”
“Gusti Allah kok dibedili?”
“Hak cipta huru-hara dan perkosaan itu ada di tangan kami!
Kami menuntut royalti dari langit!”
“Tuntut saja itu matahari yang mencorong!”
“Siapkan para pawang
untuk mendatangkan mendung dan hujan!”
“Siap! Pawang beraksi!”
“Kedumel-kedumel-kedumel.”
(mantera dibaca!)
Mendung menggayut
hujan turun
mula-mula gerimis
lalu mengguyur sangat deras
siaran dari langit itu berjalan
terus.

“Orang sak jagat
telah melihat huru-hara barusan!”
“Ketiwasan Pak De!”
“Mbak Tutik! Sampeyan ini bagaimana sih?
Informasinya kok tidak akurat?”
“Informasi apa?”
“Itu kok masih terus siaran?
Belum ditelepon ya?”
“Telepon siapa? Itu siaran langsung dari langit.
Mau telepon Malaikat Jibril?”
“Kalau begitu kita akan kalah.”
“Kita menyerah saja!”
“Kita kalah bukan karena musuhnya kuat!”
“Kita memang tidak punya musuh kok.
Yang kita anggap musuh,
sebenarnya kan bukan musuh?”
“Jadi siapa sebenarnya musuh kita?”
“Ya dengkulmu itu sendiri musuhmu.”
“Jidatmu juga!”
“Kita kalah karena harus melawan diri kita sendiri!”
“Lalu?”
“Prek!”
“Diancuk!”
“Pejajaran!”
“Kita harus lapor ke siapa?”
“Ya, Panglima tidak ada.”
“Presiden juga tidak ada!”
“Kalau begitu kita kabur!”
“Ayo ke Singapura!”
“Ke Yordania!”
“Umroh dulu!”
“Tidak usah ke mana-mana
juga tidak apa-apa!”
“Asal jidat kita
ditempeli stiker
Reformasi!”


Sumber: Negeri Badak (2007)


F. Rahardi
Puisi: Insiden di Markas Besar
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.