Puisi: Selusin Dara Lumba-Lumba di Teluk Persia (Karya F. Rahardi)

Puisi: Selusin Dara Lumba-lumba di Teluk Persia Karya: F. Rahardi
Selusin Dara Lumba-Lumba di Teluk Persia


Selusin dara lumba-lumba telanjang bulat
dan berenang-renang di perairan Teluk Persia
mereka masih sangat muda
sehat
mulus dan sexy

“Wahai lumba-lumba jantan perkasa
kawinilah kami, satu per satu
atau ramai-ramai juga boleh”.

Selusin dara lumba-lumba itu mendongakkan
moncongnya, menghirup udara
dan menyanyi bersama-sama

“Kami sudah cukup dewasa dan siap
untuk bunting dan melahirkan bayi lumba-lumba
agar dapat leluasa
mewariskan nilai-nilai luhur
yang kami miliki ke generasi berikutnya”.

Selusin dara lumba-lumba yang cantik itu
ambil napas sebentar namun tersedak genangan
minyak
mereka mencium bau aneh
namun tak begitu mereka pedulikan
lantaran soal kawin memang jauh lebih penting
nyanyian mereka lanjutkan

“Wahai lumba-lumba jantan perkasa,
datanglah, cumbulah kami satu-satu atau bersama-sama,
terserah sampeyan kami pasrah”.

Perairan teluk itu sepi
tak ada lumba-lumba jantan perkasa
tak ada lumba-lumba betina
tak ada bayi-bayi yang masih netek induknya
sungguh sepi ombak di teluk ini
dan selusin dara lumba-lumba itu pun lalu kesepian
dan diombang-ambingkan ombak

Selusin kapal penuh tentara
terapung-apung di Teluk Persia
tentara-tentara itu masih muda
sehat, berseragam dan bersenjata

“Wahai tentara-tentara perkasa,
terjunlah kemari dan kawinilah kami”.
nyanyi dara lumba-lumba itu
sambil mendongakkan moncongnya
namun tentara-tentara itu
hanya dapat berbahasa Inggris dan Prancis dan Arab
mereka tak pernah belajar bahasa lumba-lumba

Selusin dara lumba-lumba
telanjang dan berenang-renang
di antara kapal-kapal penuh tentara
di antara genangan minyak mentah,
di antara genangan ranjau dan bom

“Wahai tentara-tentara perkasa,
angkatlah kami ke kapal itu satu-satu
atau bareng juga boleh
sebab tak satu pun lumba-lumba jantan kami temukan
padahal kami rindu”

Tentara-tentara itu menembakkan roketnya
lalu makan roti dan daging
lalu minum bir dan nonton video porno
mereka masih muda, sehat, berseragam
namun tak paham bahasa lumba-lumba

Berlusin bom meledak di perairan Teluk Persia
udara berbuih
air jadi ungu
dan matahari mundur jauh sekali
dara lumba-lumba itu lapar
mereka ingin segera makan

“Wahai lemuru atau sardin atau bandeng,
cumi-cumi juga boleh
kalau memang sudah tidak ada yang lain
kemarilah satu-satu atau ramai-ramai
kami sudah siap untuk mencaplok dan menelan”.

Air teluk itu ungu dan berbau bensin
campur mesiu campur tinja tentara-tentara itu
tak ada lagi lemuru atau sardin atau bandeng atau
cumi
yang terapung-apung tinggal sepatu,
sarung tangan, plastik-plastik dan bom

“Kalau tak ada sardin, tak ada lemuru,
tak ada bandeng, kadal pun boleh
asal masih segar dan cukup besar
kami ingin makan”.

Ombak di teluk itu makin kental
langit makin keruh
dan selusin dara lumba-lumba itu makin mual perutnya
makin sesak napasnya

“Wahai yang empunya udara
kami hanya mau bernapas beberapa detik saja
menyembulkan kepala lalu menyelam lagi
bolehkan kami nempil udara itu sedikit saja
biar dapat dihemat”

tapi udara sedang diperlukan oleh tentara-tenara itu
udara sudah ditarik dari perairan teluk
dan digunakan untuk keperluan yang jauh lebih penting
untuk kelangsungan hidup manusia
nun di darat sana

Selusin dara lumba-lumba yang mulus
telanjang bulat di pasir pantai Teluk Persia
wajahnya ungu, siripnya copot
dan matahari gurun yang jauh itu mengirimkan
selusin oven dalam posisi on

“Wahai matahari perkasa yang punya oven panas
pangganglah daging kami ini sampai gosong
daripada mubazir di atas pasir”.

Dan matahari itu pun turun
menyeterika kulit dara lumba-lumba itu
sampai jadi ungu dan lapuk
dan di sore hari dibiarkannya
udara menjadi dingin
lalu ombak menggoyang ekor lumba-lumba itu
hingga bergerak-gerak di bibir pasir.


Sumber: Pidato Akhir Tahun Seorang Germo (1997)


F. Rahardi
Puisi: Selusin Dara Lumba-Lumba di Teluk Persia
Karya: F. Rahardi

Biodata F. Rahardi:
  • F. Rahardi (Floribertus Rahardi) lahir pada tanggal 10 Juni 1950 di Ambarawa, Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.