Puisi: Kita Pun Terus Bercakap (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Kita Pun Terus Bercakap" mengeksplorasi keseimbangan antara kehidupan, cinta, dan waktu. Dengan menggunakan bahasa yang sederhana namun ....
Kita Pun Terus Bercakap

kita pun terus saja bercakap 
dan bercanda sepanjang malam
tak ada yang sia-sia, segala terekam
desah napas, detak dada, tak percuma

tak ada angin menyusup ke dalam kamar
di jalan, di luar, hanya deru mobil samar
namun kudengar bisikmu, merayap di bantal
mirip igauan, tak terkatakan banyak hal

hidup memang hanya sebentar, bukan?
tubuh kita fana, kelak membusuk
tetapi cinta kekal abadi, tak pendek
cinta pun bukan hanya sekadar impian

kita pun terus saja bercakap
dan bercanda sampai subuh tiba
patahan-patahan kenangan mengertap
"aku memerlukanmu," kau pun berkata

2020

Analisis Puisi:
Puisi "Kita Pun Terus Bercakap" karya Gunoto Saparie merupakan karya yang mengeksplorasi tema cinta, kehidupan, dan makna waktu.

Komunikasi dan Hubungan: Puisi dibuka dengan pernyataan bahwa "kita pun terus saja bercakap," menyoroti pentingnya komunikasi dalam hubungan. Bercakap dan bercanda sepanjang malam menjadi metafora dari keintiman dan kedalaman hubungan yang terus berkembang.

Kesesuaian dengan Alam: Penggambaran bahwa "tak ada angin menyusup ke dalam kamar" memberikan suasana ketenangan dan kehangatan. Puisi menciptakan lingkungan yang damai dan bersahaja, menekankan ketenangan yang dihasilkan oleh kebersamaan.

Ketidakewajaran Waktu: Meskipun malam berlangsung dan dunia di luar terus berputar, puisi menegaskan bahwa "tak ada yang sia-sia." Hal ini merujuk pada keabadian momen-momen bersama, di mana setiap detik memiliki makna dan keindahan tersendiri.

Misteri dan Intimasi: Puisi menyelipkan nuansa misterius dengan menciptakan gambaran bahwa "kudengar bisikmu, merayap di bantal" dan "mirip igauan, tak terkatakan banyak hal." Ini menambah dimensi intimasi dan keakraban dalam hubungan, di mana kata-kata memiliki kekuatan dan arti yang mendalam.

Refleksi tentang Hidup dan Kematian: Puisi merenungkan keberlakuan hidup dan kematian dengan mencatat bahwa "hidup memang hanya sebentar" dan "tubuh kita fana, kelak membusuk." Namun, penekanan pada keabadian cinta memberikan kontras, menunjukkan bahwa hubungan mereka memiliki kekekalan dan makna yang lebih dalam.

Pengulangan Tema Cinta: Pengulangan tema cinta muncul melalui kata-kata seperti "cinta kekal abadi" dan "aku memerlukanmu." Ini menciptakan ikatan antara hubungan pribadi dan nilai-nilai kekal cinta, menegaskan bahwa kebersamaan dan kedalaman hubungan memiliki dampak jauh melampaui batas waktu.

Puisi "Kita Pun Terus Bercakap" mengeksplorasi keseimbangan antara kehidupan, cinta, dan waktu. Dengan menggunakan bahasa yang sederhana namun puitis, Gunoto Saparie mampu menangkap esensi keintiman, keabadian, dan kehidupan sehari-hari dalam hubungan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna hubungan dan kehadiran satu sama lain dalam setiap momen kehidupan.

Foto Gunoto Saparie Februari 2020
Puisi: Kita Pun Terus Bercakap
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Selain menulis puisi, juga mencipta cerita pendek, novel, esai, kritik sastra, dan artikel/opini berbagai masalah kebudayaan, pendidikan, agama, ekonomi, dan keuangan.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.

Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.