Puisi: Hujan Pun Reda (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Hujan Pun Reda" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan suasana setelah hujan reda. Melalui bahasa yang puitis ....
Hujan Pun Reda


hujan pun akhirnya reda
dedaunan basah berkilau
ricik air kali, angin mendesau
kau bersijingkat menembus senja

ada percakapan di ruang tamu
ada detak jam gelisah di tembok 
ada yang berangkat terburu-buru
ya, ada seberkas penanggalan rontok


2020

Analisis Puisi:
Puisi "Hujan Pun Reda" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan suasana setelah hujan reda. Melalui bahasa yang puitis dan imaji yang kuat, penyair berhasil mengekspresikan perasaan ketenangan dan kesegaran setelah hujan, serta memberikan gambaran tentang momen-momen sehari-hari di sekitar. Mari kita analisis lebih dalam tentang makna dan pesan yang terkandung dalam puisi ini.

Hujan yang Mereda: Puisi ini membuka dengan pernyataan bahwa hujan akhirnya mereda. Penggunaan kata "reda" mencerminkan suasana ketenangan setelah hujan, ketika dedaunan basah mengkilap dan suara hujan yang jatuh ke kali (sungai) diiringi angin yang mendesau.

Gambaran Alam Setelah Hujan: Penyair menggunakan imaji hujan yang reda untuk menggambarkan keindahan alam setelah hujan. Dedaunan yang basah berkilau memberikan nuansa segar dan indah. Suara "ricik" air kali dan angin yang "mendesau" menambahkan kesan damai dan alamiah pada suasana setelah hujan.

Ketenangan di Ruang Tamu: Penyair menyebutkan bahwa ada percakapan di ruang tamu, menggambarkan suasana rumah yang tenang setelah hujan. Ruang tamu sering menjadi tempat berkumpulnya keluarga, teman, atau anggota rumah lainnya untuk berbicara atau berdiskusi, sehingga suasana ruang tamu yang tenang menunjukkan adanya kedamaian.

Detak Jam Gelisah: Puisi ini juga mencatat detak jam gelisah di tembok, yang menandakan adanya rasa cemas atau tegangan pada momen setelah hujan. Detak jam tersebut mungkin menggambarkan perasaan tidak sabar atau kekhawatiran terhadap sesuatu.

Penanggalan Rontok: Penyair menyebutkan bahwa ada seberkas penanggalan (kalender) yang rontok. Penggunaan kata "rontok" mungkin mencerminkan berlalunya waktu dan momen-momen tertentu, yang menjadi bagian dari perasaan nostalgik dalam puisi ini.

Puisi "Hujan Pun Reda" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya sastra yang menggambarkan suasana setelah hujan reda. Puisi ini menonjolkan perasaan ketenangan dan kesegaran alam setelah hujan, serta memberikan gambaran tentang momen-momen sehari-hari di sekitar. Dari dedaunan yang basah berkilau hingga detak jam gelisah di tembok dan penanggalan rontok, puisi ini menyajikan momen-momen yang mendalam dan alami yang dapat terhubung dengan pembaca. Penggunaan bahasa yang puitis dan imaji yang kuat memberikan nuansa indah pada puisi ini dan menjadikannya sebuah karya sastra yang menarik untuk disimak dan dianalisis.

Foto Gunoto Saparie
Puisi: Hujan Pun Reda
Karya: Gunoto Saparie

GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.

Selain menulis puisi, juga mencipta cerita pendek, novel, esai, kritik sastra, dan artikel/opini berbagai masalah kebudayaan, pendidikan, agama, ekonomi, dan keuangan.

Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981),  Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996),  Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).

Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).

Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).

Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.

Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
© Sepenuhnya. All rights reserved.